Dikisahkan Si Pitung sebagai Robin Hood Indonesia. Dia dikenal sebagai pahlawan sosial dengan menolong orang yang menderita dan tertindas. Namun, caranya dengan perbuatan melanggar hukum pemerintahan Hindia Belanda yang jadi penguasa ketika itu. Dia melakukan aksi pemberontakan dan juga merampok tuan tanah dan rentenir yang merupakan kaki tangan Belanda dan membagikannya kepada orang-orang yang menderita.
Teka-teki simbol perlawanan ala Jokowi itu sedikit demi sedikit mulai terkuak setelah dilantik menjadi presiden Indonesia. Kisah ala Si Pitung langsung muncul saat meluncurkan 'kartu sakti' untuk jaminan kesehatan, pendidikan dan simpanan kesejahteraan untuk orang-orang miskin. Sumber pendanaan program itu dipersoalkan oleh anggota DPR dari partai koalisi yang tidak mendukung Jokowi-JK.
Kisah Si Pitung yang mendapatkan uang dengan melanggar hukum lalu membagikannya kepada masyarakat miskin muncul usai peluncuran program 'kartu sakti'. Tetapi bukan merampok ala Si Pitung, melainkan menggunakan dana yang diduga tidak dianggarkan dalam APBN. Dalam konstitusi, penggunaan dana harus melalui APBN yang pembahasan dan pengesahannya melibatkan DPR.
Dikutip dari kompas.com, Wakil Ketua Komisi X DPR Ridwan Hisyam menjelaskan, dia masih tak memahami sumber dana yang digunakan pemerintahan Jokowi untuk membiayai program Kartu Indonesia Pintar. Padahal, dalam APBN 2014, tak ada mata anggaran untuk program tersebut dan perubahannya harus melalui persetujuan DPR.
"Jika dilakukan sebelum ada perubahan di mata anggaran, itu bisa berujung pidana. Nanti urusannya ada BPK, ada KPK," kata Ridwan, di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (4/11/2014).
Seperti kisah Si Pitung, walaupun hasil rampokannya untuk kebaikan, pihak yang berwenang ketika itu (Hindia Belanda) tidak memberikan toleransi terhadap pelanggaran hukum. Makanya, walaupun, Si Pitung dianggap pahlawan oleh warga Betawi, pemerintah Hindia Belanda berusaha untuk menangkapnya karena aturan hukum yang berlaku. Begitu juga Jokowi, walau programnya dipuji rakyat, namun dia dibatasi berbagai aturan hukum yang berlaku.
Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengingatkan Presiden Joko Widodo agar meluncurkan Kartu Indonesia Sehat dengan mekanisme yang benar. Anggaran untuk program itu, kata Fadli, juga harus dipertanggungjawabkan. "Jangan sampai menabrak undang-undang yang sudah ada," kata Fadli di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Senin (3/11/2014). (sumber:kompas.com)
Tidak hanya soal payung hukum dana program tersebut, proses pembuatan/pengadaan kartu yang dibuat juga mengekang Jokowi karena aturan tender. Ini dipersoalkan Wakil DPR Fahri Hamzah. "Kartunya saja itu kan mesti ditender. Kartu itu satu bisa seharga Rp 5.000. Ini Rp 5.000 kali 15 juta orang, sudah berapa coba?" ujar Fahri di Kompleks Parlemen, Rabu (5/11/2014). "Program di atas Rp 1 miliar saja harus ditender, apalagi yang triliunan. Kan negara ini enggak main-main ya," lanjut dia. (sumber:kompas.com)
Menanggapi kritikan yang ditujukan kepadanya, Jokowi mengatakan "Kita ini ya, maunya kerja cepat, kerjanya cepat. Kalau kerja lambat, nanti begini (sambil tangannya memeragakan gerakan simbol orang bicara). Eh, sudah kerja cepat, masih begini juga (melakukan gerakan yang sama)," keluh Jokowi. Kalaupun harus ke DPR, Jokowi mengaku bahwa kondisi DPR saat ini serba sulit. "Ke DPR, saya harus ke mana? Ketemu dengan siapa? Ke komisi yang mana? Alat kelengkapan Dewan yang mana? Apa saya harus menunggu terus?" jawab dia. (kompas.com)
Sementara, Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro, mengatakan penggunaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan 2014 untuk program tiga kartu Presiden Joko Widodo tak melanggar hukum. Dana tersebut, kata dia, berasal dari Dana Perlindungan Sosial sebesar Rp5 triliun dan Dana Cadangan Risiko Fiskal sebesar Rp2,7 triliun.
"Kedua dana itu sudah masuk ke dalam belanja cadangan Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara," kata Bambang di kantornya, Jumat, 7 November 2014. Dana tersebut, kata dia, dapat dipindahkan ke kementerian/lembaga. Menurut Bambang, dasar hukum yang ia gunakan adalah Pasal 17 Ayat 1 Undang Undang Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan 2014.(tempo.co)
Kembali ke cerita Si Pitung, upaya penangkapan dan membinasakan Si Pitung yang sakti terus dilakukan Belanda dengan berbagai cara. Pemerintah Belanda pada saat itu ingin menembak mati Si Pitung, tetapi ada kekuatiran di kalangan pejabat, jika tembak di tempat malah akan menumbuhkan semangat patriotik dari warga Betawi.
Pada akhir cerita, Si Pitung tetap mati ditembak. Hanya saja ada kisah pengkhianatan yang dilakukan orang-orang dekat Si Pitung sehingga Belanda bisa membunuhnya. Ada dua versi cerita terbunuhnya Si Pitung, satu cerita menyebutkan Si Pitung bisa dibunuh karena gurunya ditekan Belanda agar membuka rahasia kelemahannya. Sementara ada pula cerita yang mengisahkan Si Pitung terbunuh karena dikhianati temannya.
Itu akhir cerita Si Pitung, sedangkan Jokowi saat ini baru memulai kisah Si Pitungnya yang diawali deklarasi di rumah pahlawan sosial yang menjadi legenda dan kebanggaan orang Betawi tersebut. Memakai kata-kata Anas saat ditahan KPK, "Ini permulaan, ini baru halaman pertama", masyarakat masih ingin membaca halaman selanjutnya kisah Si Pitung dari Solo tersebut.