Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Kreatif Pelit

22 Juli 2010   02:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:41 75 0
Mobil-mobil di depan berjalan lambat. Seperti keong. Tertatih-tatih. Pak Ustadz mulai sedikit hilang kesabaran. Tombol klakson di kemudi sudah hendak ditekannya. Namun, jari jemari Pak Ustadz langsung berhenti ketika telinganya menangkap sayup-sayup suara. "Terima kasih bapak-ibu atas sumbangannya. Semoga sumbangan itu mampu membuat kami segera menyelesaikan pembangunan masjid di kampung kami. Dan semoga perjalanan bapak-ibu tidak kurang suatu apa hingga sampai di tempat tujuan. Amien." Pak Ustadz paham. Amat paham. Mobil-mobil di depan yang berjalan pelan terhalang oleh "serombongan" peminta sumbangan. Mereka sengaja memasang tanda berupa tong dan sedikit tulisan pada kain. Mau tidak mau mobil yang melewati jalanan itu berjalan pelan. Saat mobil yang lewat berjalan pelan, rombongan peminta sumbangan itu segera menyodorkan keropak ke mobil-mobil itu. Bila penumpang dalam mobil menyodorkan uang, maka ucapan terima kasih dan selarik senyuman meluncur dari mereka. Namun, jika penumpang tak menyodorkan, senyuman bibir mereka seperti tak terlihat. Pudar. Redup. "Paman, kita kasih nggak?" tanya Farid, keponakan Pak Ustadz yang kini beranjak remaja. "Kasih saja," tukas Pak Ustadz cepat. "Berapa?" "Kamu bisa ambil uang yang ada di laci dashboard. Di situ sepertinya ada uang yang cukup untuk menyumbang mereka." Farid membuka laci. Ia menemukan selembar uang sepuluh ribuan. Dilihat dan ditimang-timangnya uang itu. Lalu, dielus-elusnya. Seperti ada yang aneh pada uang itu, tapi lebih-lebih pada Farid. Ia seperti berpikir keras. Keningnya berkerut. "Paman, sayang ya kalau uang ini kita kasihkan ke mereka.., " ucapnya dengan mimik aneh. "Lho, kenapa?" Pak Ustadz heran. "Jujur, saya nggak suka orang-orang seperti mereka. Kerjanya cuma mempermalukan diri mereka sendiri. Lebih lagi, mereka telah mempermalukan Islam. Paman pikir, apa tidak ada cara lain untuk membangun masjid, selain meminta-minta sumbangan di jalanan." Pak Ustadz menatap wajah Farid penuh tanya. "Mereka telah mengganggu ketertiban umum!" Pak Ustadz terkejut mendengar suara Farid. Ada puluhan rasa bertentangan yang bergelayut. Kecewa dan sedih, jengkel dan khawatir. Namun, di sudut lain, ada senyum dan rasa bangga Pak Ustadz terhadap sikap kritis Farid. "Umat Islam mestinya kreatif dan jauh dari watak meminta-minta. Apalagi ini pekerjaan mulia, menggalang dana dan dukungan untuk pendirian masjid. Benar begitukan, Paman?" Pak Ustadz terdiam. "Bagaimana Paman?" ulang Farid. Pak Ustadz mendehem sejenak. "Benar. Tapi, tidak semestinya kita menyalahkan mereka. Sebab, bagaimana mungkin orang-orang seperti mereka akan berhenti menengadahkan tangan di sepanjang jalan jika kita-kita ini tetap saja bersikap pelit dan bakhil dalam sikap hidup kita, " ucap Pak Ustadz. Kali ini gantian Farid yang keheranan. "Kalau kita pelit dan bakhil jangan salah jika mereka mengambil harta kita dengan cara seperti ini. Kalaupun mereka tak bisa, tunggu saja saat Allah mengambil harta kita, bahkan dengan cara yang kita sendiripun tidak menyadarinya." Kali ini gantian Farid yang terkejut. Ia seperti bingung mencerna ucapan Pak Ustadz. Namun, Pak Ustadz tak peduli. Ia tetap memandang ke depan dengan setir kemudi di tangan. * * * Sumber gambar: http://forum.banjarmasinpost.co.id/photo/2009/08/d2b4b74982087946bb43c2ba4d164de5.JPG

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun