[caption id="attachment_119631" align="alignleft" width="448" caption="Korban luka tembak. Foto LembAHtari, dok. KPA"][/caption] Duka dan amarah warga Desa Sei Minyak, Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, bercampur jadi satu. Lima belas orang terjungkal, delapan orang diantaranya tertembak dan tujuh lainnya luka-luka, setelah diserang aparat gabungan Brimob Polda Sumut, TNI-AD, dan TNI-AL.
Insiden itu terjadi, Senin (27/6/2011) sekitar pukul 13.00 waktu setempat. Peristiwa tragis itu terjadi sebagai akhibat konflik lahan antara masyarakat dengan pihak Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Pihak TNGL mengklaim bahwa lahan yang ada di desa itu adalah milik TNGL. Sementara warga bertahan karena tidak tahu harus pindah kemana jika tidak diperbolehkan tinggal di tempat itu lagi.
Selain itu, warga juga berdalih bahwa Keputusan Pengadilan (PN) Nomor 04/PJB.G/2007/PNSTB menyatakan bahwa, kawasan itu adalah tanah negara, bukan wilayah TNGL. Begitu juga hasil putusan banding Pengadilan Tinggi Medan yang menguatkan putusan pengadilan negeri tinggat pertama. Namun, TNGL tetap mengklaim bahwa wilayah Desa Sei Minyak, dan dua desa lainnya yakni, Desa Induk dan Desa Damar Hitam yang berada di Kecamatan Sei Lepan dan Besitang adalah milik TNGL.
Atas dasar itulah, warga desa yang masyoritas penghuninya pengungsi eks korban konflik Aceh mencoba mempertahankan desanya. Apalagi, para pengungsi eks korban konflik Aceh itu sudah berhasil menyulap kawasan itu menjadi lebih dinamis. Lahan-lahan yang dulu telantar, selama 11 tahun diubah menjadi lahan pertanian dan kebun-kebun karet produktif.
Namun, itulah Indonesia yang masih banyak dihuni para pejabat korup dan tidak pernah memikirkan rakyatnya sendiri. Kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yang menjadi salah satu tujuan utama---dan dituangkan dalam Pancasila, UUD 1945 ---- seakan tanpa makna. Berbagai aturan dibuat, berbagai keputusan dicipta. Namun, seperti tidak ada yang merujuk pada tujuan dan semangat konstitusi yang ada di negara ini.
Kembali pada persoalan Desa Sei Minyak, desa kecil yang berjarak sekitar 28 kilometer arah barat ibukota Kecamatan Besitang yang diklaim sebagai kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Senin (27/6/2011) berubah menjadi panas, setelah 4 unit rumah warga dirobohkan.
Saat warga berusaha melawan dan mempertahankan rumahnya, satu per satu warga terjungkal setelah diberondong peluru dari pasukan tempur yang disewa untuk mengawal TNGL. Berikut nama-nama korban:
1.Abdul kadir alias Aceng Umur 40 Tahun (luka tembak)
2.Lasimun umur 50 Tahun (luka Tembak)
3.Amir Hamzah umur 39 tahun (luka tembak)
4.Ismuddin Simbolon umur 41 tahun luka tembak (kritis)
5.Haris Saragih umur 37 tahun luka tembak (kritis)
6.Supandi umur 21 tahun luka tembak (kritis)
7.Boysanto umur 40 tahun luka tembak (Kritis)
8.Purwanto umur 25 tahun luka tembak
9.Riadi alias Opung Umur 61 tahun Penganiayaan (kritis)
10.Ngatiman umur 52 tahun Penganiayaan (Kritis)
11.Purnamanta PA umur 37 tahun Penganiayaan (kritis)
12.Dasori umur 71 Tahun Penganiayaan
13.Giok Umur 45 tahun Berluka tembak
14.Hasan Basri umur 42 tahun Penganiayaan
15.Zaini umur 37 tahun Penganiayaan.
Bentok memang sudah berhenti. Namun, situasi masih cukup tegang. Sebagian warga masih berjaga-jaga walau semua pasukan gabungan Polisi Brimob Polda Sumatera Utara, Yonif-8 Marinir Tangkahan Lagan, Raider 100, Polisi Pasukan Reaksi Cepat, Kodim 0203 Langkat serta Polres Langkat, sudah ditarik dari desa itu.
Solusi
Sadar atau tidak. Diakui atau tidak. Menyelesaikan masalah sengketa lahan atau konflik agraria yang melibatkan kepentingan masyarakat luas dengan melibatkan kekuatan TNI dan pasukan bersenjata lainnya, sebenarnya tidak pernah menyelesaikan masalah. Namun, justru melahirkan masalah baru. Sebab, sering kali, jika kita semua mau belajar dari pengalaman, cara-cara penyelesain konflik agraria dengan melibatkan TNI selalu diiringi dengan persoalan pelanggaran HAM.
Karena itu, sebaiknya pemerintah bisa lebih bijak dalam menangani persoalan konflik agraria dan sengketa lahan yang melibatkan kepentingan hidup masyarakat luas. Caranya, melaksanakan reforma agrarian sejati sebagaimana amanat UUPA No.5 Tahun 1960. Tanpa reforma agrarian sejati, persoalan-persoalan seperti di Desa Sei Minyak, pasti akan terulang kembali.
Melaksanakan reforma agraria, bukan hanya sekadar bagi-bagi tanah telantar kepada petani penggarap sebagaimana program Larasita BPN. Lebih dari itu, melaksanakan reforma agrarian berati merombak total struktur kepemilikan tanah agar tidak ada ketimpangan. Tujuan utama dari reforma agraria adalah menciptakan keadilan dan kesejahteraan sosial.
Sebagai langkah awal, sebelum mengusir warga Desa Sei Minyak dari kawasan tersebut, sebaiknya pemerintah menyiapkan dan menyediakan perumahan serta lahan pertanian bagi masyarakat. Bukan karena mereka warga pengungsi eks korban konflik Aceh yang harus ditangani secara khusu. Namun, mereka adalah warga Negara Indonesia yang harus dilindungi dan disejahterakan dalam hidupnya. Jika hanya diusir tanpa solusi, lalu dimana mereka harus berpijak?