Perpustakaan di kota itu tak ubahnya seperti makam tua---dilupakan. Bangunannya kusam. Pintu masuknya nyaris tidak pernah bergerak. Di dalamnya hanya ada Pak Darmaji yang selalu duduk di belakang meja kayu lapuk, persis patung yang tidak tahu kapan harus menyerah. Buku-buku di rak berderet-deret, berdebu-debu, menunggu disentuh, dibaca, dan berharap dimengerti. Namun, siapa peduli?
KEMBALI KE ARTIKEL