Itu show di sebuah TV 12 Feb 2014 lalu, sekitar jam 18:00. Sehari kemudian, di acara yang sama komedian Aziz berperan jadi Tarzan. Selagi ia bergelantungan, tiba-tiba saja dikeluarkan ular. Ketakutan setengah mati, Aziz meronta dan memaksa ular itu disingkirkan. Lagi-lagi, di tengah ketakutan sang tokoh, semua orang tertawa.
Tak tahan dengan itu, saya mengirimkan tweet dua kali mention kepada pemilik acara bahwa itu adalah humor di tengah penindasan. Tak ragu lagi, saya melarang keras anak saya yang kelas 4 SD untuk menonton. "Pindah chanel sekarang!" perintah saya.
Seberapa BERBAHAYAnya itu? Berikut ini adalah hasil riset seorang profesor asal Kanada bernama Albert Bandura. Ia mengumpulkan dua kelompok anak-anak. Yang satu kelompok melihat adegan yang ada kekerasannya, setelah itu disediakan boneka. Yang satunya lagi adegannya tidak mengandung kekerasan. Hasilnya, kelompok anak yang nonton adegan kekerasan itu lebih agresif.
Bandura, penulis buku "Social Learning Theory" dan "Social Foundation of Social Thought and Action: a Social Cognitive Theory", menjelaskan hasil risetnya. Menurutnya, orang bisa belajar dari media. Hasil dari nonton itu tidak serta merta dipraktekkan. Orang akan "menyimpan" dalam otaknya sebagai "kode verbal" dan "kode visual". Nah, suatu saat, pada saat ada pemicu, apa yang dipelajari itu akan muncul dan dipraktekkan.
Mengapa saya memerintahkan anak saya ganti channel? Karena adegan di atas tadi akan terekam di otaknya. Suatu saat, baik disadari atau tidak, anak saya bisa melakukan hal yang sama pada temannya. Misalnya, ada yang takut cicak, bisa saja ia sengaja mengambil cicak, menakuti orang itu, sambil diiringi tawa teman yang lain. Ini adalah penindasan atas nama humor.
Dalam kehidupan, konsekuensinya akan menjadi lebih berat. Orang bisa tertawa sambil menyiksa orang lain demi alasan mendapatkan uang, harta, rating, atau kedudukan.
Saya berharap lebih banyak orang orang peduli. Jangan sampai humor dan hiburan kita jauh dari beradab.