Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Mengapa Saya Menolak Timur Pradopo?

21 Oktober 2010   08:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:14 187 0


Oleh: Sigit Widodo*

Pada 19 Oktober 2010, DPR akhirnya menyetujui pencalonan Komisaris Jenderal Timur Pradopo sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri). Beritanya terpinggirkan, atau memang sengaja dipinggirkan, oleh hiruk-pikuk pencalonan Soeharto sebagai pahlawan nasional dan satu tahun pemerintahan SBY-Boediono.

Tulisan ini sebenarnya ingin saya buat pekan silam, usai Timur menjalani fit and proper test di DPR. Namun baru sekarang saya bisa menulisnya. Better late than never, kata orang Inggris. Jadi, sementara orang lain sudah pindah ke isu satu tahun pemerintahan SBY-Boediono, perkenankan saya masih berkutat pada soal usang ini.

Timur Pradopo. Nama ini akan selalu terekam di benak saya dan kawan-kawan alumni Universitas Trisakti lainnya yang terlibat dalam tragedi 12 Mei 1998. Timur yang masih berpangkat Letnan Kolonel (Pol), saat itu menjabat sebagai Kapolres Jakarta Barat. Di dalam wilayahnya terletak Kampus A Universitas Trisakti, lokasi penembakan yang menewaskan empat orang mahasiswa teman kami.

Saya ingin mengajak Anda menyusuri kenangan kami di hari itu. Situasi Indonesia dalam keadaaan sangat tegang. Krisis menghantam ekonomi Orde Baru yang rapuh. Rupiah menjadi tak berharga, inflasi gila-gilaan, dan bisnis kolaps di mana-mana. Setelah berbulan-bulan diam, sampai-sampai senat mahasiswa kami dikirimi baju dalam wanita oleh kampus lain, mahasiswa Universitas Trisakti akhirnya memutuskan untuk menggelar mimbar bebas raksasa dan mencoba bergerak ke DPR.

Ya, mimbar bebas terbesar yang pernah digelar mahasiswa Jakarta saat itu. 6000 mahasiswa bergabung dalam aksi ini – mahasiswa kampus paling borjuis di Indonesia yang super duper apolitis sejak NKK/BKK 1978. CNN dalam laporannya melukiskan sebagai “students of Indonesia’s best families now marching on the street”.

Aksi ke DPR tidak pernah terjadi. Kami dihadang di depan kampus oleh ribuan aparat gabungan Polisi dan TNI-AD. Setelah lima jam disengat terik panas dan hujan deras berganti-gantian, kami memutuskan untuk mundur dan masuk kembali ke dalam kampus. Situasi berangsur tenang hingga menjelang petang.

Menjelang petang, kami mendengar akan ada sweeping pada sisa-sisa mahasiswa yang masih duduk-duduk di jalanan depan kampus. Kami pun bersiap-siap. Tiba-tiba terdengar tembakan dari arah kantor lama Walikota Jakarta Barat. Mahasiswa yang kebanyakan sudah menunggu kendaraan untuk pulang, berlarian masuk ke kampus. Sampai di dalam kampus, mahasiswa tetap disuguhi pelor panas. Kami berlarian di bawah desingan peluru, bersembunyi di sela-sela pepohonan. Beberapa mulai membalas melempar batu ke arah aparat. Hei, bagaimanapun ini Trisakti. “Lempar batu” sudah jadi olahraga rutin kami tiap semester, bung. ;-)

Gas air mata mulai dilemparkan ke dalam kampus. Desing peluru bercampur gas air mata menyesakkan kampus. Malam perlahan hadir, gelap mengurung kampus.

Dalam kegelapan dan pekatnya gas air mata, kami menemukan beberapa teman menjadi korban penembakan. Tak lama, darah korban memenuhi selasar kampus. Amis darah bercampur gas air mata menyesakkan paru-paru. Keheningan malam dikoyak jeritan marah mahasiswa dan tangisan panik mahasiswi. Tembakan terus diarahkan ke dalam kampus.

Kami mencoba mendobrak ruang kesehatan mahasiswa yang sudah dikunci. Tidak berhasil. Satu-satunya harapan kami adalah membawa rekan-rekan yang terluka ke Rumah Sakit Sumber Waras, sekian ratus meter di timur kampus kami. Namun itu juga bukan hal yang mudah, kampus masih dikepung oleh aparat gabungan.

Kami mencoba bernegosiasi dengan aparat agar diperbolehkan membawa teman-teman yang terluka ke luar kampus. Saat itulah kami berhadapan dengan Kapolres Timur Pradopo. Dia menolak permintaan kami. Seorang teman saya kembali sambil menangis dan memaki-maki Timur Pradopo setelah gagal membawa korban penembakan keluar kampus.

Gambaran itu yang selalu muncul di benak kami saat mendengar nama “Timur Pradopo”. Jadi saat tiba-tiba saja SBY mencalonkannya sebagai Kapolri, kami terhenyak.

Dalam banyak hal saya sebenarnya berbeda pendapat dengan teman-teman aktivis Trisakti lain yang tidak pernah jemu memperjuangkan pengusutan kasus 12 Mei 1998. Tidak sampai seminggu setelah peristiwa tersebut, saya sempat memasang poster di depan gedung jurusan saya, “Hentikan berkabung, teruskan perjuangan!” Setelah sempat terpasang beberapa jam, seorang teman dengan bijak meminta saya mencopotnya. “Git, jangan pasang poster seperti itu. Masalahnya beberapa teman meninggal, masak nggak boleh berkabung”. Saya pun mengalah dan mempersilakannya untuk mencopot poster itu.

Buat saya, perjuangan tidak harus berhenti karena satu kasus. Penuntasan kasus harus dibarengi perjuangan yang makin masif. Namun keduanya tidak pernah terjadi. Tragedi 12 Mei 1998 tidak pernah dituntaskan, dan semangat kampus kami makin merosot. Memang sempat kembali naik saat peristiwa Semanggi I, namun berikutnya anjlok sampai titik nadir.

Bagaimanapun saya tidak akan pernah rela seorang yang melarang kami menyelamatkan teman-teman yang tertembak saat 12 Mei 1998 dicalonkan menjadi orang tertinggi di jajaran kepolisian Republik Indonesia. Sebagai aktivis mahasiswa 1998, salah satu kebanggaan saya adalah pemisahan Polri dari ABRI. Polri saat ini adalah penegak hukum dan HAM, pilar masyarakat sipil yang kami dambakan. Tidak layak Polri dipimpin seseorang yang memiliki masa lalu sebagai pelanggar HAM.

Banyak teman alumni yang kemudian menghubungi saya dan mengajak melakukan aksi. Namun di hari fit and proper test 14 Oktober silam, semua yang mengajak melakukan aksi memilih “melanjutkan kehidupan normalnya”. Kebanyakan tidak bisa datang karena kesibukan kantor, ada juga yang sedang terserang diare. Baiklah, hidup memang berjalan terus, dan rata-rata teman saya sudah memiliki kewajiban sebagai orangtua.

Saya memilih untuk tetap datang ke DPR pada hari itu. Penjagaan tidak seketat yang digambarkan media. Mobil saya dengan mudah keluar-masuk tanpa pemeriksaan sama sekali. Penjagaan hanya ketat di Ruang Nusantara II, dan itu bukan masalah. Sejak awal saya tidak pernah ingin melihat fit and proper test bohong-bohongan itu.

Beberapa teman alumni yang sekarang tergabung di Kontras memang masuk menjadi “fraksi balkon”. Tapi saya tidak tertarik. Buat apa? Bahkan partai oposisi seperti PDIP pun sudah dijinakkan. Tidak perlu buang energi dengan risiko menderita sakit mual melihat sandiwara anggota parlemen yang hanya bisa memikirkan perutnya sendiri, atau bagian bawah perutnya.

Saya memilih untuk berkeliling kompleks DPR. Sepi. Sesepi nurani penghuninya. Selain puluhan polisi yang bergerombol memesan kopi di kafe dekat Nusantara II, tidak ada tanda-tanda seorang yang terlibat pelanggaran HAM 12 tahun silam akan diuji kepatutannya menjadi Kapolri. Saya pun memilih pergi dari gedung dingin itu.

Saya sangat sadar, Timur sudah pasti naik menjadi Kapolri. Hasil Pemilu 2009 menghasilkan sebuah rezim yang sangat kuat secara politis. Sebodoh apapun keputusan presiden saat ini, pasti akan berjalan mulus tanpa rintangan berarti.

Bahkan tidak ada anggota parlemen yang mempertanyakan, seorang Inspektur Jenderal, yang baru dinaikkan menjadi Komisaris Jenderal, langsung dicalonkan menjadi Kapolri, yang berarti akan segera naik menjadi Jenderal penuh berbintang empat. Lesatan karir yang sangat hebat. Apakah benar Timur sehebat itu sebagai seorang polisi? Tapi, sudahlah. Saya memahami betul kualitas pemerintah dan parlemen saat ini.

Namun tidak adanya gerakan perlawanan masif dari alumni Trisakti cukup membuat sedih. Seorang sahabat berkomentar, “Wongkampusmu nggak kompak”. Betul, kami memang tidak pernah kompak, bahkan saat 12 Mei 1998 sekalipun. Tapi kesunyian ini tetap merobek nurani. Ditambah kesunyian media massa mainstream, semakin lengkap rasanya.

Saya tentu tidak serta-merta menuduh Timur paling bertanggung jawab pada tragedi 12 Mei 1998. Apalah artinya melati dua di percaturan politik Indonesia saat itu? Cuma kroco tidak penting.

Namun sebagai mantan Kapolres Jakarta Barat, Timur tetap harus bertanggung jawab. Apalagi Timur menolak hadir dalam investigasi yang dilakukan Komnas HAM beberapa tahun sesudahnya. Elakan dengan mengatakan ketidakhadirannya disebabkan larangan institusi tidak pernah dikejar lagi oleh anggota DPR, yang memang cuma tukang stempel itu.

Buat saya, seorang yang tidak berani bertanggung jawab dan melempar kesalahan pada institusi tempatnya bekerja, jelas bukan seorang pemimpin. Ditambah pengalamannya melanggar HAM dengan dalih menjalankan tugas, bayangkan sifat institusi yang akan dipimpinnya kelak. Bahkan Timur dengan enteng menyatakan kalau laskar Front Pembela Islam (FPI) yang beberapa kali melakukan tindakan anarkis dan pelanggaran hukum, bisa membantu menjaga keamanan. Wow! Saya langsung terbayang laskar Schutzstaffel di Jerman pada masa pemerintahan Hitler.

Bagaimanapun, mengutip SBY, “sistem telah bekerja”. Secara konstitusional, Timur tinggal dilantik menjadi Kapolri. Sampai saat ini saya masih berharap Polri akan terus bertransformasi menjadi penjaga keamanan dan HAM sejati di republik tercinta. Saya juga masih bercita-cita, hukum sipil segara diterapkan pada militer, dan Polri menjadi pengawalnya.

Haruskah saya akhiri tulisan ini dengan memberikan selamat kepada Komjen Timur Pradopo, yang tak lama lagi akan menjabat Kapolri dengan bintang empat bertengger di pundaknya? Maaf, Jenderal. Saya tetap tidak rela.

* Mahasiswa Universitas Trisakti 1993-1998 www.widodo.net

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun