Perubahan ekonomi global dan perkembangan teknologi telah menciptakan profesi baru yang berbeda dari pekerjaan konvensional. Anak muda lebih suka bidang kreatif seperti content creator atau e-sports, meski orang tua sering menganggapnya tidak stabil. Orang tua, yang berasal dari generasi sebelumnya, sering kali menganut pandangan bahwa karier ideal adalah pekerjaan tetap dengan gaji stabil, seperti menjadi pegawai negeri. Perbedaan persepsi ini sering memicu konflik karena kedua belah pihak memiliki pandangan berbeda tentang definisi kesuksesan karier.
Bagi kebanyakan orang tua di Indonesia, pendidikan formal masih dianggap kunci utama kesuksesan. Namun, anak muda di era digital memiliki akses luas terhadap pendidikan informal, seperti kursus online dan pelatihan mandiri, yang dianggap lebih relevan untuk keterampilan tertentu. Ketidaksepakatan muncul ketika orang tua memprioritaskan gelar akademik, sementara anak lebih memilih jalur yang memungkinkan mereka mengejar minat dan bakat mereka.
Era digital membawa perubahan signifikan dalam gaya hidup generasi muda. Pemanfaatan teknologi, budaya globalisasi, dan tren media sosial memengaruhi cara anak muda menjalani kehidupan sehari-hari. Gaya hidup bebas dan individualis sering bertentangan dengan nilai tradisional orang tua. Misalnya, orang tua mungkin menganggap anak terlalu bergantung pada teknologi atau kurang menghormati norma-norma budaya lokal.
Mengatasi konflik ini memerlukan pendekatan berbasis komunikasi efektif. Orang tua perlu memahami bahwa dunia tempat anak-anak mereka tumbuh telah berubah secara drastis. Di sisi lain, anak juga perlu memahami bahwa pengalaman dan pandangan orang tua memiliki nilai yang dapat menjadi pedoman dalam mengambil keputusan. Pendekatan dialog terbuka dan saling menghargai dalam keluarga efektif mengurangi konflik.
Dinamika konflik antara anak dan orang tua di era digital mencerminkan perubahan nilai sosial dan budaya. Perbedaan pandangan terkait karier, pendidikan, dan gaya hidup adalah cerminan dari kesenjangan generasi yang dipicu oleh perkembangan teknologi dan globalisasi. Memahami akar penyebab konflik dan menerapkan strategi komunikasi yang inklusif adalah kunci untuk membangun hubungan yang harmonis antara anak dan orang tua.