BPJS Kesehatan merupakan badan yang menjamin biaya pengobatan Warga Negara Indonesia (WNI) yang dipungut iuran setiap bulan. BPJS Kesehatan merupakan asuransi kesehatan terbesar di dunia. Dengan jumlah anggota lebih dari 215 juta orang.
Namun seiring berjalannya waktu, BPJS Kesehatan selalu mengalami defisit. Bahkan sampai dengan tahun 2019 defisit mencapai Rp. 28,3 Trilyun, dan yang lebih parah lagi BPJS Kesehatan diprediksikan akan menderita defisit sampai Rp77,9 triliun di tahun 2024.
Berkaitan dengan ini, yang jadi masalah adalah apabila defisit ini terus membesar dan tak terkendali, maka tidak saja hanya mengancam kesinambungan program, tapi juga mengancam kesinambungan fiskal.
Padahal kebijakan fiskal telah dilakukan oleh pemerintah melalui Perpres Nomor 111 Tahun 2013 tentang JKN agar pajak rokok dapat menambal defisit BPJS Kesehatan. Dengan aturan ini, sebanyak 75 persen dari setengah penerimaan pajak rokok daerah dialokasikan kepada BPJS Kesehatan. Namun tetap juga tidak dapat mengatasi masalah defisit tersebut, malahan defisit terus bertambah?
Jadi, boleh dikatakan BPJS Kesehatan sedang dalam kondisi "Sakit" atau tidak sehat dan diambang kebangkrutan, nafsu besar tapi tenaga kurang.
Sebuah Badan/Lembaga yang seharusnya dapat memberikan pelayanan kesehatan tapi faktanya saat ini sedang sakit, bagaimana mau menyehatkan anggotanya?
Lalu apa sebabnya BPJS Kesehatan selalu saja mengalami defisit? Inilah Faktanya;
Seluruh proses pembayaran BPJS yang berkaitan dengan keuangan, diterapkan secara terpusat tunggal dan sentralistik, sehingga menyebabkan ketidak efektifan dan kurang pengawasan serta pengendalian dalam proses pembayaran karena bertitik tumpu pada pusat, dan tidak mengikutsertakan peran pemerintah daerah.
BPJS juga Tidak tepat dalam memetakan dan mendata sasaran Penerima Bantuan Iuran (PBI) dari pemerintah sebagai peserta Jaminan Kesehatan Nasional diseluruh Indonesia. PBI yang didaftar sebagai peserta JKN oleh Kemensos (Kementerian Sosial), ternyata di lapangan banyak ditemukan seharusnya peserta tersebut masuk kategori PBPU (peserta mandiri).
Kurangnya Sosialisasi kepada peserta Penerima Bantuan Iuran dari pemerintah sebagai peserta Jaminan Kesehatan Nasional diseluruh Indonesia, menyebabkan terjadinya diseminasi informasi kepada masyarakat.
Ditambah lagi masyarakat Indonesia peserta mandiri banyak yang menunggak membayar premi, masyarakat banyak yang tidak memahami dan menyadari jika membayar membuat program ini bisa berjalan berkelanjutan. Sehingga Peserta mandiri tidak teratur membayar premi sehingga membuat anggaran BPJS Kesehatan minus.
Dalam hal ini BPJS Kesehatan belum mampu menciptakan sebuah sistem yang bisa memaksa peserta mandiri membayar tunggakan iurannya. Teknis dan strategi dalam meningkatkan keuangan tingkat partisipasi peserta membayar iuran relatif rendah.
Lalu semakin membengkaknya kewajiban pembayaran klaim pihak rumah sakit, karena BPJS dinilai kurang teliti dalam melakukan audit manajemen terhadap rumah sakit, terutama dalam hal pengawasan dan pemeriksaan secara faktual dan disinyalir membengkaknya tagihan dari pihak rumah sakit tersebut dikarenakan banyaknya klaim pembayaran layanan kesehatan yang tidak wajar.
Dalam hal ini, secara keseluruhan terdapat kinerja dan sistem manajemen BPJS yang dinilai kurang baik dalam mengatur berbagai alur mengenai anggaran dan berbagai proses lainnya.
Kemudian berkaitan dengan ini, untuk menyelamatkan BPJS dari kebangkrutan karena terus mengalami defisit, pemerintah malah menaikan besaran iuran peserta mandiri dan tidak tanggung-tanggung besaran kenaikan tersebut mencapai dua kali lipat dari iuran yang sebelumnya atau 100 persen.
Seperti diketahui berdasarkan daftar iuran BPJS Kesehatan yang akan diterapkan pemerintah terhitung mulai tanggal 1 Januari 2020 adalah;