Setelah beberapa stasiun, seorang perempuan tengah hamil masuk ke gerbong bersama anaknya yang masih balita. Gerbong yang ramai juga kursi KRL yang terisi membuatnya tetap berdiri. Lagi-lagi tak satu pun mata melihat ke arahnya. Banyak perempuan duduk yang masih kuat untuk berdiri daripada perempuan hamil itu. Stiker di jendela benar-benar tak berfungsi untuk menegur hati nurani manusia hari ini. Dan beberapa saat kemudian, seorang nenek yang baru duduk mempersilahkan perempuan hamil itu untuk menempatinya. Terbayangkah di benak kita? Jika nanti kita sedang hamil tua dan berada di kereta yang ramai, tak satu orang pun mempersilahkan kita untuk duduk. Dan saat kita tua nanti, persendian tak kuat lama-lama berdiri tapi tak satu orang pun memberi kita kesempatan untuk duduk di kereta?
Hampir 3 minggu saya menikmati perjalanan dari Bekasi ke Depok menggunakan sarana transportasi KRL Commuter Line. Masyarakat sangat menyambut kebijakan PT. KAI yang menurunkan tarif sejak beberapa bulan lalu, sehingga dari Bekasi sampai Depok kami hanya menghabiskan uang sebesar empat ribu rupiah saja. Namun, kami harus kehilangan kenyamanan sebagai pengguna jasa KRL. Sebagai orang yang baru menjadi penumpang comline, saya harus menerima kenyataan kalau setiap paginya KRL Commuter Line selalu penuh. Mulai jam 6 pagi hingga jam 9, bisa dipastikan penumpang KRL adalah pegawai negeri maupun swasta, mahasiswa dan siswa. Begitu pula ketika perjalanan pulang. Lalu setelahnya gerbong KRL tidak penuh lagi.
Alangkah lebih memalukan lagi saat laki-laki yang masih mampu berdiri, tidak mempersilahkan ibu-ibu atau orang tua untuk duduk. Kita memang punya hak untuk mendapat tempat duduk, karena kita sama-sama membayar tiket KRL. Akan tetapi apakah kita tak punya kewajiban untuk peduli terhadap orang lain? Atau mungkin semboyan "siapa cepat dia dapat" yang digunakan sebagai dasar para laki-laki itu untuk tetap menikmati kursi empuk di KRL? Dimana sikap ksatria seorang laki-laki untuk memuliakan perempuan? Mungkin di tempat duduknya itu.