Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Berkomunikasilah, Agar Tak Sekadar Mencaci Kegelapan

31 Agustus 2024   10:55 Diperbarui: 31 Agustus 2024   11:07 76 1
Panjang umur orang-orang baik yang selalu mengupayakan kebaikannya agar memperbaiki sekitar.
 
Di sebuah kantin kantor, sekumpulan pegawai sedang asyik membicarakan pimpinannya. Menggosip dan mngulik aib sang bos. Sesekali sambil memaki, meluapkan akumulasi kemarahannya atas perlakuan pimpinan kantor selama ini.

"Kok bisa ya kita punya bos kaya dia. Hobinya cuma kasih beban ke anak buah, giiran kerjaan ada masalah dikit aja bisanya maah-marah sama ngancem bawahan," kata salah satu pegawai.

"Iya, padahal kadang kesalahannya karena kontribusi dia juga. Kemarin aku jadi korbannya, pas tak kasih masukan malah marah-marah. Harusnya kalau dia gak mampu introspeksi diri, minimal sedikit empati lah ke kita, jangan cuma marah tanpa mau tahu masalah," timpal yang lainnya.

Aku yang sejak tadi duduk tepat di meja belakang mereka pun cuma bisa diam, sambil menyimak keresahan dan umpatan mereka. Meski baru sebulan bekerja di kantor ini, aku juga sudah cukup memahami situasinya.

Bedanya, aku malas "ngrasani" si bos setiap Waktu. Bukan karena tak peduli apalagi menikmati situasi kantor yang begitu, tapi lebih karena enggan berekstase meluapkan kekesalahan dengan nikmatnya. Toh tidak menyelesaikan masalah juga kan?

***
Oiya, bosku ini orangnya memang agak lain. Kalau menurut kesimpulanku sih, dia tipe orang yang belum selesai dengan keruwetan dirinya. Seolah senang diskusi, tapi sebetulnya asyik dengan ide dan pendapatnya sendiri. Kurang mau tahu masalah kerjaan, tapi bisanya mengancam ini dan itu.

Ya lebih mirip krisis kepemimpinan dalam dirinya. Sejak awal aku curiga kalau pimpinanku ini tipe suami yang kalah sama istrinya di rumah, dan ternyata teman-teman kantor sudah tahu semua.

Tentang kegalakan istrinya yang mengalahkan karakter kelelakiannya, tentang si bos yang biasa mengerjakan tugas rumah, seperti nyuci, nyapu, dan ngepel.

Oiya, beberapa kali si bos menghentikan rapat di kantor karena ditelpon istrinya supaya cepat pulang. Kejadian-kerjadian semacam ini pun dengan cepat dilahap jadi bahan gosip yang nikmat.

Nah, dari kejadian ini, aku semakin yakin kalau si bos ini kalah sama istri dan anaknya. Nalurinya sebagai pemimpin di rumah tangga seperti direpresi, diendapkan oleh anak dan istri. Dampanya, ia dia melampiaskannya di kantor. Jadi, apa yang dilakukannya ke bawahannya lebih sebagai pelampiasan, seolah ingin menegaskan kalau dirinya adalah pemimpin, sesuatu yang tidak ia dapatkan di rumah.

***
"Had, sini gabung kita, timbang sendirian," celetuk salah satu teman di tengah gosipin si bos.

"Iya nih Had, ini kan sudah Desember, kita pikirkan caranya bagaimana supaya si bos ini mau kasih bonus akhir tahun. Jangan cuma kasih masalah dong, kasih reward juga biar kita kerjanya semangat," timpal yang lainnya.

Aku cuma mengangguk ringan sambil tersenyum.

"Bro, timbang lu pada cuma ngrasani si bos, mengeluhkan cara kerjanya, kenapa kalian gak coba sampaikan langsung sih, itung-itung kasih nasehat baik daripada cuma mengumpat dia di belakang," kataku sambil pamit masuk ke ruang kerja lagi.

Semua terdiam. Ekspresinya serius, antara kaget dan menolak. Aku tak peduli, memilih beranjak dari kantin.

"Percuma bro, dia gak mempan dikasih masukan."

Di dalam kantor, aku tak langsung ke meja kerja. Langkahku mendadak belok ke ruangan si bos. Ia sedang asyik menyimak video motivasi dari konten Youtube sambil menyantap bekal makanannya, lalu tersenyum saat melihatku.

Sesaat setelah duduk dan berbasa basi, aku pun menyampaikan maksudku. Kusampaikan sejumlah masalah di kantor panjang lebar, sampai kegelisahan teman-teman dengan ritme kerja selama ini.

***
Hari ini aku sampai ke kantor dengan sedikit ngos-ngosan. Ya, aku terlambat bangun karena ketiduran usai subuh. Saat masuk ruangan, beberapa teman menyapaku dengan ramah sambil senyam senyum. Satu dua orang bahkan menjabat tanganku dengan hangat.

Aku bingung, ini tak seperti biasanya. Ada apa ini?

"Kabar baik bro, tadi si bos ke ruangan dan mengumumkan kalau akhir bulan nanti ada bonus untuk semua karyawan. Kita seneng banget ini, baru kali ini dikasih bonus," kata salah satunya.

"Wah, bagus dong. Alhamdulillah. Tapi kenapa kalian mendadak ramah semua ini, agak laen ini, gak kaya biasanya."

"Sudah lah bro, jangan pura-pura lagi. Ini semua berkat kerja kamu, tadi si bos juga cerita kok."

Wah, perasaanku langsung campur aduk. Antara senang dan kaget. Senang karena saranku ternyata diterima dan dilaksanakan si bos, tapi juga masih tak percaya bahwa si bos secepat itu mengeksekusi usulanku.

"Agh, gak juga. Aku cuma menyampaikan kegelisahan kalian aja, gak lebih."

"Tetep aja, kalau kamu gak komunikasikan langsung ke si bos, bonus akhir tahun gak pernah ada bro. Jadi, kami tetap terima kasih banget ini sama perjuanganmu....."

Aku hanya menanggapinya dengan senyuman, sebelum akhirnya duduk di merja kerjaku. Dan semuanya Kembali bekerja seperti biasa.

***
Cerita di atas tentu saja fiksi, tetapi tetap berbasis pengalaman nyata. Ya mirip-mirip lah. Apa yang bisa dipahami dari cerita tersebut adalah tentang betapa pentingnya komunikasi dalam setiap entitas apapun.

Ya, komunikasi adalah koentji. Ia bisa mencairkan banyak ketegangan akibat perbedaan pendapat, atau bahkan karena ketidaktahuan. Dengan berkomunikasi, paling tidak ada kebutuhan yang terpenuhi, ada sumbatan yang kembali tersalurkan. 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun