Malam sudah merambat ke tengah. Pak Ustadz hendak pulang ke rumah. Dakwah yang dilakukannya sejak pagi hingga sore telah menyita perhatiannya. Dampaknya, ia mesti pulang larut. Angkot bersliweran di depan Pak Ustadz. Meski malam, jalan raya di daerahnya tetap ramai. Namun, hingga hampir setengah jam, ia belum menemukan angkot yang dicarinya. Hati Pak Ustadz sedikit gundah. "Alhamdulillah..." batin Pak Ustadz tak lama setelah melihat angkot yang hendak dinaikinya muncul juga. Pak Ustadz menghentikan angkot itu. Ia langsung naik dan mencari tempat duduk yang kosong. Diperhatikannya para penumpang yang ada. Oh, tidak terlalu penuh. Hanya ada tujuh orang termasuk dirinya. Angkot melaju perlahan-lahan. Pak Ustadz berharap angkot berjalan cepat. Ia sudah tak sabar ingin sampai di rumahnya. Namun, belum lama angkot melaju, Pak Ustadz mulai terganggu dengan suara cekikikan di pojok. Sepasang muda-mudi tampak asyik bercanda ria. Mereka asyik bermesraan. Beberapa kali sang pemudi mencubit manja pasangannya. Sedangkan yang pemuda tak berhenti menggoda sang pemudi. Sesudah itu mereka saling berpandangan. Mesra sekali. Tangan keduanya saling menggenggam, tak bisa dilepaskan. Pak Ustadz gelisah. Ia paham muda-mudi itu telah mengganggu penumpang yang lain. Ia juga paham apa yang dilakukan keduanya merupakan perbuatan yang tidak patut, bahkan seandainyapun mereka suami-istri. Tapi, Pak Ustadz sendiri bingung apa yang mesti dilakukannya. Tiba-tiba Pak Ustadz memiliki akal. Ia tahu dakwah harus dilakukan dengan lembut dan membawa hikmah. Lembut artinya dakwah dilakukan dengan kata-kata yang sopan, tindakan yang arif, dan sikap yang santun. Hikmah, artinya dakwah itu mampu memberi pencerahan, baik kepada orang yang didakwahi maupun sang pendakwah. Pak Ustadz memberanikan diri untuk menyapa ramah sepasang muda-mudi itu. "Dik, putranya sudah berapa sekarang?" Sepasang muda-muda itu terkejut. Kaget. Mereka tidak menyangka ada orang yang bertanya seperti itu. Mereka tidak menjawab. Namun, mereka terlihat amat malu. Wajah mereka seketika memerah. Buru-buru sang pemuda meminta sopir untuk menghentikan angkotnya. Lalu, ia menarik pasangannya untuk turun. Melihat itu, Pak Ustadz hanya bisa tersenyum simpul. Juga penumpang yang lain. Oh, mereka bukan sepasang suami istri rupanya. Alhamdulillah, mereka masih punya rasa malu. * * * Sumber gambar:
http://www.chip.co.id/gallery/data//511/Putri_Malu.jpg
KEMBALI KE ARTIKEL