Tak hanya nasib mainannya  juga yang terancam punah tapi juga kehidupan para pengrajin mainan ini, sangat miris melihat para pedagang ini tidak memiliki kehidupan yang layak, mengingat mereka adalah para pejuang yang sedang berjuang melawan jajahan teknologi masa kini yang semakin memerosotkan jiwa Bangsa Indonesia.
salah satu contohnya adalah Pak Paino, pria berusia 70 tahunan ini masih giat menjajakan mainan berupa alat musik tradisional berupa gasing yang jika diputar akan mengeluarkan bunyi nyaring, sempritan (semacam peluit), seruling, etek-etek (alat musik putar), pria tua ini biasa berjualan keliling dan biasanya berhenti di sekitar kampus Sekolah Vokasi UGM untuk menjajakan jualannya. "ya saya itu tidak pernah ke SD-SD untuk jualan, cuma keliling gini aja mas" tutur pria asli wonosari, Gunung Kidul ini. "biasanya saya jualan di sini selama 3 hari,dan barupulang setelahnya" jadi pria tua ini berjualan keliling selama 3 hari, dengan menumpang tidur di masjid-masjid dan baru pulang ke rumahnya yang berada di Wonosari setelah mendapat cukup uang untuknya. Modal untuk membuat berbagai macam mainan inipun tergolong murah hanya sektar 150-200 ribu, dan biasanya mainan ini dijual seharga 3000-5000 rupiah per itemnya. Harga yang sangat murah di bandingkan dengan sebuah smartphone dan lebih bermakna.
Apa jadinya jika para pejuang ini telah tiada? siapa yang akan menggantikan dia dan bagaimanakah nasib mainan tradisional indonesia? tanyakan kembali kepada diri kita masing-masing "apakah aku cinta indonesia?" dan mulailah menjawab dengan bertindak untuk hal kecil dengan menyelamatkan mainan tradisional kita.