Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Sandera Prabowo, Jokowi Tinggalkan Megawati?

30 Januari 2015   01:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:07 851 3
Presiden Jokowi mengundang Prabowo Subianto bertemu di Istana Kamis (29/1). Manuver politik cerdas yang dilakukan Jokowi untuk menyampaikan ke pendukungnya sebagai kode 'perlawanan' kepada Megawati dan Surya Paloh. Ini merupakan lanjutan strategi politik Jokowi untuk melepaskan diri dari sandera Megawati atau pun hanya sekedar melepas opini 'presiden boneka'.

Kode perlawanan sebelumnya telah ditunjukan Jokowi saat membentuk tim independen untuk menyelesaikan kisruh KPK vs Polri. Ada dua kode yang diberikan Jokowi untuk Megawati dan rakyat Indonesia yang bisa dilihat dari pembentukan tim tersebut.

Pertama, Jokowi memilih anggota tim Independen dari 'rakyat tidak jelas' yang merupakan tokoh anti korupsi dan pendukung KPK. Sebagai 'rakyat tidak jelas' tim ini jelas bertentangan dengan Megawati yang menginginkan Budi Gunawan (BG) dilantik menjadi Kapolri. Kedua, anggota tim berjumlah 9 orang, sama dengan jumlah Wantimpres yang dipilih Megawati untuk 'menjerumuskan' Jokowi.

Sinyal perlawanan kian kuat setelah Jokowi 'menitipkan' kode melalui pernyataan Safi'i Maarif yang blak-blakan membuka peran Mega dibalik pengajuan Budi Gunawan (BG) sebagai Kapolri. Walau tidak menyebut nama Mega, sinyal yang disampaikan pria yang biasa disapa Buya itu bisa ditangkap media dan publik.

Perlawanan Jokowi ini membuat Megawati kelabakan. Mega sempat mengeluarkan 'ancaman' untuk Jokowi melalui petinggi PDIP, Effendi Simbolon yang mengatakan Jokowi bisa dilengserkan oleh lawan politiknya. Melalui Effendi, Mega 'menakuti' Jokowi, kalau posisi politik Jokowi lemah dan bisa dimakzulkan jika PDIP menarik dukungan.

Lalu apa reaksi Jokowi. Mendadak, kamis (29/1) politis Gerindra, Fadli Zon mengungkapkan Jokowi mengajak Prabowo bertemu. Ini sebuah tamparan buat Megawati, karena Prabowo adalah musuh bebuyutan kedua Megawati setelah SBY. Jokowi menunjukan ke Megawati kalau dia tetap kuat kendati PDIP mencabut dukungan.

Manuver Jokowi ini diluar perkiraan PDIP. Makanya, rencana pertemuan Jokowi-Prabowo membuat PDIP geger. Pramono Anung menunjukan sikap 'galau' dengan terburu-buru menghadap Megawati. PDIP berusaha menjegal pertemuan Jokowi dan Prabowo. PDIP dan Megawati akan menemui Jokowi sebelum Prabowo datang ke istana. Bahkan Megawati, sedia 'mengalah' ke Jokowi dengan membatalkan pelantikan Budi Gunawan (BG) sebagai Kapolri.

Prabowo yang mengetahui Mega akan menemui Jokowi bergerak cepat ke Istana Bogor. Walau dalam hujan lebat, sekitar pukul 14.00 Prabowo mendatangi Jokowi. Pertemuan Jokowi-Prabowo itu lebih cepat dari yang dijadualkan sebelumnya, yang direncanakan sore hari.

Pertemuan Jokowi-Prabowo pun sukses. Walau pernyataan ke publik hanya persoalan pencak silat dan dukungan Prabowo ke pemerintah, pastinya telah ada komitmen politik yang disepakati Prabowo dan Jokowi. Deal politik yang bisa saja berujung pada ditinggalkannya PDIP 'sendirian' bersama Megawati yang jadi pesakitan di KPK karena kasus SKL BLBI.

Akankah skenario politik Jokowi untuk memenuhi harapan pendukungnya yang meminta dia melepaskan diri dari sandera politik Megawati bisa berhasil? Berikut analisanya.

Pertanyaan pertama, jika bersama KMP, apakah Jokowi bisa mengendalikan KMP? Jawabnya, sangat bisa. Kekuatan KMP berada pada Prabowo dan Abu Rizal Bakrie (ARB). Sebelumnya Jokowi telah 'mengamankan' Presidium KMP, Abu Rizal Bakrie (ARB). Ketua Umum Golkar versi Munas Bali ini mulai 'jinak' setelah pemerintahan Jokowi membuat kebijakan menanggulangi ganti rugi lumpur Lapindo yang akan dikucurkan melalui APBN 2015.

Lalu Prabowo? Sehari sebelum mengundang Prabowo, Jokowi baru saja mengangkat Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak baru yakni Sigit Priadi Pramudito. Melihat latar belakang Sigit, sebelumnya menjabat pimpinan Kantor Pajak Besar, sangat mungkin Jokowi bisa 'menyandera' Prabowo. Kantor Pajak Besar yang biasa disebut LTO (Large Tax Office) merupakan warisan Menteri Keuangan zaman Sri Mulyani dan perusahaan-perusahaan dan individu dengan pembayaran pajak besar dikumpulkan di kantor ini.

Pada masa SBY, Golkar dan ARB bisa 'dijinakan' setelah Sri Mulyani mengungkap kasus pajak ARB. Jokowi bisa meniru cara SBY tersebut untuk melumpuhkan Prabowo dan adiknya Hasyim yang diketahui memiliki puluhan perusahaan. Sudah menjadi rahasia umum, perusahaan milik politisi sering bermasalah dalam soal perpajakan.

Indikasi Prabowo atau Hasyim terlilit masalah pajak bukan tanpa alasan. Pada tahun 2011, Fraksi Gerindra mendadak berbalik arah mendukung koalisi SBY untuk menolak pembentukan pansus Mafia Pajak. Padahal saat itu, Gerindra merupakan partai oposisi bersama PDIP setelah pasangan Mega-Prabowo kalah di Pilpres 2009 dari SBY-Boediono.

Selanjutnya, kekuatan politik lain yang harus 'dikuasai' Jokowi adalah pasangan partai 'besan' Demokrat dan PAN. Sebagai penerus SBY dipemerintahan, tentu sangat mudah bagi Jokowi untuk 'menjinakan' SBY. Ditambah lagi, kasus yang telah muncul ke publik seperti skandal bank century dan hambalang yang membatasi 'gerak' SBY dan Demokrat.

Dilihat melalui kasus yang 'menyandera' elite parpol, Jokowi lebih untung secara politik untuk menjadikan KMP sebagai mitra pemerintahan. Karena masalah pajak belum masuk ke ranah hukum, begitu juga kasus bank century, bisa saja berhenti pada Boediono.

Sementara di KIH, kasus SKL BLBI yang mengintai Megawati sedang diusut oleh KPK dan dalam tekanan publik untuk dituntaskan. Bahkan karena kasus inilah diyakini Megawati nekat menjadikan Budi Gunawan sebagai Kapolri untuk mengganggu kinerja KPK dengan membenturkan Polri dan KPK.

Kekuatan kedua di KIH adalah PKB. Ini bukan hambatan berarti bagi Jokowi. Pada saat seleksi menteri, Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar ngotot untuk menjadi menteri. Tapi setelah Jokowi mendapat data 'stabilo' dari KPK, Muhaimin mendadak tidak ingin lagi jadi menteri. Tentunya, sangat mudah Jokowi mengendalikannya.

Selanjutnya muncul pertanyaan, jika Jokowi 'menampung' KMP dengan 'menyandera' elitnya apakah pendukung Jokowi tidak kecewa? Untuk meredakan kondisi politik demi berjalannya pembangunan mewujudkan program Jokowi, pendukungnya akan memaklumi. Terbukti, saat bagi-bagi kursi menteri ke parpol, pendukung Jokowi memaklumi.

Yang menarik ditunggu, apakah Jokowi akan benar-benar meninggalkan Mega dan PDIP? Atau Jokowi 'mempersatukan' partai-partai KMP dan KIH untuk bersama di pemerintahan? Dilihat dari cara berpolitiknya, Jokowi tidak akan berlaku 'kejam' dengan meninggalkan PDIP. Tapi kalau pemerintahan dan programnya terus-terusan diganggu Mega dan PDIP, 'kekejaman' Jokowi bisa terjadi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun