Saya lihat Bagas memang suka berada di tempat terbuka daripada di dalam rumah. Suasana di luar rumah, apalagi di wilayah kampong yang sejuk dan sangat sepi membuat dia betah. Angin semilir yang bertiup diantara pepohonan membuat dia terdiam sambil menoleh ke kiri dan ke kanan.
Ketika saya ajak berjalan kaki selalu saja ada sapaan-sapaan dari ibu-ibu yang melihatnya.
"Wah, capek tuh bapaknya. Suka jalan-jalan ya 'dedek'."
"Mau ke mana, dek?"
"Bagas... Sudah bisa apa sekarang?".
Itulah sebagian komentar dari ibu-ibu yang saya ingat.
Namun selain ibu-ibu, ada pula sapaan atau komentar dari bapak-bapak. Ada dua orang laki-laki yang pernah menyapa saya. Komentar yang pertama, ketika saya berjalan pagi agak jauh bersama istri saya untuk berolahraga pagi.
"Tuh, lihat... Waktu kecil digendong begitu. Entar gedhenya melawan sama orang tua!", demikian celetukan seorang bapak yang berdiri di depan rumahnya, di hadapan istri dan anaknya.
Saya hanya tersenyum dan membenarkan maksud bapak tersebut. Memang bila kita salah mendidik anak, akhirnya setelah remaja, anak bukan jadi kebanggan orang tua, namun malah jadi siksaan batin bagi kedua orang tuanya.
Komentar kedua yang saya alami, adalah ketika saya menggendong Bagas sambil bersepeda, dengan sepeda onthel kesayangan saya. Saat itu saya juga ditemani oleh istri saya yang menaiki sepeda terpisah. Pada waktu kami melintasi sebuah pekarangan yang ada pemiliknya, sepasang suami-istri, kami seperti biasa tersenyum. Bapak tersebut juga tersenyum. Namun mendadak dia bersuara keras: "Bapak yang menggendong anak itu pasti istrinya sedang di Arab!". Saya kaget, namun kemudian tertawa dalam hati, mengerti maksud ucapan bapak tersebut. Istri saya yang berada di depan segera saya susul lalu saya ceritakan mengenai 'ucapan bapak tersebut', dia hanya tersenyum. Lalu sambil tetap mengayuh sepeda dia berkata: "Sudah biasa pada jaman sekarang, mas".
17 Maret 2014.