Pertama, saya tidak suka pelajaran bahasa Indonesia di sekolah. Susah. Meskipun terlahir sebagai penutur asli bahasa tersebut, pelajaran bahasa nasional itu tergolong susah untuk dipahami otak remaja saya.
Walaupun tidak menikmati jam pelajaran bahasa Indonesia di kelas, saya suka membaca buku. Suka sekali. Berani saya bilang, saya lebih banyak belajar bahasa dari buku-buku yang saya lahap semenjak sekolah dasar daripada di bangku sekolah.
Tentu saja, itu saya katakan tanpa ada maksud menyepelekan profesi guru bahasa Indonesia. Kenyataannya, dari guru bahasa Indonesia di sekolah dasar lah saya belajar merangkai kalimat dengan tulisan tangan yang bagus.
Membaca tidaklah lengkap tanpa menulis. Karena itulah guru bahasa Indonesia selalu menetapkan tugas mengarang sebagai bagian dari kurikulum. Kita mungkin bisa bertutur kata dalam bahasa Indonesia. Namun belum berarti kita mampu merangkainya dalam tulisan dengan komposisi dan ejaan yang baik.
Namun tidak semua orang suka menulis surat dua puluh tahun lalu. Apalagi menulis puisi, cerpen, esai, artikel, atau novel. Karya tulis demikian tampaknya hanya diakrabi oleh orang-orang yang memang memilih dunia literatur sebagai profesinya.
Sepuluh tahun lalu; telepon genggam menjadi salah satu perlengkapan wajib saya, selain dompet dan tissue. Demikianlah mesin mungil itu menjadi sahabat baru manusia. Berita baik untuk para sesepuh penyusun bahasa Indonesia: Kegemaran kita ber-SMS telah membuat bahasa Indonesia makin berkibar.
Meskipun jauh dari menorehkan karya sastra, kaum remaja sampai dewasa mulai rutin menulis. Sapaan, ajakan, undangan resmi, ungkapan cinta, caci maki, hingga surat berantai tercipta setiap hari. Terkadang kita mendedikasikan waktu yang tak sebentar untuk membuat komposisi terbaik dalam 160 karakter tersebut.
Kondisi tersebut mendorong terciptanya banyak penyingkatan kata-kata agar pesan berhasil tersampaikan dalam satu tarif 350 rupiah. Apakah hal ini merusak tatanan bahasa kita? Tidak selalu. Setidaknya 'hobi' baru ini menginspirasi kita untuk mengolah dan mengulik perbendaharaan bahasa Indonesia, meski sedikit.
Tentu saja, hari ini fenomena itu telah bermutasi dan berlipat ganda dalam segala hal sejak meledaknya era smartphone dan social media. Rentang usia partisipan makin lebar, profesi dan status sosial-ekonomi makin berbaur, motivasi menulis pun kian beragam. Mulai dari menggalang rekanan bisnis sampai ajang demonstrasi pribadi, kita baca setiap hari.
Dahulu bahasa mungkin hanya sarana menyampaikan pesan dan menyelesaikan persoalan hidup sehari-hari---bagi sebagian orang. Kemudian modernitas kian menyurutkan popularitas surat-menyurat. Tapi kini bahasa Indonesia makin dirayakan. Setiap orang punya wahana pilihan masing-masing untuk berekspresi. Di atas kertas maupun di dalam layar, bahasa Indonesia makin digali dan ditebar.
Sedemikianlah besarnya peran kita mengenal dan mencintai bahasa Indonesia. Terlepas dari struktur salah, diksi jelek, tanda baca kesasar (atau sama sekali tak muncul), atau terlahirnya bahasa alay; saya harap para guru bahasa Indonesia bangga pada bangsanya yang mengakrabi bahasa.