Cuitan tersebut kalau di jabarkan secara panjang maka boleh jadi seperti ini, Sudah diatur agar dana deradikalisasi (tindakan preventif kontraterorisme atau stratregi untuk menetralisir paham-paham yang dianggap radikal dan membahayakan dengan cara pendekatan tanpa kekerasan) terus mengucur.
Dia mencari perhatian karena tidak dipakai lagi. Playing victim (menyalahkan orang lain dan memosisikan diri sebagai korban, korban keadaan juga korban yang disebab perilaku orang lain).
Mudah dibaca sebagai Plot (rangkaian peristiwa yang disusun berdasarkan hukum sebab akibat atau kausalitas. Peristiwa-peristiwa dalam cerita berhubungan satu sama lain).
Diatas berbagai opini (pendapat) yang beredar terkait berita hits (populer) siang ini. Tidak banyak yg benar benar serius menanggapi.
Mungkin karena terlalu banyak hoax-framing (berita bohong- membingkai sebuah peristiwa, untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan wartawan atau media massa ketika menyeleksi isu dan menulis berita.) yang selama ini terjadi'.
Cuitan Hanum Rais yang sejatinya merupakan opini pribadi ini diduga ditujukan kepada Wiranto, meskipun kata ganti (Dia) dalam cuitannya tidak merujuk langsung kepada Menkopolhukam Wiranto.
Namun ketika bentuk penegasan melalui kalimat berita hits siang ini, menjadi faktor penyebab bahwa opininya tersebut mengarah pada Wiranto.
Akan tetapi bila memang benar akhirnya cuitan ini diproses ke pengadilan, maka pihak pihak terkait yang memprosesnya mesti hati hati juga dalam memutuskan perkara kedepannya.
Secara bukti tertulis sebenarnya masih agak sedikit rancu bila dikasuskan, pihak yang mengadili nantinya harus dapat membuktikan pada sisi mana Hanum Rais dipersalahkan karena cuitannya.
Selain Hanum Rais beberapa status Medsos masyarakat banyak juga yang telah dipolisikan karena dituding menyebarkan ujaran kebencian, seperti beberapa anggota Persit, artis, bahkan ada juga dari kalangan politisi.
Oleh karena itu, terkait maraknya dugaan kasus pelanggaran UU ITE terkait peristiwa penyerangan Wiranto seyogianya dapat diproses dengan seadil adilnya di pengadilan dan tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah.
Nah, yang jadi pertanyannya, mengapa peristiwa penyerangan yang menimpa Wiranto ini sisi empati publik seperti hilang ditelan sisi sinisme publik?
Seperti yang berlaku diyou tube, twitter, facebook dan media sosial lainnya, seperti youbtube contohnya ketika siaran peristiwa penyerangan terhadap Wiranto tersebut tayang live di you tube, ternyata tidak sedikit lontaran berbagai komentar pedas yang mencibir atas apa yang menimpa Wiranto.
Berbagai komentar tersebut justru mengarah pada ketidak percayaan publik atas peritiwa yang menimpa Wiranto tersebut. Hal inilah yang cukup mengeherankan mengapa publik justru banyak yang mencibir dan lebih percaya pada opini dan komentar yang bernada minor tentang peristiwa yang menimpa Wiranto.