Pajak rokok dan bea cukai telah lama menjadi sumber pendapatan yang signifikan bagi pemerintah di berbagai negara. Salah satu alasan utamanya adalah potensi finansial yang dihasilkan dari industri tembakau. Namun, penggunaan pendapatan dari pajak rokok dan bea cukai untuk pembiayaan kesehatan juga memiliki sisi-sisi kontroversial yang perlu dipertimbangkan secara kritis.
Â
Presiden Jokowi menyebutkan bahwa Peraturan Presiden (Perpres) mengenai penggunaan cukai rokok untuk menutup defisit BPJS Kesehatan merupakan amanat Undang-Undang, yakni UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD). Pasal 31 UU PDRD menyebutkan pungutan atas pajak rokok dialokasikan (earmarked) paling sedikit sebesar 50% dan digunakan untuk mendanai program/kesehatan.
Â
1. Tidak Menyentuh Akar Permasalahan
Penggunaan pendapatan dari pajak rokok dan bea cukai untuk pembiayaan kesehatan mungkin terlihat sebagai solusi yang baik, tetapi sebenarnya hal ini tidak menyelesaikan akar permasalahan utama, yaitu merokok itu sendiri. Alih-alih mendorong pengurangan konsumsi rokok, pemerintah justru memberikan legitimasi pada industri tembakau dengan menggunakan pendapatan dari pajak untuk tujuan kesehatan.
Â
2. Bergantung pada Konsumsi Merokok
Ketergantungan pada pendapatan dari pajak rokok dan bea cukai membuat pemerintah menjadi terikat pada tingkat konsumsi merokok yang tinggi. Jika upaya pengendalian rokok berhasil dan jumlah perokok menurun drastis, pendapatan pemerintah pun akan terpengaruh secara signifikan. Ini bisa membuat pemerintah enggan mengambil langkah-langkah tegas untuk mengurangi konsumsi rokok.
Â
3. Etika dalam Pembiayaan
Menggunakan uang yang dihasilkan dari kebiasaan merokok untuk pembiayaan kesehatan memiliki dilema etika tersendiri. Pada satu sisi, pemerintah mengambil keuntungan dari dampak negatif kesehatan masyarakat, sementara pada sisi lain, mereka mencoba memberikan pelayanan kesehatan yang lebih baik. Hal ini mengundang pertanyaan tentang integritas moral pemerintah dalam mengelola sumber daya.
Â
4. Ketidakpastian Pendapatan
Industri tembakau adalah industri yang fluktuatif, dengan faktor-faktor ekonomi dan regulasi yang dapat mempengaruhi konsumsi rokok. Ini berarti pendapatan dari pajak rokok dan bea cukai juga bersifat tidak pasti dan dapat mengalami penurunan tiba-tiba. Ini bisa merugikan rencana pembiayaan kesehatan jangka panjang.
Â
5. Mendorong Loyalitas pada Industri Tembakau
Pendapatan dari pajak rokok dan bea cukai dapat menciptakan keterikatan antara pemerintah dan industri tembakau. Ketergantungan pemerintah pada pendapatan ini bisa mendorong kebijakan yang lebih menguntungkan industri tembakau, seperti melemahkan regulasi ketat terhadap iklan rokok atau pembatasan lainnya.
Â
APA YANG MENJADI JALAN KELUAR BAGI BPJS DALAM MEMANFAATKAN ROKOK DAN BEA CUKAI?
Perpres ini diterbitkan sebagai jalan keluar untuk mengatasi defisit BPJS Kesehatan. Jika ditotal, prediksi defisit  Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan pada tahun 2018, termasuk di dalamnya pengalihan (carry over) defisit dari 2017, mencapai Rp10,98 triliun. Rencananya, penerimaan BPJS Kesehatan dari pajak rokok diperkirakan mencapai Rp5,51 triliun atau setara 75 persen dari 50 persen pajak rokok yang diterima daerah. Selama ini, pemanfaatan pajak rokok minimal 50 persen untuk mendanai pelayanan kesehatan dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang di daerah.
Â
Kesimpulan
Meskipun menggunakan pendapatan dari pajak rokok dan bea cukai untuk pembiayaan kesehatan memiliki tujuan yang mulia, pendekatan ini memiliki sisi-sisi kontroversial yang perlu diperhatikan. Lebih baik bagi pemerintah untuk mencari sumber pendapatan yang lebih berkelanjutan dan etis untuk mendukung sistem kesehatan masyarakat, sambil tetap berkomitmen untuk mengurangi konsumsi rokok dan dampak negatifnya secara menyeluruh