Sekilas saya memang pernah mendengar cerita tentang dua orang prajurit TNI yang tertangkap oleh pihak keamanan Singapura. Namun pertanyaan yang melintas di benak saya, adalah: 1. 'Mengapa keduanya ditangkap oleh pihak keamanan Singapura?', 2. 'Dalam rangka apa keduanya pergi ke negeri jiran tersebut, pada masa itu?'. Kisah keduanya seperti terselubung oleh kekacauan politik pada masa transisi setelah peristiwa 'Gestapu' atau 'Gestok'. Mungkin kisah kedua prajurit berpangkat rendah itu tidak sedramatis kisah tentang penculikan para jenderal TNI AD, yang: kemudian dikenal dengan sebutan 'Pahlawan Revolusi'. Barangkali guru-guru sejarah yang mengajar saya merasa enggan mengusik-usik sejarah pada masa itu yang sangat lekat dengan konflik politik.
Pada saat nama kedua prajurit tersebut hendak digunakan untuk penamaan bagi kapal perang TNI AL yang akan hadir dalam jajaran armada tempurnya, kisah keduanya seakan-akan muncul kembali dan tentu saja banyak anggota masyarakat yang barangkali baru mengetahuinya, terutama para siswa-siswa generasi muda.
Berkaitan dengan penamaan kapal-kapal perangnya, TNI selama ini sepengetahuan saya selalu menggunakan nama pahlawan-pahlawan besar, selain nama-nama jenis senjata tradisional.
Ketika TNI dikomandoi oleh Jenderal Muhammad Yusuf selaku Panglima ABRI, saya teringat pada sebuah kapal perang baru TNI AL yang diberi nama: 'Malahayati', pahlawan dari Aceh, seorang  perempuan yang menjadi panglima armada laut Aceh pada masa kolonialisme Belanda. Jenderal Yusuf ketika itu ingin agar kapal perang terbaru itu dapat menunjukkan kehebatannya, sehingga beberapa waktu kemudian diadakan latihan perang terbesar yang melibatkan tiga angkatan, namun sebagai titik utama adalah pergelaran armada laut, di perairan Laut Jawa. Tentu saja yang menjadi primadona waktu itu adalah: KRI 'Malahayati'.
Ketika nama 'Usman Harun' muncul sebagai nama kapal perang TNI AL yang baru, seakan-akan terjadi penyegaran dalam memori public. Generasi yang lahir setelah era tujuhpuluhan yang tentu tidak tahu tentang konflik politik serta memanasnya kawasan semenanjung Malaya pada tahun 1960-an, akhirnya mengetahui tentang kisah Usman dan Harun.
Operasi penyusupan atau infiltrasi agen-agen militer biasanya merupakan  kisah yang lebih menarik dibandingkan dengan cerita pertempuran frontal peralatan tempur. Secara pribadi saya juga sangat menyukai kisah-kisah spionase yang terjadi dalam Perang Eropa selama kurun waktu enam tahun , pada tahun 1939 - 1945, antara Jerman melawan Inggris dan negara-negara Eropa daratan lainnya. Rencana pembunuhan Hitler, rencana peledakan bendungan, rencana penculikan Jenderal Mussolini, merupakan sederetan episode-episode 'kecil' yang belum banyak diketahui oleh public. Kita hanya disuguhi peperangan besar yang memang menjadi episode terpenting dalam kancah konflik militer, misalnya: Penyerbuan benteng el Alamin, duel kendaraan tempur 'tank' di Toburk, pertempuran udara di atas London, serta pendaratan marinir Amerika di Normandia.
Peristiwa penyusupan Harun Said dan Usman Hj Mohd Ali memperlihatkan bahwa operasi penyusupan ke negara tetangga pernah terjadi sebagai bagian dari kerasnya pertarungan politik kolonialisme Inggris yang masih bercokol di beberapa negara tetangga Indonesia  dan politik kemandirian Bangsa Indonesia yang diperjuangkan secara sungguh-sungguh oleh Presiden Sukarno demi kejayaan Indonesia Raya, ketika itu.
Bila KRI 'Usman Harun' tersebut tetap berlayar di perairan laut Indonesia, maka mungkinkah itu sebagai penanda bahwa Indonesia akan memasuki babak baru dalam menapaki proses kehidupan demokrasi yang lebih bergairah pada masa mendatang, setelah Pemilu tahun 2014. Wallahu alam.
14 Februari 2014.