Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Selamat Jalan Jagoanku

31 Maret 2023   10:35 Diperbarui: 31 Maret 2023   10:48 216 1
Tanggal 4 Maret 2022 ....

Jumat pagi kuputuskan untuk pergi ke fasilitas kesehatan setelah seharian kemarin, kandungan yang tinggal menghitung hari untuk kelahirannya ini terasa tidak bergerak sama sekali. Kuakui, selama masa kehamilan memang banyak sekali permasalahan yang menyita perhatian, hingga energi positif itu berubah menjadi racun.

Sekitar beberapa bulan terakhir memang tidak bagus daya makanku, terlebih himpitan omelan orang serumah memang kerap mengurangi nafsu makan. Terkadang, sampai siang baru mulai sarapan. Alasannya sederhana, suami yang nganggur memang menjadi alasan untuk malu sekedar makan lebih dulu. Cukup menunggu sampai orang rumah benar-benar kenyang.

Sebenarnya tidak ada yang melarang secara langsung, hanya perasaan saja, mungkin. Beberapa bulan setelah usaha kami gulung tikar di kota, kami kembali ke kampung halamanku.

Anak kedua, yang aku yakini seorang putra. Harus pulang sebelum merasakan luasnya dunia.

Aku berkata, "dua hari ini saya tak merasakan ada gerakan dari bayinya."

Dokter puskesmas itu tercengang, dia memeriksa dengan alat seadanya.

Hingga seorang bidan yang menemaninya berkata, "detak jantung tidak terdeteksi."

Bergegas ia memberikan surat rujukan menuju rumah sakit terdekat. Kalian tahu bagaimana perasaanku? Harapan itu masih terpatri.

Ya, aku masih berharap bayi itu hanya malu-malu dan akan memberi kejutan besar pada ayah ibunya. Ya, aku yakin akan hal itu. Anakku pasti masih hidup, masih baik-baik saja!

Seorang dukun beranak itu, entah kenapa ia kerap kali datang ke rumah tanpa diminta. Selalu ada alasan baginya untuk memperdaya. Hingga terakhir kali bertemu, tangannya dengan lancang memasukan sesuatu pada rahimku. Ya, langsung ke rahimku!

Apa aku setuju? Tepatnya tidak! Namun, cara dia bicara mampu membuat wanita mulia di sampingnya itu memberi respon percaya padanya. Seolah mengijinkan yang aku yakini itu mal praktek. Ibuku, gestur itu mendukungnya, tapi ia tidak mengakui dan hanya menyalahkanku yang jarang beraktifitas.

Katanya bayiku tidak normal, tanpa saran USG. Dia ibuku tidak tahu bahwa kehamilan ini berbeda. Aku akan sakit jika berjalan terlalu lama. Berbaring, adalah kenyamanan dari rasa pusing mendera. Flek yang pernah muncul, itu kekhawatiranku.

Kekhawatiran hebat muncul dari ucapan suamiku, sayangnya dia sedang dalam keadaan sakit hingga tak dapat bertindak lebih jauh setelah dengar kabar dariku, obat seharga dua ratus ribu itu dimasukan.

Hingga dua minggu setelah kejadian itu, akhirnya aku diharuskan berbaring di rumah sakit. Sejak awal kehamilan kedua ini, kandunganku memang terbilang agak lemah. Hingga bidan desa mengharuskanku untuk bedrest hingga kandungan memasuki usia enam bulan.

Siapa yang mencuci pakaianku selama ini? Dan aku berterima kasih pada suamiku. Ia tak mengijinkanku untuk melakukan hal itu. Ibuku, meski kadang ucapanmu menusuk hati, aku berterima kasih, bukan hanya materi yang kau keluarkan, tapi juga caramu menyediakanku makan.

Ya, dua orang itulah yang paling berjasa!

Ketar-ketir di antara pasien yang berjajar silih berganti dari ruang ponek menuju ruang rawat atau ruang penanganan.

Suamiku entah ke mana, ponsel kami memang habis baterai, sehingga mengharuskan dia untuk pergi sejenak.

Cek detak jantung untuk kedua kali setelah di puskesmas tadi. Bidan rumah sakit itu, dia tak menyerah mencari tanda-tanda kehidupan.

Aku bertanya, "baik-baik saja kan?"

"Sebentar ha, Bu ...." jawabnya, "nanti kita USG biar lebih jelas. Kalau bayinya masih ada (hidup), Ibu boleh pulang. Kalo udah gak ada, kita keluarkan paksa. Karena gak mungkin Ibu bawa lagi bayi yang udah meninggal, nanti bisa jadi racun untuk ibunya sendiri."

Aku masih punya harapan, meski selang infusan sudah terpasang. Kuharap tanda-tanda kehidupan itu masih ada, kuharap keajaiban itu bisa saja terjadi.

Hingga tiba saatnya seorang dokter muda menarik sebuah mesin bermonitor, USG.

"Bagaimana? Bayinya sehat kan, Dok?"

"Udah gak ada ...." jawabnya dengan enteng.

"Masih ada?" Aku meyakinkan pendengaran yang kuharap salah.

"Bayinya udah gak ada, Bu. Bisa lihat layarnya? Ini kepala bayinya," sambil ia perlihatkan rekaman hitam putih itu. "Nah, ini bagian paru-paru. Lalu yang ada tulang iga ini, jantungnya udah gak ada."

Sampai saat itu aku masih tenang. Entah kenapa keyakinan itu seolah kuat jika bayiku hanya mengerjai ibunya. Meski kuakui sudah sedikit goyah.

"Jenis kelaminnya?"

"Belum diketahui. Nanti kita akan tahu setelah dia lahir."

"Kapan dilakukan penanganan?"

"Sekarang juga."

Lepas dokter itu, suamiku datang dengan wajah yang masih semringah.

"Bagaimana?" ujarnya mengusap perut yang masih membungkus si jagoan.

"Udah gak ada," ujarku, tak tahan air mata meluncur.

"Mudah gak ada?" Dia mengulangi.

Kulihat binar yang semula terpancar itu menjadi redup seketika. Ada beberapa bulir bening yang meluncur bebas tanpa permisi dari wajahnya.

"Jangan nangis ...." ujarku parau, berulang kali.

Munafik! Sebenarnya aku sendiri pun hanya menghibur diri.

"Enggak," ujarnya mengusap air mata. "Aku gak nangis."

"Ya, nanti kita bikin lagi, nanti kita hamil lagi." Dengan bodohnya aku berujar tanpa beban.
***

Penanganan pertama dimulai di ruang persalinan. Empat obat dimasukan ke dalam rahim selang enam jam sekali. Efeknya langsung terasa, tapi masih bisa aku tahan. Pembukaan tak juga bertambah. Beruntung ibuku telah kusarankan pulang waktu itu, karena jika dia turut menunggu, pikiranku jadi bercabang-cabang. Terlebih semenjak ia menangis, merasa disalahkan oleh anaknya yang lain.

Itu memang fakta, mungkin sedikit banyaknya memang demikian. Tapi aku tak mau mengkambing hitamkan siapa pun di sini!

Sebuah bola karet, berhasil membuka satu pembukaan, hingga berangsur ke tiga.

Sakit? Ya! Bukan cuma lahir yang terus dirongrong obat perangsang kelahiran, tapi juga batin yang terus mendengar bayi pasien lain mengoar dengan keras setelah ia keluar dari rahim ibunya.

Aku menangis, di ruangan itu hanya aku seorang. Ya, tak boleh ditemani dengan alasan protokol kesehatan yang aku rasa tidak masuk akal. Bahkan suamiku harus sembunyi-sembunyi untuk dapat menemaniku sepanjang malam.

Dia suamiku terkejut, saat melihat air mata kian deras ketika ia datang.

Induksi mulai disuntikkan. Entah sudah ke berapa kali cairan menyakitkan itu terus masuk ke dalam botol infusan.

Sakit kian kuat. Bahkan aku yang semula bertekad untuk tidak bersuara itu, runtuhlah sudah. Panas kian menyiksa, bukan hanya di perut, tapi sekujur area panggul terkena imbasnya. Suamiku tak tahan ingin menemani, tetap tidak bisa dan ia lebih memilih pergi, entah ke mana. Lebih tepatnya menghindari suara-suara lengkingnya rintihan yang keluar dari mulutku.

Pembukaan empat ke enam itu terasa lama, entah berapa jam aku di biarkan sendiri.

Bayiku, bergeraklah, kumohon tendanglah perut Ibu. Aku yakin kau masih ada, kau masih di sana. Keluarlah, nak. Dunia ini lebih luas dari tempatmu sekarang. Ayo, demi Ibu, keluarlah.

Berulang kali kata hati itu muncul. Harapan itu masih ada, meski aku tahu tidak mungkin.

Perutku terasa kian menegang, dua hari sudah dirongrong rasa sakit yang kini kian luar biasa.

Bidan itu sibuk dengan laporan-laporan yang ia buat. Tak menghiraukanku yang terus meracau minta untuk di operasi.

Dia berpaling, tak tahan aku dorong perutku yang kian mengeras.

Maafkan Ibu, nak. Jika kau memang ingin pulang, maka pulanglah. Ibu meridhoimu.

"Pembukaan sembilan ...." teriak bidan yang sejak beberapa menit lalu menungguiku.

Pasrah, aku minta dia pecahkan ketubanku. Pertarungan yang sebenarnya baru dimulai. Aku harus dapat mengeluarkan bayiku sendiri, dengan sisa tenaga yang sudah terkuras beberapa hari terakhir. Ya, sendiri. Tanpa dukungan dan genggaman suami seperti kelahiran anak pertama.

Tanpa sadar, dengan apa yang kurasa, kematian pun membayangi. Namun, senyum cantik si sulung seolah menyemangatiku.

Bidan itu hanya bilang, "Ya, terus, pinter."

Hingga sisa tenaga terakhir mungkin dia merasakan kelelahanku. Tangannya sigap menarik perut, hingga akhirnya kepala bayiku keluar.

Harapan itu masih ada, aku berharap bayiku terbatuk, menangis dan bergerak seperti kakaknya dulu. Aku masih yakin itu meski keyakinannya sudah mulai pudar.

Ya, dia bayiku akan bersuara, dia akan menangis, aku yakin hanya agak telat seperti kakaknya.

"Bagaimana, Bu?" tanyaku.

"Sudah meninggal."

Memupus seluruh harapan yang sudah ada. Tepat di hari Minggu, 6 Maret 2022, Jam 13.55. Anakku, lahir dan juga wafat. Air mataku belum mampu keluar, rasanya pergulatan dua hari ini masih terasa.

"Allahu Akbar Allaahu Akbar ...." Menghadap kiblat, suamiku mengadzani mayat anaknya sendiri.

Menangis? Sudah tentu. Orang tua mana yang tidak hancur ketika anaknya meninggal? Putra yang dia harapkan!

Aku baru tersadar. Jagoanku benar-benar tiada. Dalam tangis kukataan, "jangan nangis, jangan nangis. Kalau kamu nangis, bagaimana aku bisa kuat?"

Bodoh! Aku sendiri menangis!

Jagoanku, kau begitu tampan, nak. Tubuhmu tinggi dan gempal. Aku merindukanmu sejak lama, bahkan sebelum kau hadir, hingga saat ini kau tiada.

Harapan Ibu benar-benar pupus, nak. Allah lebih menyayangimu. Ya, Ibu harus ikhlas. Kau hanya titipan. Terima kasih sudah memberi kenangan atas tendangan kuatmu di rahim Ibu selama ini.

Rendra Aditya Rakhshan, Ibu kangen, nak ... Ibu rindu hingga fotomu kerap dipandang berlama-lama.

Pipi cabi itu, bibir merah itu, kulit yang bersih serta tubuh mulus. Bahkan Ibu masih merasa kau di sini, di perut Ibu.

Anakku, aku tak tahu siapa yang patut disalahkan dalam hal ini. Entahlah, karena mencari kambing hitam tak akan mengubah kenyataan, jika kau telah tiada.

Sukabumi, 23 Maret 2022.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun