Apakah kau tahu bahwa dahulu sekali api, air, angin dan tanah itu adalah sahabat?
Sampai suatu hari, bencana alam datang meruncingkan ego.
Kemudian menyudahi kebersamaan.
Api berteriak, meletus di lereng gunung. Ia memuntahkan segala amarahnya di atas sana.
Kecewa pada air yang selalu berniat memandamkannya.
Kecewa pada angin yang awalnya membuatnya besar, tetapi kemudian berhembus pergi meninggalkannya.
Kecewa pada tanah yang malah memanfaatkan amarahnya hanya untuk  menyuburkan tanah.
Air menangis, histerisnya bernama petir. Air matanya jatuh deras sekali.
Ia kecewa pada tanah yang memanfaatkan kesedihannya untuk menyuburkan tanaman-tanamannya.
Ia kecewa pada angin yang justru membuatnya jahat. Kapal-kapal di laut banyak tenggelam karenanya.
Ia kecewa pada api yang juga membuatnya jahat. Asap meresahkan penghuni bumi lainnya.
Angin lelah, ia ingin pergi saja dengan bebas. Sendirian bertiup, tetapi tak lagi menemukan kekecewaan.
Kekecewaan pada keegoisan api yang terus saja memintanya berada di sekitarnya agar api semakin besar.
Kekecewaan pada keangkuhan air yang memintanya bersatu menjadi ombak agar air selalu disegani di laut.
Kekecewaan pada ketidak acuhan tanah yang diam saja kala angin menghampirinya.
Tanah pasrah, ia diam saja menyaksikan sikap sahabat-sahabatnya. Ia lebih asyik memikirkan bagaimana tumbuhan-tumbuhan bisa subur di dalam pelukannya. Ia tak mau mengecewakan makhluk hidup lain. Ia tahu sakitnya dikecewakan.
Dikecewakan api yang kemarin menghanguskan hutan lebatnya.
Dikecewakan air yang mulai jarang turun menyegarkan tanaman-tanaman kesayangannya.
Dikecewakan angin yang sering mematahkan ranting pepohonan-pepohonan kebanggaannya.
Api, air, angin dan tanah tidak pernah tahu sampai kapan rasa kecewa itu hilang. Tak ada upaya untuk memperbaikinya. Yang penting masing-masing tahu saja bahwa satu sama lain masih ada di dunia ini.