Mohon tunggu...
KOMENTAR
Healthy Pilihan

Pengalaman Berkunjung ke IGD RS THT dan "Choking Hazard"

12 April 2022   04:39 Diperbarui: 12 April 2022   04:49 1018 25
Berkunjung ke instalasi gawat darurat tentunya bukan hal yang baru bagi penulis, apalagi dengan riwayat kesehatan GERD yang pernah diidap. Walau kunjungan ke IGD juga pernah dilakukan karena masalah alergi.

Entah waktu itu karena gigitan serangga atau karena terlalu banyak menggunakan cairan pengusir nyamuk sejenis Aut*n. Pokoknya hasilnya penulis bengkak dan gatal-gatal sekujur tubuh.

Rasa gatal dimulai dari kulit kepala yang makin lama dirasakan semakin tak tertahankan. Setelah itu menjalar ke telinga, wajah, dan terus ke bawah ke seluruh tubuh. Setelah melirik ke cermin, penulis baru sadar bukan hanya rasa gatal yang dideritanya.

Penulis hampir tidak mengenali tampang yang menatap balik dari cermin dengan bibir menebal dan kelopak mata membesar sampai hampir menutupi mata. Singkat cerita, penulis langsung bersiap pergi ke IGD ditemani adik laki-lakinya.

Untuk menghindari tatapan ngeri dari orang sekitar akan wajah penulis yang jadi menyerupai monster, penulis menyambar sehelai scarf untuk menutupi muka.

Di IGD, setelah menunggu sesaat, para dokter jaga dengan sigap langsung menyiapkan suntikan anti alergi yang kemudian disuntikkan ke satu jari kaki. Obat itu mestinya cukup kuat karena penulis merasakan semacam hentakan begitu obat masuk lewat jarum suntikan, disusul sensasi aliran obat itu memasuki pembuluh-pembuluh darah.

Setelah diam berbaring sesaat di tempat tidur, penulis merasa wajah sudah mulai normal dan rasa gatal sudah menghilang. Setelah itu penulis diperbolehkan untuk pulang. Kasus alergi dengan pembengkakan seperti ini bisa jadi serius jika jalan napas juga ikut bengkak. Syukurlah itu tidak terjadi pada penulis.

Kembali pada IGD, baru-baru ini penulis terpaksa harus mengunjunginya lagi. Bukan karena GERD atau alergi, tetapi karena sepotong tulang ayam masuk ke kerongkongan ketika sedang makan dan mengganjal di sana. Sebenarnya bukan tulang ya, melainkan sebagian kecil daging ayam yang agak keras yang lolos dari kunyahan.

Penulis sudah berusaha untuk menelannya dibantu dengan nasi yang ditelan bulat-bulat, tetapi tetap tidak berhasil. Biasanya cara ini berhasil dan penulis akan melanjutkan makan tanpa ada orang lain yang tahu apa yang telah terjadi.

Namun saat itu penulis tidak bisa menutupinya lagi karena ayam itu masih terasa mengganjal di leher. Terpaksa beritahu orang rumah. Sampai akhirnya adik penulis bertanya apakah penulis perlu pergi ke IGD. Bertanyanya juga sambil agak kesal, tentu saja, karena yah, hari sudah menjelang malam dan hal ini akan mengacau semua jadwal yang ada.

Singkat cerita, kami akhirnya pergi ke IGD di rumah sakit dekat rumah tempat kami biasa berobat. Sampai di sana sayangnya kami disambut berita buruk. Mereka tidak bisa melayani karena tidak ada alatnya di ruang itu. Satu-satunya tempat adalah rumah sakit khusus THT yang untungnya buka 24 jam. Bagusnya lagi, tempatnya juga tidak jauh dari tempat kami tinggal.

Gedung dan keadaan rumah sakit itu cukup bagus dan bersih. Situasinya sangat sepi. Kami satu-satunya pasien di situ. Penulis segera disambut satu perawat dan dibantu untuk mendaftarkan diri. Setelah itu penulis diwajibkan untuk di-swab antigen yang ternyata free alias gratis. Alhamdulillah hasilnya negatif.

Setelah mengisi formulir untuk pendaftaran sebagai pasien di rumah sakit itu, penulis mendapatkan kartu pasien. Yah, entah sudah berapa kartu pasien yang penulis miliki sekarang untuk berobat di rumah sakit-rumah sakit di kota tempat penulis tinggal.

Setelah menunggu sejenak, penulis kemudian dipanggil untuk bertemu dengan dokter yang merupakan seorang dokter perempuan, masih muda, wajah nampak putih cantik meski tersembunyi di balik masker yang rapat. Penulis segera bercerita apa yang terjadi sambil menjawab pertanyaan yang ditanyakan.

Dari tanda-tanda yang penulis berikan, seperti letak daging yang mengganjal, tidak ada muntah apalagi muntah darah, bu dokter itu menerangkan sebelum meneropong kerongkongan sambil menunjukkan gambar anatomi saluran pencernaan yang ada di belakang mejanya.

Jadi rupanya daging itu sudah melewati saluran pernapasan dan ada lumayan di bawah. Daging itu tidak mengganggu pernapasan. Kata bu dokter, kalau memang mengganggu, akan ada episode di mana penulis akan mengalami kesulitan bernapas.

Berita yang cukup bagus, walau ada buruknya juga, yaitu rumah sakit itu tidak mampu memastikan sampai mana daging itu dan kalau perlu mengambilnya. Teropong yang ada hanya sampai di saluran pernapasan. Untuk melihat lebih jauh, penulis harus pergi ke RSCM. Prosedurnya pun kalau perlu akan masuk ruang operasi untuk melihat dan mengambil dagingnya.

Astaghfirullah. Tak terbayang bakal seserius itu. Namun bu dokter menyarankan untuk memeriksa saluran pernapasan untuk memastikan tidak ada apa-apa di sana. Untuk itu digunakan alat yang bentuknya adalah besi kecil panjang yang ujungnya ada lampu kecil.

Bu dokter menarik lidah penulis keluar dan memasukkan besi panjang itu ke tenggorokan sedalam mungkin. Apa yang ada di dalam akan tampak di monitor komputer. Ketika alat itu masuk ke tenggorokan, secara refleks penulis merasa seperti ingin muntah. Tapi memang tidak ada apa-apa di saluran itu.

Mungkin memang benar si daging ayam yang keras itu sudah masuk lebih dalam. Penulis merasa agak keder juga untuk pergi ke RSCM untuk melanjutkan prosedur yang telah diinfokan. Mungkin saja daging itu akan terus terdorong kalau diminumkan air terus-menerus.

Di samping itu penulis juga tidak muntah saat sebelumnya menelan nasi atau minum air putih. Bu dokter mengatakan bisa saja daging itu sudah masuk dan rasa mengganjal yang ada hanyalah sensasi yang tersisa. Selain itu, kalau penulis tidak salah merasakan, ketika ingin muntah saat besi panjang itu dimasukkan, seperti ada yang terdorong masuk. Mungkinkah daging itu?

Penulis memutuskan untuk pulang setelah mendapat surat rujukan ke RSCM dari bu dokter. Tindakan di sana pun tidak mungkin dilakukan malam itu juga, apalagi kalau sampai di ruang operasi. Yang menandakan satu untuk mengetahui hal menjadi lebih gawat, yaitu apabila penulis muntah saat minum atau makan sesuatu. Sampai itu terjadi, keadaan mungkin akan baik-baik saja.

Makanan tertahan di pertengahan ketika menelan sesuatu bukan pertama kalinya dialami penulis. Sepertinya ia mengalami kecenderungan seperti ini. Menelan obat dengan ukuran besar pun merupakan masalah baginya.

Ditambah lagi, mungkin penulis punya kebiasaan buruk tidak mengunyah makanan dengan seksama sampai hancur dan lembut. Kunyah, kunyah, kunyah, terus langsung glek. Kadang ukuran makanan masih lumayan besar dan itu mudah sekali untuk tertahan di tengah jalan. Nasi sering bisa membantu melancarkan jalan, tetapi tetap ada risiko untuk membuat penulis tercekik walau makanan itu sudah lanjut ke saluran pencernaan kalau memang terlalu besar dan berhenti di sana.

Apa yang diajarkan sedari kecil untuk mengunyah selama 32 kali itu memang benar adanya. Bukan hanya supaya makanan lebih mudah dicerna dan diserap gizinya, tetapi juga agar makanan itu lebih mudah masuk ke perut sejak awal.

Nabi Muhammad SAW pun meneladani hal yang sama. Beliau bahkan mengunyah makanannya 40 kali karena akan membuat perut kita senang memproses makanan tersebut.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun