Andalan Jokowi hanya pada Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti. Bak singa betina, Susi langsung mengaum. Dengan semangat menggebu langsung menyatakan perang dengan mafia ikan. Namun, Susi tidak menyadari, perang di laut ternyata bukan hitam melawan putih.
Kenyataan pahit harus ditelan Susi. TNI AL yang semula dikiranya berada dipihaknya tidak sepenuh hati berperang. Alhasil, rentetan kejanggalan terjadi di laut Indonesia. Mulai dari kejanggalan kapal yang ditangkap dan ditenggelamkan hingga kapal pencuri ikan yang masuk radar Susi lepas, karena TNI AL lamban bergerak. Jangankan instruksi Susi, perintah Presiden Jokowi selaku Panglima Tertinggi TNI juga tidak diindahkan. Barulah Susi menyadari, dia berperang sendirian.
Menyerahkan Menteri Susi? Bendera putih memang belum dikibarkan. Tapi ketakutan mulai menghantui singa betina tersebut. Semangat yang dulu membara, kini mulai memudar. Dia menyadari mafia ikan lebih kuat.
"Saya berharap apa pun yang terjadi, saya lanjut atau tidak menjadi menteri, perang 'hiu-hiu' ini tidak boleh berhenti karena ini luar biasa (hasil laut) yang hilang dari kita," ujar Susi di gedung KPK, Jakarta, Rabu (24/12/2014). (kompas.com)
Ternyata Susi mencoba mencari kekuatan dengan mengajak KPK ikut berperang. KPK memang bernyali, tapi berhadapan dengan TNI belum teruji. Bahkan KPK juga tidak berani menyelidiki pengadaan alat utama sistem pertahanan (Alutsista).
Pernah, Ketua KPK, Abraham Samad menyatakan KPK siap masuk mengawasi pengadaan Alutsista, tapi kalau diminta oleh TNI sendiri. Lalu bagaimana reaksi TNI?
"Oh tidak bisa (KPK masuk soal dugaan korupsi alutsista). Ada sesuatu yang bisa dibuka seperti itu, tidak mungkin seperti belanja senjata dibuka seperti itu. Ada sesuatu yang memiliki standar rahasia," kata Panglima TNI Jenderal Moeldoko (11/8/2014). (tribunnews.com)
"Kalau KPK datang kesini dalam rangka memeriksa itu saya yakinkan bahwa organisasi TNI menjadi tidak terhormat. Kita harus menjaga kehormatan itu jangan sampai KPK masuk dan kalau masuk kesini hanya minum kopi saja," kata Moeldoko.(tribunnews.com)
Kekuatan TNI ini bukan main-main. TNI adalah alat pertahanan negara. Sejarah membuktikan kudeta presiden bisa terjadi jika TNI berhasil diambil alih. Jangankan KPK, presiden juga berpikir dua kali untuk bersebrangan dengan petinggi TNI. Bahkan purnawirawan Jenderal TNI sekalipun, tetap masih mempunyai pengaruh di TNI.
Untuk menyemangati Menteri Susi, Ketua KPK pun koar-koar dengan menyebut ada pihak yang menghambat langkah Kementrian Kelautan dan Perikanan. Ditambah embel-embel KPK minta pihak TNI, Polri dan Kementrian terkait mendukung pemberantasan pencurian ikan. Hanya gertak ala KPK, karena jangankan berurusan dengan TNI, dengan Polri saja KPK beberapa kali megap-megap sampai presiden SBY turun tangan.
Memang masih ada harapan bagi Susi memenangkan perang itu. Jokowi akan mengganti KSAL dan penggantinya sedang disiapkan Panglima TNI. KPK juga ada peluang masuk ke TNI, karena yang diultimatum Panglima TNI hanya pengadaan Alutsista, sedangkan jika ada indikasi korupsi lainnya, KPK boleh menyelidiki. Tapi KPK juga harus hati-hati dan siap menjadi sasaran tembak, karena ada banyak 'panglima' TNI selain Moeldoko.
Namun harapan Susi itu tergantung siapa KSAL yang akan dilantik Jokowi. Apakah pro Susi dan Jokowi atau pro pada mafia ikan? Jika KSAL baru pro mafia ikan, maka sepantasnya Susi mengibarkan bendera putih dan hengkang dari Kementrian Perikanan dan Kelautan. Tapi, seperti kata-katanya, walau dia tidak menjadi menteri lagi, tapi perang dengan mafia ikan jangan berhenti.