Mohon tunggu...
KOMENTAR
Nature

REDD: Hanya Dana Suplemen

12 Desember 2011   19:51 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:25 180 1
REDD: Hanya Dana Suplemen*

Upaya mengonkretkan program Reducion Emission From Deforestation and Forest Degradation (REDD) terus dilakukan dalam berbagai bentuk ujicoba. Banyak pihak boleh pesimis, tapi proses menuju implementasi REDD pada 2012 nanti terus berjalan. REDD merupakan program stategis yang diakomodir oleh langsung oleh negara dengan melibatkan berbagai pihak termasuk para pelaku bisnis dan masyarakat sipil. Pemerintah tengah bekerja keras untuk menurunkan emisi sebesar 26-41 persen sesuai dengan komitmen presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada dunia.

REDD sebenarnya bukan barang baru. Sebelumnya program semacam ini biasa disebut sebagai konservasi hutan. Hal yang ditonjolkan dari REDD adalah penurunan emisi karbon dalam skema perdagangan. Jumlah emisi karbon di udara tidak boleh melebihi 450 ppm (part per million), sementara pada tahun 2005 jumlah emisi di udara sudah mencapai 379 ppm. Puncak emisi diperkirakan terjadi pada tahun 2015 nanti. Artinya, puncak dari dampak perubahan iklim secara besar-besaran akan terjadi pada saat itu.

Kepentingan Lingkungan vs Kepentingan Ekonomi?

Secara global, sumbangan emisi negara-negara berkembangan hanya 20 persen, jauh lebih kecil daripada sumbangan emisi negara-negara maju yang sebanyak 80 persen. Hal ini jelas disadari oleh dunia dengan melihat komitmen yang termuat dalam Protokol Kyoto.

“Target dan jadwal penurunan emisi yang harus dilakukan negara maju, yaitu sebesar lima persen dari tingkat emisi tahun 1990 yang harus dicapai dalam periode 2008-2012”

Protokol Kyoto gagal, yang artinya hingga detik ini, negara-negara maju atau negara Annex I (Amerika Serikat, Rusia, Jepang, Jerman dan sebagainya) telah gagal menurunkan tingkat emisi sebanyak lima persen. Alasannya, ekonomis, penurunan emisi sama dengan menurunkan tingkat produksi negara-negara maju. Hal yang mungkin tidak akan terpikirkan sama sekali oleh negara-negara industri tersebut. Olehnya diperlukan suatu mekanisme penyelamatan bumi tanpa mengganggu kepentingan ekonomi dunia.

Perjalanan penyelamatan bumi pun sangat lamban, dimulai dari Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Jeneiro, Brazil pada 1992 hingga Conference of  Parties (COP) 15 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Coppenhagen, Denmark, tahun 2009.

Adalah Nicholas Stern, penasihat ratu Inggris, yang pada tahun 2007 berhasil membuka mata negara-negara maju akan dampak perubahan iklim. Stern memasukkan dampak pemanasan global dalam terminologi ekonomi dimana investasi yang akan dikeluarkan sangatlah besar untuk menghadapi puncak pemanasan global. Tentu saja, jika menyangkut kerugian ekonomi, negara-negara maju baru bisa tersentak.

Setelah negara-negara UNFCCC melewati berbagai COP tersebut hasilnya adalah REDD sebagai program penurunan emisi karbon di udara dengan cara mengurangi deforestasi dan degradasi (kerusakan) hutan. Dalam hal ini hutan lebih mendapat sorotan ketimbang industri sebagai penyumbang emisi. Alasan lain yang diajukan oleh UNFCCC adalah “andil emisi global yang berasal dari negara-negara berkembangan akan bertambah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pembangunan dan sosial.”

Hanya Suplemen

Di Sulawesi Tengah, terdapat United Nations on REDD (UN-REDD) yang menggodok persiapan menuju implementasi REDD+ pada 2012. Plus-plus REDD, di antaranya, yaitu plus konservasi, suistanaible forest management, peningkatan cadangan karbon dan pertumbuhan ekonomi tujuh persen.

Tak pelak, nyata bahwa UN-REDD adalah persiapan menuju era perdagangan karbon. Bahkan sudah diancang-ancang satu ton karbon akan dihargai U$ 1-2. Menurut Manager Riset dan Publikasi Jaringan Advokasi Tambang Sulawesi Tengah, Andika Setiawan, perdagangan karbon terutama skema offset akan sangat merugikan masyarakat karena hal itu sama dengan mengarahkan hutan menjadi lahan privat, Sabtu (7/5). Ia menyebutkan tiga ancaman yang akan dihadapi masyarakat saat berhadapan dengan hukum positif yang melegitimasi REDD. Pertama, masyarakat akan berhadapan dengan skema privatisasi hutan; kedua, masyarakat akan terancam secara tenurial dan tenancy; dan; ketiga, kriminalisasi masyarakat di sekitar hutan karena dianggap menyerobo, bahkan yang paling parah bisa direlokasi.

“Memang salah satu hal positif yang bisa dipetik dari REDD adalah moratorium di sektor kehutanan, karena memang laju kerusakan hutan sangat tinggi. Tapi pemerintah lagi-lagi tidak serius karena moratorium hanya mencakup hutan primer,” ujar Andika, menambahkan.

Pihaknya turut serta berupaya memastikan Free, Prior, and Informed Consent (FPIC), yaitu suatu persetujuan sukarela yang diberikan oleh masyarakat sendiri kepada suatu proyek didahului dengan pemberian informasi awal mengenai proyek tersebut dan dampak-dampaknya. FPIC merupakan gagasan yang paling memungkinkan dan senjata untuk membela masyarakat sipil terkait dengan REDD. Pemastian itu berupa masyarakat mengetahu apa itu REDD, level kebijakan tentang REDD, apa itu bahaya dan ancaman yang mungkin datang dari REDD nantinya serta bagaimana posisi masyarakat lokal dan masyarakat adat terkait dengan REDD.

Dengan demikian, perdagangan karbon bisa menjadi rahmat sekaligus petaka. Masyarakat lokal berharap mendapatkan keuntungan ekonomi secara langsung dengan berpartisipasi pada program REDD. Harapan yang jika tidak dipenuhi mesti diwaspadai akan berbuah konflik-konflik baru.

Itulah sebabnya, Koordinator Pokja Dua UN-REDD, Abdul Rauf, mengatakan REDD sebaiknya tidak diisukan sebagai proyek besar karena akan menimbulkan kesan adanya uang yang membuat orang berebut. Jika masyarakat berpikir bahwa REDD adalah perdagangan karbon akan menjadi penyebab munculnya pertanyaan, “Apakah REDD akan dibayar atau tidak?”; “Kalau mau dibayar, bagaimana caranya?”; “Siapa yang membayar dan yang dibayar?”

Jika REDD dipandang sebagai program konservasi yang spesifik pada hutan, maka REDD hanya dipandang sebagai dana suplemen. “Saya hanya katakan bahwa REDD ini hanyalah dana suplemen kepada negara-negara tropis untuk menjaga hutannya. Tanpa dana itu pun negara harus melakukan konservasi hutan karena ada anggaran negara,” kata Abdul Rauf yang juga dosen Fakultas Pertanian di Universitas Tadulako ini, pada Rabu (25/5).

Ia juga menambahkan, negara maju senantiasa memperbaiki teknologi produksinya dari waktu ke waktu, termasuk menciptakan teknologi rendah emisi. Dicontohkan, bahan bakar pertamax lebih rendah emisi daripada bahan bakar premium. Dikhawatirkan, semangat penurunan emisi ini bisa saja digunakan negara-negara maju untuk mendesakkan kepada negara-negara berkembang agar menggunakan teknologi rendah emisi tersebut. Artinya, negara-negara berkembang harus membeli dari negara-negara industri maju. Lagi-lagi, kepentingan ekonomi. (Sarinah)

* Artikel ini pernah dimuat di Majalah Silo edisi 42--–media komunitas yang didedikasikan untuk masyarakat adat dan ekologi di Palu, Sulteng

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun