Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Ketika yang Buruk Dihalalkan

16 Juni 2011   02:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:28 51 2
Baru beberapa saat lalu saya membaca tulisan tentang seorang ibu bernama Siami yang malah mendapat hujatan dan paksaan pengusiran dari warga kampungnya sendiri gara-gara tindakannya yang melaporkan kecurangan pihak sekolah anaknya yang mana meminta anaknya untuk menjadi sumber contekan saat berlangsungnya ujian akhir nasional tingkat SD.

Secara nalar yang waras, tak ada yang salah dengan tindakan Siami itu, namun menurut warga sekitar dan wali murid lainnya ia malah dikatai tidak punya hati nurani dan juga sok pahlawan. Saya pikir ini sangat ironis, bagaimana bisa sebuah kejujuran yang diungkapkan malah dianggap tak bernurani?
Praktek-praktek yang demikian memang telah lama ada, dan saya sendiri pernah mengalaminya. Tanpa bermaksud menyombong, semasa SD dulu saya pernah diberi tugas serupa dengan anaknya ibu Siami, hanya saja dalam kasus saya hal tersebut hanya berupa himbauan, bukan sebuah sistem kerja yang terencana rapi.

Ketika berlangsungnya ujian, pengawas yang bertugas di ruangan kami tidak bertingkah seperti seorang pengawas ujian yang seharusnya. Sang pengawas seringkali malah sengaja pergi keluar dan membiarkan kami saling bekerjasama. Nyatanya ketika kami ribut dan ada pengawas dari pihak Depdiknas yang mondar-mandir, ia segera masuk ruangan dan menegur kami,
“Kalian itu ya, sudah diberi kesempatan kog malah ributnya ga karuan!”
Nah loh? Kog malah terang-terangan begitu? Ada apa gerangan? Saya yang saat itu masih SD tentu tidak berpikir terlalu panjang.

Saat saya SMP malah semakin menjadi-jadi kasusnya. Ketika itu seperti biasa para murid yang dianggap cukup pandai diberi himbauan (kali ini dengan penekanan) untuk tidak pelit kepada temannya, dengan kata lain, “Jangan pelit kasih jawaban ya!”.

Saat berlangsung ujian saya merasa aneh, bagaimana bisa saya yang terhitung sebagai murid kelas B bisa berada satu ruangan ujian dengan anak kelas C? Bagiamana bisa urutan duduknya si T mendahului si R? Tentu saja ada maksud tertentu dari semua ini.

Saat ujian berlangsung, seperti yang sudah saya duga, kebanjiran pesanan! Saya sendiri tak sanggup menolak karena kasihan dengan teman-teman saya, duh Gusti… Dan herannya, padahal begitu seringnya saya celingukan kesana-kemari tetapi ditegur sekalipun belum pernah. Jika dibandingkan saat ujian semesteran biasanya, pasti saya sudah diusir kelua ruangan. Karena saya sibuk memenuhi pesanan teman-teman, lembar jawaban saya sendiri banyak yang belum terisi dan terpaksa saya menanyakannya pada teman saya (astaghfirullah).

Sampai saya SMA pun tak jauh beda. Yang bisa saya simpulkan, saya tidak bangga lulus sekolah. Senang dan gembira mungkin iya, tetapi bangga tentu tidak. Bagaimana bisa saya bangga jika tingkat kelulusan selalu di atas 90% dan saya menjadi bagian dari minoritas tersebut? Apa yang membanggakan jika anda mendapat penghargaan aktor terbaik tetapi mereka yang maju ke atas panggung dan menerima penghargaan itu jumlahnya melimpah? Beda dengan ayah saya yang selalu bercerita dengan penuh kebanggan bahwa ia menjadi bagian siswa yang lulus dari sekolahnya, yang mana jumlah siswa yang lulus hanya ada 4 orang dari satu angkatan.

Saya membayangkan bagaimana ironisnya jika para warga yang menghujat ibu Siami itu merasa geram setiap kali menyaksikan ataupun membaca berita tentang oknum pejabat yang melakukan tindak korupsi, padahal mereka sendiri dengan ikhlas membiarkan anaknya mempelajari cara-cara awal tindak korupsi. Agaknya benar kalau Prof. Daniel M Rosyid yang menyebut bahwa warga ternyata sakit. Nah kira-kira sampai kapan sakitnya? Tentu harus segera disembuhkan. Tidak ada penyakit yang tiba-tiba saja sembuh, kecuali atas kehendak Yang Maha Kuasa.

Mengenai pendapat bahwa jujur malah ajur, saya rasa ajurnya bakal cuma dirasakan sebentar saja. Selama Tuhan masih ada, maka selama itu pula kebenaran akan selalu menang di akhir laga. Untuk ibu Siami, tegarlah! Meski ada orang sekampung yang mengusirmu, yakinlah bahwa ada orang-orang jujur sedunia dengan senang hati mau menjadi tetanggamu.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun