Udara dingin dan lembab menyambutku begitu aku keluar dari lobi kantor. Gerimis masih turun dari langit. Sinar lampu mobil yang lewat membiaskan garis-garis halus air di depannya. Sejenak aku berpikir untuk membuka payung mungil dari dalam tasku, namun aku memutuskan utk merapatkan jaket dan mengenakan tudung kepalanya saja. Jam menunjukkan pukul 21.05 ketika aku mulai berjalan di bawah gerimis sambil menikmati suasana malam yang basah. Kuputuskan untuk tidak memberhentikan taksi karena malam belum larut. Dengan cuaca seperti ini aku lebih suka berjalan kaki ke halte Busway yang jaraknya hanya beberapa meter dari kantor, naik bus Trans Jakarta yang tentunya sudah lengang. Dengan
earphone di telinga dan iPod yang memainkan lagu Deftones terbaru, aku berjalan santai menuju halte Busway. Tiba di jembatan halte, tiba-tiba aku perasaanku menjadi tidak enak. Perasaan santai yang tadi kubawa dari kantor berubah menjadi tegang. Sepintas aku melihat jembatan yang sepi, tidak banyak orang yang melewatinya, hanya ada beberapa orang yang terlihat nongkrong di pagarnya dan seorang pengemis perempuan yang menggendong anak kecil yang entah anak kandungnya atau bukan. Aku terus berjalan menyusuri jembatan halte Busway yang berkelok-kelok. Tiba di salah satu sudutnya, aku melihat seorang lelaki separuh baya berdiri di depanku, menghadapku. Awalnya aku tidak terlalu memperhatikannya, namun begitu mendekat dan akan melewatinya, perasaan tidak enak itu muncul lagi. Tiba-tiba lelaki itu membuka celananya dan mengeluarkan kemaluannya. Jantungku berdegub kencang, rahangku mengatup keras. Jadi ini lelaki sakit jiwa yang suka mengeluarkan anggota tubuhnya di depan perempuan-perempuan yang lewat di jembatan ini. Beberapa teman perempuanku bercerita tentang pengalaman mengerikannya dengan si
exhibitionist ini. Dia berhasil membuat para perempuan itu
shock dan ketakutan. Ketika mendengar cerita itu dari teman-teman perempuanku, aku begitu marah pada lelaki itu dan ingin memberinya pelajaran. Aku berpikir untuk melabraknya, mengeluarkan
cutter yang selalu aku bawa di tas dan mengancam akan menyunatnya. Atau aku tendang persis di kemaluannya. Apapun, tindakan yang kupikir bisa membuatnya jera. Dan kini, lelaki itu berdiri persis di depanku, senyumnya menyeringai, dan tangannya memegang kemaluannya yang menjulur keluar. Masih dengan jantung berdebar keras aku berusaha menenangkan diri. Orang seperti itu merasa puas jika melihat korbannya ketakutan, maka aku tidak mau terlihat takut. Diam-diam aku memasukkan tanganku ke dalam tas dan meraba-raba isinya, mencoba untuk menemukan
cutter yang akan kubuat untuk mengancamnya. Tapi tanganku menemukan sesuatu yang lebih besar. Payung. Kukeluarkan payung itu setenang mungkin. Dan ketika aku berada tepat di depannya, kuayunkan payung itu ke kepalanya. Dia terkejut mendapat serangan tiba-tiba dan berusaha menghindar. Payung kuayunkan lagi dan lagi dan lagi, bertubi-tubi ke kepala, wajah, dan badannya. Dia berteriak, berusaha menghindar dan balik menyerangku. Kali ini aku memegang payung dengan kedua tanganku dan menghajarnya dengan membabi buta. Pada satu kesempatan, aku berhasil membuatnya terpojok dan merasakan tendanganku tepat di kemaluannya. Lelaki itu terhuyung-huyung. Belum puas, aku menghajarnya kembali, di punggungnya, sampai ia jatuh. Lalu kutendang-tendang dan terus kuhajar dengan payungku yang sudah patah. Lelaki itu tersungkur dan berdarah. Beberapa orang mulai mengerumuni kami dan menyuruhku menghentikan kebrutalanku.
Earphone di telingaku sudah lepas tapi samar-samar aku masih bisa mendengar raungan suara Chino dari iPodku. Kulempar payungku yang sudah tidak berbentuk lagi ke arah lelaki yang sudah babak belur itu. Kukeluarkan
cutter yang kali ini sangat mudah kutemukan di dalam tas dan memperlihatkannya kepada lelaki itu. "GUA SUNAT LU! MAU GAK??!!!" aku berteriak dengan suara menggeram persis di depan wajahnya dengan cutter berukuran besar yang memperlihatkan sebagian besar mata pisaunya. Lelaki itu meminta ampun dengan suara terbata-bata. Tapi beberapa detik kemudian ia bangun dan berusaha merebut cutter dari tanganku. Beberapa orang bergerak memisahkan pergumulan kami dan mengusir lelaki itu pergi. Sebelum pergi, lelaki itu menatapku dengan tatapan marah dan benci. Aku membalas tatapan matanya dengan penuh kebencian dan rasa jijik. "Pergi lu ke neraka!" geramku. "Untung lu perempuan. Kalo laki, gua hajar lu sampe mati!" teriaknya menggelegar. Orang-orang mengusirnya pergi. Dia meninggalkan jembatan setelah sebelumnya ia mengancamku lagi. Aku melihat kepergiannya masih dengan tatapan kebencian yang amat sangat. Aku sangat mengharapkannya mati tertabrak bus! Ketegangan sudah mulai mereda. Aku sudah mulai bisa mengatur napasku dan jantungku tidak lagi berdebar kencang. Tiba-tiba terdengar suara klakson diiringi suara denyit rem dan teriakan, lalu terdengar suara benturan yang keras. Terdengar teriakan-teriakan lagi dari orang-orang di sekitar. "ADA YANG KETABRAK BUSWAY!" Dari tempatku berdiri aku melongok ke bawah. Orang-orang berdatangan melihat apa yang terjadi. Ternyata Busway menabrak seseorang yang sedang menyeberang sembarangan. Orang itu terlempar beberapa meter dan kepalanya membentur
separator hingga pecah. Darah dan cairan putih mengalir dari tempurung kepalanya. Orang itu adalah lelaki yang tadi kuhajar habis-habisan dan kusumpahi mati tertabrak bus. -fin- by: Sigota, yang terobsesi menghajar para pelaku pelecehan seksual
KEMBALI KE ARTIKEL