Ingatan saya ketika naik kereta jurusan Jogja - Bandung, puluhan tahun yang lampau masih terekam hingga kini. Pada waktu itu saya sering naik rangkaian KA kelas ekonomi 'Bandung Cepat' yang berangkat dari Jogja. Kereta berangkat pada pukul 07.00, selanjutnya perjalanan akan berlangsung selama 12 jam. Kereta akan sampai di Bandung pada pukul 19.00. Kadang-kadang terlambat satu jam. Bila saya masih merasa malas 'pulang' ke Bandung, maka saya akan naik rangkaian KA yang berangkat lebih siang, yakni: KA kelas bisnis 'Surabaya Ekspress', jurusan Surabaya - Bandung. KA 'Surabaya Ekspress' tiba di stasiun Tugu, Jogja, pada pukul 13.00. Selanjutnya setelah menempuh perjalanan selama 6 jam, rangkaian KA akan sampai di Bandung kira-kira pada pukul 21.00.
Tarif KA 'Bandung Cepat' saat itu (tahun 1983), adalah: 5000 rupiah, sedangkan KA 'Surabaya Ekspress', bertarif 12.500 rupiah (dari Jogja). Bagi saya kedua rangkaian kereta itu telah menjadi teman perjalanan yang menyenangkan. Bila saya naik KA 'Bandung Cepat', maka saya harus siap untuk merasakan waktu tempuh yang sangat lama dan melelahkan, sebab rangkaian KA akan berhenti di setiap stasiun. Kadang-kadang rangkaian harus berhenti setengah jam di stasiun kecil untuk memberi kesempatan rangkaian eksekutif melaju terlebih dahulu. Rangkaian KA eksekutif itu sering membuat saya sebagai penumpang KA kelas ekonomi merasa dianaktirikan. Beberapa nama rangkaian KA eksekutif saat itu, adalah: KA 'Mutiara Selatan' dan KA 'Bima'. Meskipun merasa cemburu namun saya sangat menyukai tampilan gerbong KA eksekutif yang melaju kencang di samping KA yang saya naiki. Rangkaian KA 'Bima' menjadi symbol kegagahan dan kemewahan bagi saya selaku penumpang ekonomi.
Hal lain yang saya ingat saat rangkaian melewati kawasan Wangon, Sidareja, Ciawi, dan Tasikmalaya, adalah seorang pedagang 'Ladu Ketan', sejenis makanan yang terbuat dari beras ketan. Pedagang tersebut adalah seorang pemuda ganteng, mirip bintang film blasteran Indonesia yang dulu sering membintangi film bertema silat.
Seingat saya, dalam rentang waktu 7 tahun, sejak 1983 hingga 1990, saya tidak pernah mendengar kejadian rangkaian KA yang anjlok di jalur selatan tersebut. Yang saya rasakan waktu itu hanya perasaan senang ketika menengok keluar jendela, ke arah posisi lokomotif, saat rangkaian membelok, memasuki celah perbukitan. Bagian samping lokomotif diesel CC berwarna kuning itu tampak bergoyang-goyang disertai semburan asap hitam saat merayap dalam tanjakan bukit-bukit di wilayah selatan Jawa Barat itu. Ada perasaan was-was namun tetap yaqin bahwa jembatan dan rel semua dalam kondisi baik.
Kini telah 24 tahun saya tidak pernah lagi merasakan sensasi tanjakan, belokan, turunan, dan ketegangan di atas lembah pegunungan di selatan Jawa Barat nan eksotik, sejak saya bermukim di Bogor. Sarana transportasi saya kini lebih banyak menggunakan bus malam. Memang ada perasaan rindu yang medalam bila mengingat masa-masa penuh keprihatinan itu. Namun hingga kini saya tetap belum dapat mewujudkan untuk mencoba kembali kenangan lama untuk naik rangkaian KA masa kini. Nama-nama rangkaian KA yang baru, seperti: KA 'Malabar', KA 'Argo Wilis', KA 'Lodaya', mungkin telah jauh berbeda tingkat kenyamanannya dibandingkan dengan pendahulunya (KA 'Bandung Cepat', KA 'Mutiara Selatan, 'dan 'KA 'Surabaya Ekspress'). Namun saya yaqin bahwa situasi pemandangan di sekitar rel, stasiun, dan kondisi letak rel, pasti masih tetap sama dengan jalan ketika menempuhnya puluhan tahun yang silam. Hingga kini saya masih tetap mencintai kereta api Indonesia.
5 April 2012.
activate javascript