Per tanggal 27 September besok, genap tiga bulan para camat dan lurah di Jakarta dilantik. Mereka yang lolos seleksi terbuka –biasa juga disebut lelang jabatan—mulai menduduki jabatannya pada 27 Juni 2013 yang lalu. Berhasilkah mereka memenuhi ekpektasi dari gubernur dan warga Jakarta? Atau jangan-jangan tidak lebih baik dari kondisi sebelumnya?
Pak Jokowi sendiri sejak awal sudah menetapkan periode enam bulan sebagai jangka waktu evaluasi. Saat ini periode tersebut baru berjalan setengahnya. Akan tetapi bukan berarti kita sama sekali belum bisa mengukur keberhasilan langkah revolusioner.
Tidak banyak sebenarnya yang diharapkan oleh Pak Jokowi terhadap camat dan lurah baru. Mereka hanya diminta untuk lebih responsif dan mau melayani masyarakat. Di samping itu, camat dan lurah juga diharapkan berkontribusi menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang skalanya mikro di wilayah, tentu saja sesuai lingkup kewenangan.
Secara umum, camat dan lurah hasil seleksi terbuka menunjukkan performa yang tidak mengecewakan. Setidaknya bisa dilihat dari rendahnya penolakan atau tentangan dari warga, kecuali kasus Kelurahan Lenteng Agung. Penolakan warga di sana pun tidak ada hubungannya dengan kinerja sang Lurah.
Meski demikian, ada juga sejumlah camat dan lurah yang masih ‘gagap’ di wilayah, khususnya mereka yang sebelumnya tidak memiliki pengalaman di Kecamatan atau Kelurahan. Pola kerja Camat dan Lurah memang unik, tidak sama dengan jabatan struktural lain di lingkungan pemerintahan. Walaupun berdasarkan UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah mereka bukan lagi kepala wilayah, dalam prakteknya peran itu masih dimainkan.
Jadi jangan heran kalau camat dan lurah harus siap kerja 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Acara-acara di masyarakat seperti pemilihan ketua RT/RW, kerja bakti, bahkan undangan ke resepsi pernikahan merupakan agenda rutin pejabat wilayah. Warga yang datang ke kantor mereka pun membawa berbagai masalah, mulai dari hal rutin seperti administrasi kependudukan sampai persoalan rumah tangga atau keributan antar tetangga.
Ada indikasi untuk mengarahkan opini publik bahwa kebijakan lelang jabatan gagal. Khususnya dari kelompok tertentu yang eksistensinya terusik atas kebijakan ini. Kita harus bijaksana menyikapi wacana ini. Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan seksama, sebelum sampai pada kesimpulan apakah kebijakan ini efektif atau tidak.
Pertama, seleksi terbuka camat dan lurah hanya mengubah pola rekrutmen awal para calon Camat dan Lurah. Awalnya, proses yang berlangsung melalui Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) ini, memiliki aksesibilitas yang terbatas bagi kandidat. Artinya, hanya personel di kecamatan dan kelurahan saja yang bisa jadi camat dan lurah. Kita biasa menyebut dengan ‘jalur kepamongan’. Ada sih camat dan lurah yang berasal dari luar kepamongan, tapi sedikit dan kasuistik.
Sementara dalam seleksi terbuka, seluruh PNS Pemprov DKI Jakarta yang memenuhi syarat bisa mendaftar dan mengikuti prosesnya. Dengan demikian, mekanisme ini membuka kesempatan lebih besar untuk mendapatkan sosok-sosok unggul yang bisa dijadikan pimpinan di wilayah.
Kedua, hasil seleksi terbuka ternyata tidak mengubah secara signifikan komposisi pejabat wilayah, khususnya lurah. Untuk camat, hampir separuh (21 orang dari 44) adalah pejabat baru atau non definitif. Sedangkan lurah, hanya 89 dari 267 (33%) yang merupakan non petahana. Artinya, masih banyak camat dan lurah incumbent yang masih menduduki jabatannya.
Ketiga, jangan terjebak pada dikotomi ‘kepamongan’ dan ‘non kepamongan’. Jika tidak, opini publik akan digiring pada kesimpulan yang salah : pejabat yang berasal dari non kepamongan ternyata lebih jelek dibanding yang berasal dari kepamongan.
Kita harus tahu betul batasannya, bahwa pejabat yang berasal dari jalur kepamongan adalah yang memiliki pengalaman di Kecamatan atau Kelurahan. Dari 21 camat baru saat ini, hanya 10 orang yang berasal dari instansi sektoral. Jika 2 orang dari Satpol PP kita kategorikan sebagai jalur kepamongan, maka hanya 8 orang camat baru yang non kepamongan.
Untuk lurah, dari 89 pejabat baru, 72 di antaranya memiliki riwayat karier di kelurahan atau kecamatan, dengan rincian 30 orang waki lurah, 12 orang sekretaris kelurahan, dan sisanya adalah kepala seksi.
Dapat kita simpulkan bahwa melalui seleksi terbuka pun tetap saja orang-orang yang berada di jalur kepamongan memiliki kans lebih besar untuk menjadi camat atau lurah. Sehingga apabila saat ini performa camat dan lurah masih belum maksimal, tidak fair jika kemudian melihatnya dari segi trackrecord kepamongan atau non kepamongan.
Well, masih ada waktu 3 bulan bagi camat dan lurah untuk menunjukkan kinerjanya. Boleh jadi tidak semua pejabat ini berhasil melewati masa ujian ini dengan mulus. Sebagaimana janjinya, gubernur tak perlu ragu untuk mencopot mereka yang gagal.
Untuk ke depannya, apakah pengisian jabatan camat dan lurah melalui seleksi terbuka lagi? Sudah tentu, meskipun dengan penyempurnaan-penyempurnaan pada instrumen penilaian sehingga bisa lebih pas dalam mendapatkan camat dan lurah yang sesuai dengan karakteristik wilayah.