Sebuah Minggu pagi yang cerah. Lalu lintas lancar teratur, tidak macet. Bersama sekitar 20 orang, ibu, ayah, anak dan nenek berwajah gembira, kami duduk dalam bis keren yang bersih dan dilengkapi AC. Seorang perempuan cantik dalam balutan baju merah jambu menggunakan pengeras suara menjelaskan tujuan bis itu membawa rombongan kecil kami di pagi itu. Ya, ke museum! Kami bukan sedang berada di sebuah kota di Eropa Barat, tapi kami di ….Yogyakarta, yang menurut duta museum masa bakti 214-2015 ini, mempunyai 48 museum dan secara garis besar dapat dikategorikan menjadi museum benda budaya dan kesenian, museum pendidikan dan ilmu pengetahuan dan museum sejarah dan perjuangan.
Dr Silvi, duta museum yang bersama kami di pagi itu, menjelaskan bahwa kegiatan yang menyenangkan ini adalah bagian dari Program Wajib Kunjung Museum yang secara resmi diluncurkan oleh Kepala Dinas Kebudayaan DIY pada tanggal 14 Maret 2013 dengan tujuan menumbuhkan minat masyarakat terhadap museum dan meningkatkan jumlah kunjungan museum. Program yang kemudian difamiliarkan dengan istilah Waktu Kunjung Museum (WKM) ini adalah upaya kolaborasi antara Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) bersama dengan Dinas Pendidikan DIY dan Badan Musyawarah Musea (Barahmus) DIY. Untuk mendukung tercapainya tujuan itu, beberapa strategi tambahan diupayakan oleh pemerintah selain peluncuran program WKM ini, di antaranya adalah pemilihan duta museum, educator training dan kolaborasi dengan sekolah-sekolah. Dengan antusias, Dokter Silvi mengisahkan proses seleksi dan inaugurasi duta museum D.I Yogyakarta yang ditempuhnya bersama 160 orang yang masuk seleksi tahap awal. Setelah melalui beberapa saringan, akhirnya dia bersama 5 orang lain terpilih menjadi Duta Museum Yogyakarta untuk periode 2014-2015. Yang menarik dalam masa karantina sebagai bagian dari proses seleksi itu adalah mereka mendapatkan informasi tentang marketing museum, informasi dasar tentang museum, public speech, yang semuanya menambah pengetahuan para calon duta museum, baik yang terpilih maupun yang tidak terpilih.
Sambil membagikan peta museum di D.I Yogyakarta dan pin merah cantik bertuliskan Wajib Kunjung Museum, dr Silvi menjelaskan beberapa syarat dasar untuk sebuah tempat dikategorikan sebagai sebuah museum layak kunjung, yaitu mempunyai koleksi yang bernilai edukasi dan dapat dipamerkan, jam buka museum yang ajeg, tenaga pengelola dan sebaiknya mempunyai kurator. Perempuan yang sehari-harinya mengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana ini mengakui bahwa belum semua museum yang berjumlah 48 buah ini adalah museum layak kunjung. Program nasional Aku Cinta Museum yang sudah dimulai sejak 2010 diadakan pemerintah untuk membantu museum berbenah diri agar menjadi museum layak kunjung. Selain itu di tingkat propinsi DIY, Dinas Kebudayaan berusaha berkolaborasi dengan Dinas Pendidikan melalui program-program menarik seperti memfasilitasi kunjungan para siswa ke museum-museum dengan bis keren WKM ini dan lomba guru sejarah tentang museum dengan reward trip ke museum-museum di propinsi lain. Duta Museum yang juga penulis novel ini kemudian mengajak kami berlatih yel – yel semboyan WKM : Museum di hatiku!
Setibanya di tempat tujuan hari itu yaitu Museum Ullen Sentalu[1] dan Museum Gunung Merapi[2] di kawasan wisata Kaliurang dan Argobinangun Sleman, duta museum ini mengarahkan anak-anak dan orang dewasa mengikuti penjelasan educator yang telah dilatih Dinas Kebudayaan dan ditempatkan di 30 museum yang tersebar di Yogyakarta, khususnya yang belum memiliki pemandu dalam jumlah yang memadai. Arka, Angel, Bojha, Manggala, Mitha, Stella, Trisha dan Queen anak-anak dalam rombongan kami tampak menikmati suasana Museum Ullen Sentalu yang sejuk dan indah dan Museum Gunung Merapi yang sarat dengan gambar dan display seputar gunung yang informative. Para orang tua juga menunjukkan antusiasme yang sama. Sambil melangkah, kami mengikuti penjelasan seputar sejarah Mataram Islam dan batik-batik nan indah di Museum Ullen Sentalu dan di Museum Gunung Merapi kami mendengarkan serba serbi pengetahuan mendalam seputar Gunung Merapi dan bencana alam umumnya di Indonesia, termasuk simulator gempa dan tsunami menjadi koleksi yang ditontonkan. Kami juga melihat gambar tentang upaya-upaya kesiapsiagaan bencana berbasis kebijaksanaan lokal dan iptek. Ya, sejatinya museum adalah tempat kita menyelusuri jejak ke masa lampau untuk menjadi lebih baik di masa depan.
Kami meninggalkan dua museum di Minggu siang itu dengan harapan suatu saat nanti, museum-museum di Yogyakarta dan di Indonesia dapat lebih dicintai dan dikunjungi oleh masyarakat karena terbukti sebagai tempat edukasi terpercaya dan sekaligus sebagai obyek tujuan wisata yang indah, bersih dan nyaman. Kalau saat ini jumlah kunjungan total untuk semua museum di Yogyakarta baru 500.000 orang per tahun, semoga suatu hari dapat menyamai Museum Louvre[3] di Perancis yang dikunjungi 1,5 juta orang per tahun (1 museum saja). Bermimpi boleh, bukan?. Saya juga menyampaikan harapan pada Dokter Silvi duta museum Yogyakarta ini, pentingnya pemerintah memperhatikan aspek universal design saat mendukung upaya renovasi dan pembenahan museum agar orang dengan disabilitas juga mendapatkan aksesibilitas ke museum-museum tersebut. Saya percaya, dengan berbagai upaya kolaborasi yang dilakukan pemerintah di berbagai tingkatan dan bidang, impian museum kita dikunjungi lebih banyak orang dapat terwujud dalam tempo tidak terlalu lama lagi karena ada museum di hatiku!