Saat teman kampus yang masih terhubung dengan group WA di smartphone penulis, ada pernyataan unik dan lucu yang selalu membuat persaudaraan kami sesama teman kampus yg sudah lebih dari 15 tahun berteman menjadi semacam bumbu penyedap komunikasi di antara kami. Salah satu pertanyaan yang cukup mengganggu adalah "Apakah Ibu Kartini bukan pahlawan?" dan pertanyaan sederhana ini menjadi polemik yang seru di tengah group whatsapp komunitas alumni STMI angkatan 86. Luar biasa, akhirnya malah memunculkan berbagai opini dan perdebatan kecil yang menambah keakraban di antara kami. [caption id="" align="alignright" width="122" caption="Pergeseran Kesetaraan"][/caption] Sebut saja Budi Hernawan, salah satu teman penulis yang cukup lucu, punya ide, bahwa Bu Kartini bukanlah pahlawan dan pejuang bagi para perempuan karena tidak pernah ikut berperang seperti halnya Tjut Njak Dien, tjut Meutia ataupun Christina Marta Tiahahu termasuk Ibu Dewi Sartika. Saya pun membantahnya demikian pula teman-teman yang lain. Bagi saya definis pahlawan itu diambil dari kata pahala dan wan, dimana kata wan sebagai pelaku atau orang yang melakukan sesuatu karena mengharap pahala semata, bukan pamrih yang lain. Dan tidak mesti pahlawan itu harus ikut berkorban dengan berperang. Berkorban ya, tapi tidak harus  ikut berperang. Sama seperti halnya dengan definisi berjihad serta mati syahid, kan tidak harus maju ke medan tempur serta mati karena berperang. [caption id="" align="alignleft" width="230" caption="Habis Gelap Terbitlah Terang"][/caption] Banyak hadits Nabi yang diriwayatkan bahwa syahid bisa saja diperoleh oleh siapapun tanpa harus maju ke medan perang. Misalnya, wanita yang mati melahirkan dan bersaksi maka dia termasuk mati syahid. Demikian pula orang yang berjuang mencari nafkah demi anak dan istrinya kemudian dia mati bersaksi mengucapkan kalimat tauhid, maka dia mati syahid. Pemuda yang sedang menuntut ilmu belajar di sekolah maupun kampus, kemudian dia mati sambil bersaksi mengucapkan kalimat Laa ilaaha illalaah maka dia mati syahid. Orang baik perempuan maupun lelaki yang mati terbentur benda tumpul kepalanya atau yang mati tenggelam atau mati tercekik kehabisan napas karena dalam satu ruangan bukan karena dibunuh, bisa dikategorikan mati syahid. Demikian pula ibu kita Kartini, dia merupakan salah satu wanita pertama yang memberanikan didinya untuk menulis kepada sahabatnya yang orang Belanda, Mrs. Abendanon dimana pada saat itu belum ada wanita yang bisa dan berani menuliskan pikirannya dalam sebuah surat kepada pihak luar. Karena mustahil sekali, pada saat itu perempuan memang tidak layak mendapatkan pendidikan yang tinggi hampir bisa dipastikan sebagai kasta kelas kedua jika dibandingkan pendidikan kepada anak-anak laki-laki. Pemerintah pun tak pernah menghilangkan peran Tjut Njak Dien maupun Tjut Meutia serta Martachristina Tiahahu ataupun Dewi Sartika sebagai pahlawan melalui jalur yang berbeda. Khusu untuk ibu Dewi Sartika pola perjuangan pahlawan wanita ini hampir mirip dengan R.A.Kartini yakni jalur pendidikan para wanita di jamannya di wilayah Sunda, Jawa Barat. Jadi kata pahlawan itu sebenarnya adalah mereka yang berjuang hanya dengan mengharapkan pahala atau ikhlas semata tanpa berharap pamrih. Masalah niat ikhlas atau tidaknya itu urusan per pribadi, tapi melihat pengorbanannya dan pencapaian yang pernah mereka berikan serta dapatkan menunjukkan mereka layak disebut pahlawan, bukan? Eh setelah mendapat penjelasan seperti itu, teman saya ini malah berkelit dengan jawabannya yang lucu dan tak terduga. "Kartini kan berjuang bukan untuk mengharumkan nama bangsa, tapi mengharumkan namanya sendiri!" Masya allah ternyata dia mau melucu. Sidik Rizal
KEMBALI KE ARTIKEL