Oleh: Sidik Nugroho *) Hari Sabtu dan Minggu yang baru saja lewat adalah hari-hari yang mengesankan bagi saya. Sepanjang dua hari ini, saya bertemu dengan beberapa orang yang memiliki minat serupa -- minat dalam dunia tulis-menulis. Dua di antara beberapa orang itu adalah Kirana Kejora dan Haryo Bagus Handoko. Nah, hal yang menarik dari mereka berdua adalah jalan berbeda yang mereka tempuh dalam berkarya di dunia penulisan. Ide untuk menulis catatan kecil ini muncul di sebuah kedai kopi di Malang, Kedai Sinau. Sabtu sore, 3 Agustus 2011, saya duduk bersebelahan dengan Fikrul Akbar Alamsyah, seorang anggota Forum Penulis Kota Malang (FPKM) yang kini menjadi dosen di Universitas Brawijaya. Saat itu tengah berlangsung bedah buku
Air Mata Terakhir Bunda yang ditulis Kirana Kejora. Kami dan beberapa orang lain di kedai itu asyik menyimak Kirana menyampaikan cerita dan gagasan-gagasannya. Menjelang acara berakhir, saya berkata kepada Fikrul, "Acara bedah buku ini kelihatannya bagus buat ditulis. Aku belajar banyak dari semangat independen Kirana Kejora menerbitkan buku indie. Dan, tadi siang aku juga
ngomong banyak dengan Haryo soal penerbitan buku di penerbit, bukan yang indie."
Semangat Independen Kirana Kejora "Saya tidak melawan arus, atau tidak ikut arus, tapi saya sedang menciptakan arus," kata Kirana Kejora dengan lantang pada acara bedah buku di Kedai Sinau. Ia mengisahkan hal-hal apa saja yang membuatnya bertekad membangun dunia penulisan dengan memasarkan buku-buku secara indie. Beberapa tahun lalu, di Surabaya, ia memiliki kenalan grup-grup band indie dan model. Suatu ketika, kalau tidak salah tahun 2004, Kirana menulis sebuah buku yang berisi kumpulan puisi dan novelet. Di antara sekian banyak temannya yang musisi dan model, tidak ada yang melahirkan karya tulis seperti yang ia lakukan. Namun, teman-teman inilah yang berjasa baginya. Mereka banyak yang mendukung buku karya Kirana, memberi ide untuk mengemas buku itu dengan menarik, lalu mengadakan
launching buku itu di sebuah acara musik yang menampilkan band-band indie. Tak dinyana, buku itu disambut dengan cukup baik. Kirana kemudian memberanikan diri untuk memasarkan buku-buku itu ke toko buku. Di toko buku Gramedia, Uranus, dan beberapa toko buku lainnya di Surabaya, Kirana berjuang agar buku-bukunya terdistribusi lebih luas. Singkat cerita, segala upayanya tidak sia-sia. Sejauh ini Kirana telah menulis tujuh novel (kalau tidak salah) yang semuanya dicetak dan dipasarkan secara indie. Ia membandingkan pengalamannya dengan pengalaman para penulis lain, dan menyimpulkan bahwa pendapatan seorang penulis buku indie lebih besar daripada yang menerima royalti dari penerbit: "Sebuah buku bisa dijual dengan harga empat kali ongkos cetak buku tersebut," katanya.
KEMBALI KE ARTIKEL