Pernahkah anda mendengar nama atau profesi “Marbot Masjid”? bagi yang sering ke masjid atau dekat dengan masjid atau sering diskusi perihal masalah keagamaan, profesi ini tentunya sangat familiar. Namun bagi yang jarang ke masjid, jauh dari masjid dan tidak pernah mendiskusikan hal hal seputar keagamaan maka profesi ini akan terasa cukup “janggal” dan “baru”.
Oleh karena itu tak ada salahnya bila saya menjelaskannya walau sedikit. Marbot Masjid oleh banyak kalangan diartikan sebagai penjaga masjid atau seseorang yang ditugaskan untuk menjaga kebersihan masjid dan juga sekaligus menjadi penanggungjawab segala ritual ibadah di masjid seperti adzan lima waktu, menjadi imam cadangan, dan juga khatib cadangan. Belum lagi tugas tugas teknis lainnnya seperti bertanggungjawab atas kebersihan dan kerapian masjid. Tugas Marbot ini sungguh begitu berat karena harus stand by 24 jam mengurusi segala kegiatan di masjid.
Namun, tahukah kawan-kawan, berapa honor yang mereka dapatkan? Sangat kecil dan tak layak. Marbot di masjid di komplek saya hanya digaji 200 ribu per bulan, di masjid yang agak besar Cuma 400 ribu perbulan…….paling tinggi 500 ribu……. (saya tidak tahu di Masjid mana, terdapat Marbot yang digaji melebihi UMR? Dan feeling saya menyatakan sepertinya tidak ada)….. itupun biasanya diambilkan dari dana sumbangan kotak amal yang ada di tiap masjid…..namnun tak jarang bila dana sumbangan dari jamaah amsjid “kurang” maka honor para mabot ini pun berkurang juga……….. Sungguh miris dan ironis sekali.
Dengan tugas mulia yang di embannya plus banyak tanggungjawab yang dibebankannya seperti mengawal adzan dan sholat selama 5 waktu (Subuh, dhuhur, asar, magrib, isya) maka selayaknya para Marbot ini mendapat apresiasi yang layak. Bagaimana tidak! Dengan tugas dan rutinitas yang menjadi beban tanggungjawabnya setiap hari maka ia otomatis akan kehilangan kesempatan untuk mencari nafkah dan bekerja seperti manusia biasa lainnya. Hampir seluruh waktunya akan tersita untuk masjid.
Lalu kemudian, bila mereka hanya mendapat honor 200, 300, 400, 500, 600 ribu saja…….apakah cukup untuk memenuhi kebutuahn sehari-hari? Jawabannya pasti Tidak akan cukup dan sangat kurang. Apalagi, kalau mereka memiliki keluarga dengan anak-anaknya? Bagaimana kalau mereka jatuh sakit, siapa yang akan bertanggungjawab atas biaya pengobatannya? Sungguh suatu profesi yang sangat tidak memiliki harapan masa depan yang baik.
Menurut saya, Ummat Islam, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Kementrian Agama RI haruslah bertanggungjawab untuk menyelesaikan persoalan ini. Para Marbot ini memang tidak akan pernah berdemo menuntut hak-hak nya namun kita semua sebagai kalangan yang memiliki kekuatan berfikir yang logis harus sama-sama memperjuangkan hak-hak mereka yang terabaikan ini.
Jargon “keikhlasan” demi melayani Allah seharusnya tak layak disematkan kepada para Marbot ini karena mereka toh juga memiliki tanggungjawab besar bagi dirinya, keluarganya dan masa depannya juga. Sungguh tak adil rasanya “mencampakkan” hak-hak mereka padahal mereka telah banyak berkorban untuk ummat Islam dengan penuh perjuangan.
Karena bila tidak….lambat laun tidak akan ada seorangpun yang mau berprofesi sebagai Marbot masjid ini. Saya ingat cerita kawan saya di sebuah masjid di kawasan jakarta selatan yang sulit sekali mencari seseorang yang bersedia menjadi Marbot di Masjid di komplek perumahannya.Tenaganya dibutuhkan namun miskin apresiasi dan penghargaan. Apa jadinya bila masjid tidak ada marbotnya????? Dipastikan rutinitas dan aktivitas masjid akan semakin sepi dan tak lagi indah sebagai tempat ibadah.
Maka dari itu, melalui tulisan ini, saya berharap “kepedulian” kita kepada para Marbot ini terus ditingkatkan karena peran mereka sungguh vital bagi ummat Islam. Semoga pihak-pihak terkait seperti Dewan Masjid Indonesia (DMI), Kementrian Agama, MUI, para tokoh agama dan masyarakat dan segenap ummat Islam tergerak hatinya untuk sedikit memikirkan nasib para marbot yang tak pernah menuntut hak-hak nya ini.
Semoga tulisan ini bermanfaat. Amien