Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat Pilihan

Belajar Memaknai Tubuh dari Para Filsuf

22 Desember 2020   21:44 Diperbarui: 22 Desember 2020   22:00 690 3
"Di balik tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang kuat".

Tentu Anda tak asing dengan kata-kata di atas, bukan? Tentu saja. Saya juga sependapat dengan kata-kata tersebut. Bagaimana dengan Anda?
Apa itu tubuh dan jiwa? Apakah dua kata tersebut memiliki makna yang sama atau malah berbeda sama sekali?

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tubuh diartikan sebagai  keseluruhan jasad manusia atau binatang yang kelihatan dari bagian ujung kaki sampai ujung rambut. Dalam Oxford English Dictionary, tubuh dimaknai sebagai kerangka atau struktur fisik atau material manusia atau hewan; seluruh organisme material ini dilihat sebagai entitas organik.

Sedangkan jiwa adalah roh manusia (yang ada di dalam tubuh dan menyebabkan seseorang hidup). Artinya, dari pengertian tersebut tubuh dan jiwa berbeda. Tubuh bersifat kongkrit dan jiwa bersifat abstrak. Namun, keduanya ibarat uang koin yang tak dapat dipisahkan satu sama lain. Ketika jiwa tidak lagi menghuni tubuh, maka tubuh menjadi kaku seperti benda mati dan sebaliknya. Keduanya ibarat simbiosis mutualisme.

Namun semakin ke sini, terlebih sejak terjadinya revolusi industri, tubuh seakan kehilangan fungsinya, ntah itu karena tuntutan pekerjaan dan lainnya. Tentu kita harus sadar betul bahwa tubuh memiliki identitasnya sendiri karena tubuh menjadi simbol utama diri dan penentu diri yang utama. Bayangkan, tubuh kita yang awalnya lengkap, tiba-tiba terjadi kecelakaan yang membuat kita kehilangan kaki atau tangan atau luka di wajah yang itu semua adalah simbol diri yang utama.

Pada kenyataannya, tulisan ini hendak mengajak Anda untuk mengembalikan eksistensi tubuh pada tempatnya yang utama, baik dalam kehidupan personal maupun sosial, mengingat, tak jarang orang mengabaikan tubuhnya. Bahkan, para filsuf pun juga cenderung mencela tubuh dalam pemikiran mereka yang glowing. Di lain pihak, para teolog menggambarkan tubuh sebagai musuh bagi jiwa.

Bagaimana sebenarnya para filsuf memaknai tubuh? Apakah tubuh dimaknai sebagai kesenangan atau dimaknai sebagai penjara?

Bagi Aristippus (435-366 SM) pendiri Mazhab Cyrenaik, menyatakan bahwa "kesenangan tubuh jauh lebih baik daripada kesenangan jiwa." Artinya jiwa baik namun tubuh lebih baik.

Apa yang dikatakan oleh Aristippus tersebut bukan tanpa alasan, mengingat Yunani sangat memuja tubuh. Orang-orang Yunani gemar membuat indahnya postur tubuh manusia yang telanjang berupa patung, lukisan dan keramik yang terbuat dari batu, cat dan tanah liat lalu mereka merayakannya dalam bentuk perlombaan.

Perlombaan Olimpiade diadakan di lereng suci Gunung Olimpus yang diselenggarakan empat tahun sekali sejak tahun 776 SM hingga 394 M. Konon, orang Yunani digadang-gadang yang pertama-tama mengembangkan teori-teori kecantikan. Meskipun kebudayaan Yunani berpusat pada tubuh, tetapi tidak ada konsensus filosofis mengenai tubuh di sana.

Selain itu, Epikuros (341-270 SM) memiliki pendapat yang bertolak belakang dengan Aristippus. Bagi pendiri Mazhab Epikureanisme itu, "kita menyebut kesenangan sebagai alfa dan omega sebagai kehidupan yang diberkati. Kesenangan adalah kebaikan kita yang utama dan tertinggi." Kesenangan jiwa lebih tinggi daripada kesenangan tubuh. Tubuh baik namun jiwa lebih baik.

Socrates (466-399 SM) malah memiliki definisi lebih tajam dalam memaknai tubuh. Ia menggambarkan jiwa sebagai "tawanan yang tidak berdaya dengan tangan dan kaki dirantai, dipaksa untuk melihat realitas tidak secara langsung, melainkan hanya melalui jeruji-jeruji penjara". Sedangkan tubuh merupakan perangkap jiwa, sebuah rintangan dan sebuah kelemahan yang terus-menerus memotong, mengganggu, memecah-belah, dan mencegah kita untuk memperoleh secuil kebenaran.

Sejalan dengan gurunya, Plato (427-348 SM) juga menganggap bahwa tubuh memperbudak dan membelenggu kita. Menurutnya, "tubuh adalah makam atau kuburan jiwa". Tubuh dan jiwa tidak hanya terpisah, tetapi keduanya bertentangan dan tidak sama. Jiwa sungguh lebih unggul daripada tubuh. Tubuh tidak lebih dari sekedar bayang-bayang yang terus menjaga kita agar tetap utuh. Hanya dalam kematian saja, jiwa dibebaskan dari keinginan dan nafsu jahat tubuh.

Tubuh dan jiwa semacam dualisme yang penuh konflik bersifat imanen dan permanen. Namun, Plato berpikir lebih rasional. Ia menganggap hal itu sebagai konsekuensi logis dalam pemurnian dan pencarian filsafat. Tetap saja ujung-ujungnya Plato mengatakan bahwa kecenderungan filsuf adalah membebaskan dan memisahkan jiwa dari tubuh. Meskipun begitu, Plato tidak menolak pun menyangkal tubuh. Ia mengatakan, tubuh molek adalah jalan pertama menuju Keindahan Absolut dan Tuhan.  

Aristoteles (384-322 SM) murid Plato menolak habis-habisan dualisme dan negativisme gurunya itu. Ia mengartikan jiwa sebagai prinsip kehidupan dan menggambarkannya sebagai bentuk istimewa dari tubuh yang hidup. Lebih tepatnya, tidak ada yang satu tanpa yang lain. Dalam On the Soul, Aristoteles menyatakan "kita dapat membuang pertanyaan, jika perlu, tentang apakah tubuh dan jiwa adalah satu? Pertanyaan seperti ini sama saja seperti kita bertanya apakah lilin dan bentuknya adalah satu".

Pada zaman modern, filsuf Rene Descartes (1596-1650) yang memiliki jargon cogito ergo sum, aku berpikir atau aku ragu maka aku ada, juga turut memberi definisi tentang tubuh. 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun