Wujud dari pengekspresian sastra baik itu dalam bentuk tulisan maupun olah tubuh, memang tidak lepas dari dari si pengarang yang membuat karya sastra itu, latar belakang pengarang memang sangat kuat dalam menentukan isi dari sebuah sastra yang ingin di munculkan, dan hal yang tidak kalah kuat agar sebuah sastra ini bisa tetap eksis adalah sebuah imajinasi dan kenyataan yang dilengkapi dengan ukuran-ukuran, sehingga masih dapat disebut sebuah karya sastra. Menerut pandangan plato juga menegaskan “kenyataan hanya ada dalam ide sedangkan teks yang diaktualkan hanyalah pantulan dari ide tersebut”. Pernyataan diatas adalah sedikit sebuah wacana dalam memahami bagaimana sastra itu yang dalam hal ini untuk media sebuah perlawanan menuju sebuah perubahan.
Sastra sebagai media
Dalam sejarah perkembangan kreativitas umat manusia yang menempuh jalan sastra dalam menulisan kesaksian, perlawanan, ekspresi, dan propaganda. Adalah suatu bukti kalau sastra adalah media yang paling sederhana dan digemari. Misalnya, ada sebuah karya yang sangat berbeda dari karya sastrawan yang sudah terkenal. Karena pembuat karya tersebut melanggar “aturan-aturan” penulisan karya sastra yang mapan. Namun karya itu kemudian memiliki komunitas pembaca. Terlepas kalau karya itu digolongkan kedalam sastra pop atau biasa disebut ciklit atau tenlit yang kadar sastranya sangat kurang. Satra dikemas dalam bentuk media memang banyak ragam cara dalam proses pengemasannya, sehingga imajinasi yang di munculkan dalam menelurkan sebuah gagasan sastra tidak akan lepas dari dari imajinasi dan realitas, apa yang dilihat dan dirasakan akan terasa lebih elegan dan mempunyai makna berarti jika itu semua dikemas dalam bentuk sastra, baik itu puisi, novel, drama dll.
Secara sederhana, posisi sastra sebagai media adalah proses pengekspresian diri dalam menuangkan imajinasi yang ada dalam gagasan atau ide yang secara subtansi lebih condong dan mempunyai titik sebuah prioritas, yakni perubahan sebuah tatanan, baik itu tatanan sosial maupun sebuah hal tidak mempunyai nilai kooperatif terhadap manusia.
Sehingga sampai pada kesimpulan bahwa, sastra juga dan sebuah media bisa kita gunakan dalam perlawanan, pengkritikan, dan dituangkan dalam sebuah gagasan yang tertulis(teks- teks) maupun
ekspresi tubuh ( olah tubuh ).
Perlawanan : sebuah refleksi perjuangan kaum tertindas
Dalam hal ini, kaum tertindas adalah sosok buruh yang selau diposisikan sebagai manusia yang tidak sebenarnya manusia (manusia produksi) yang dalam keseharianya selalu dituntut dan menjadi sebuah kewajiban untuk selalu menghasilkan sebuah barang demi keuntungan kaum kapitalis, seorang filsuf Marx mengartikanya manusia yang teraleinasi, sehingga yang ada adalah sebuah ketimpangan dalam tatanan sosial (kasta) antara kaum proletar dan kaum borjuis.
Realitas yang ada, mengapa kaum tertindas dalam hal ini adalah kaum buruh..?, kenyataan yang ada memang buruh selau diposisikan sebagai manusia budak, dan salah satu alat yang bisa digunakan dalam melaukan sebuah perubahan adalah sastra, terutama puisi, bukti nyata yang dilakukan kaum buruh menggunakan sastra sebagai media perlawanan menuju perubahan adalah di tangerang banten yang dilakukan oleh husnul khuluqi yang sajak-sajaknya terkumpul dalam judul romansa pemintal benang.
sering kurindu tuhan
dalam galau perasaan
tapi wajah juragan yang kutemukan
yang selalu menatap dingin
sedingin bebatuan
di dasar kali
(Sajak Di Pabrik, Wajah Tuhan Diganti Juragan).
Sedikit kutipan dari puisi husnul khuluqi diatas sangat memperlihatkan pencapaian estetik yang cukup kuat. Sehingga, meskipun kritiknya terhadap kaum majikan begitu tajam dan potretnya tentang nasib kaum buruh begitu mencekam, ia tetap dapat mengemasnya dalam sajak-sajak yang indah. Sajak-sajak Husnul dapat disejajarkan dengan sajak-sajak Jumari HS, tokoh ‘penyair buruh’ dari Kudus, yang juga menampakkan pencapaian estetik yang cukup mengesankan. Contoh sajak puisi sederhana husnul khuluqi diatas menggambarkan potret kaum buruh terhadap juragan (majikan) yang mengusir tuhan dalam pabrik.
Sehingga proses pengekspresikan dalam sebuah perubahan tidak hanya terpatok dalam hal- hal strategi saja, akan tetapi dalam bentuk sastra juga bisa dengan tidak menjadikan sastra sebagai kepentingan pragmatis saja, atau bernilai keuntungan dalam wujud nilai uang. Sehingga para kalangan pragmatik berkeyakinan bahwa karya sastra tidak hanya memberikan pencerahan nurani dan intelektualitas pembacanya, lebih dari itu, karya sastra juga diyakini mampu membangun suatu kesadaran sosial untuk mendorong terjadinya proses perubahan masyarakat dari kondisi buruk ke kondisi yang lebih baik.
Sebuah orientasi untuk perubahan
Secara teoritis, orientasi pragmatik itu dapat dirujukkan pada pemikiran Abrams (1981) tentang orientasi penciptaan. Berdasarkan tujuan penciptaannya, Abrams mengelompokkan karya sastra ke dalam empat orientasi. Pertama, karya sastra sebagai tiruan alam atau penggambaran alam. Kedua, karya sastra sebagai alat atau sarana untuk mencapai tujuan tertentu pada pembacanya. Ketiga, karya sastra sebagai pancaran perasaan, pikiran, ataupun pengalaman sastrawannya. Dan, keempat, karya sastra sebagai sesuatu yang otonom, mandiri, lepas dari alam sekeliling, pembaca maupun pengarangnya. Akan tetapi pada orientasi yang kedua, abrams memposisikan sastra sebagai wujud pragmatis atau untuk kepentingan, misalnya saja, sastra untuk sosialisasi ajaran agama (sastra dakwah), sastra untuk penyadaran dan pendorong perbaikan nasib buruh (sastra buruh), atau sastra untuk membangun ideologi politik tertentu (sastra realisme sosial). Jika ‘sastra seksual’ seperti karya-karya Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu dengan sengaja memang ditulis untuk membongkar nilai-nilai moral, dan menggantinya dengan nilai-nilai baru yang liberal, sebenarnya dapat juga ditempatkan pada orientasi pragmatik itu.
Sebenarnya, apapun orientasi penciptaan karya sastra, karena merupakan sekumpulan sistem tanda yang menyimpan makna, ia akan memiliki kemampuan tersembunyi (subversif) untuk mempengaruhi perasaan dan pikiran, dan karena itu dapat ikut mendorong terjadinya proses perubahan, baik yang bersifat pencerahan, pembongkaran nilai-nilai lama dan menggantikannya dengan nilai-nilai baru, atau sebaliknya mempertahankan nilai-nilai lama itu dari gempuran nilai-nilai baru yang dianggap sebagai ancaman sehingga muncul semacam ‘konservatisme dalam sastra’. Kenyataannya, selalu terjadi dialektika antara nilai-nilai yang ada di masyarakat dan nilai-nilai yang ditawarkan karya sastra. Ketika masyarakat dianggap berada dalam ‘peradaban jahiliyah’ misalnya, maka munculnya sastra religius, termasuk sastra sufistik dan sastra Islami, akan dianggap menawarkan pencerahan untuk menyelamatkan masyarakat dari kehancuran moral. Ketika masyarakat dianggap berada dalam sikap konservatif yang cenderung jumud, maka karya sastra yang bersemangat membongkar nilai-nilai akan dianggap menawarkan pembaruan. Sebaliknya, karya sastra yang bersemangat membela kemapanan itu akan dianggap mendukung establishment.
Dalam situasi yang dialogis seperti itu, kadang-kadang kebenaran nilai tematik (isi) karya sastra menjadi relatif, tergantung di mana karya itu diposisikan dan peradaban masyarakat seperti apa yang dicita-citakan bersama. Bagi kaum Marxis (Lekra), misalnya, kebenaran karya sastra dilihat dari komitmennya untuk membela politik kekuasaan dan ideologi Marxis, dengan semangat pertentangan kelas yang tajam.
Sebaliknya, bagi kaum Manifes (pendukung Manifes Kebudayaan) kebenaran karya sastra dilihat dari komitmennya untuk menyuarakan masalah-masalah kemanusiaan yang bersifat universal, sehingga bersifat lebih plural dan fleksibel dalam menyuarakan kebenaran. Kebenaran nilai karya sastra baru menjadi mutlak ketika sang pengarang menempatkan karyanya dalam sekat kepercayaan atau keberagaman secara tertutup (eksklusif), sehingga muncul apa yang disebut ‘sastra hitam putih’.
Dalam kasus sajak-sajak para ‘penyair buruh’ seperti Husnul, Wowok, Mahdi dan Dingu, yang sering terasa adalah ‘semangat perlawanan’ terhadap penindasan dan ketidakadilan yang menimpa kaum buruh. Buruh, di mata mereka, adalah kaum yang tertindas. Sedangkan majikan adalah penindas yang harus dilawan. Di mata mereka, kaum pekerja selalu berada pada posisi yang lemah, tidak berdaya, selalu dikalahkan, dan bahkan dikorbankan untuk kepentingan kaum kapitalis (pemilik modal).
Terlihat ada semacam simplifikasi terhadap kondisi buruh dan perilaku majikan, yang tentu tidak selalu pas untuk semua kondisi perburuhan di Indonesia. Meskipun kaum buruh Indonesia umumnya masih tertindas dengan gaji kecil dan jaminan sosial yang kurang memadai, sudah banyak juga pekerja yang hidup sejahtera dan majikan yang adil serta bijaksana.
Pada salah satu sajaknya, Husnul Khuluqi bahkan mengibaratkan kaum buruh sebagai ‘kayu kering’ yang harus rela dibakar (dikorbankan) agar cerobong asap pabrik terus berasap — agar pabrik terus dapat beroperasi dan kaum majikan (kapitalis) dapat mengeruk keuntungan dari pengorbanan kaum buruh (pekerja):
di bawah cerobong asap, bertahun kita hanya
menemukan jejak-jejak hitam, catatan kelam, dan
luka menahun yang menggumpal di lorong-lorong
ingatan, mengekal di antara napas yang penuh sengal
di sini, ya di sini, kita hanya setumpuk kayu
api kering yang mesti rela dibakar agar cerobong
cerobong kekar itu terus menyemburkan asap, dan
kita akan mati dengan nasib yang sehitam arang
(Sajak Di Bawah Cerobong Asap, Kita hanya Kayu Kering)
Dengan sikap dan orientasi penciptaan seperti itu, sering tercium aroma ‘pertentangan kelas’ — kelas buruh dan kelas majikan — pada sajak-sajak penyair buruh yang realis-sosialistik itu. Tetapi, tentu, tidak setiap pembelaan terhadap kaum tertindas, tidak setiap perlawanan terhadap ketidakadilan, harus dikaitkan dengan ideologi Marxis. Sebab, masalah penindasan dan ketidakadilan sebenarnya juga menjadi masalah kemanusiaan yang universal. Semua agama juga mengajarkan pembelaan (kepedulian) kepada kaum yang lemah dan tertindas. Islam, misalnya, mengajarkan persamaan derajat manusia, sehingga sangat menentang perbudakan, penindasan dan berbagai bentuk ketidakadilan.
Kuatnya sajak-sajak pembelaan terhadap nasib buruh dalam buku Husnul itu makin mengukuhkan posisi para penyair buruh di Indonesia pada umumnya ke dalam barisan ‘penyair pragmatik’ atau meminjam istilah Ariel heryanto ‘penyair yang terlibat’. Karya sastra tidak sekadar diniatkan sebagai seni berbahasa, tapi juga sebagai media kesaksian, media penyadaran, media pencerahan, bagi pembacan.