Saya pertama kali mengenal Tabloid BOLA sekitar 14 tahun lalu. Tepatnya pada 1999, ketika saat itu saya masih duduk di kelas 2 SMP. Sejujurnya, saya belum terlalu menggemari berita-berita olahraga sampai setelah Piala Dunia 1998. Saat itu rasanya kok nggak keren kalo cowok nggak ngerti bola. Untuk mengejar ketinggalan informasi, saya mulai langganan tabloid BOLA (selanjutnya disebut BOLA).
Dari awalnya cuma iseng-iseng, sampe akhirnya ketagihan. Buat saya, BOLA benar-benar memikat. Bahkan, sampai membuat saya bercita-cita –yang kelak 9 tahun kemudian terwujud—menjadi wartawan olahraga. Walaupun bukan di BOLA, saya sangat bersyukur pernah merasakan bisa menjadi jurnalis olahraga di Harian Merdeka (2008-2009).
Harus diakui, BOLA masih merupakan media olahraga terbaik di tanah air. Selama 29 tahun perjalanannya, BOLA selalu dinamis, sama seperti dunia yang mereka kupas, olahraga. Setelah pertama kali terbit pada Maret 1984 saat menjadi sisipan di Harian KOMPAS, BOLA langsung disukai. Setelah empat tahun menjadi sisipan, BOLA akhirnya terbit mandiri pada 1988.
Selama 13 tahun, BOLA terbit seminggu sekali setiap Jumat. Pada Maret 1997, BOLA menambah frekuensi terbitnya menjadi seminggu dua kali, Selasa dan Jumat. Walaupun resminya terbit Selasa dan Jumat, pembaca biasanya sudah bisa mendapati tabloid ini sejak Senin dan Kamis sore.
Dinamika yang terus terjadi di tengah persaingan media disikapi BOLA dengan menerbitkan edisi Sabtu. Ya, BOLA terbit tiga kali seminggu mulai Maret 2010, dengan mengubah secara resmi jadwal terbit menjadi Senin-Kamis-Sabtu (SKS).
Buat saya pribadi, periode terbit seminggu dua kali sudah cukup. Lantaran selalu membeli eceran (tidak berlangganan), saya jarang sekali membeli BOLA edisi Sabtu. Sejak ada edisi Sabtu pula, BOLA edisi Kamis seperti ‘kurang gizi’. Kenapa? Karena BOLA Kamis tidak mungkin menampilkan preview pertandingan akhir pekan, yang menjadi content utama Bola Sabtu. Selain karena semakin kekurangan waktu membaca BOLA, alasan itu pula yang membuat frekuensi saya membeli BOLA terus berkurang.
Tidak cukup sampai di situ, BOLA kembali membuat gebrakan. Tepat 7 Juni 2013 lalu, Sports and Health Media (SHM) Kompas Gramedia Group memutuskan untuk menerbitkan Harian BOLA. Sejak saat itu, BOLA terbit mulai hari Senin hingga Sabtu dengan harga promosi Rp.2.500. Selain Harian BOLA, Tabloid BOLA tetap terbit dengan format mingguan setiap hari Kamis.
Kedatangan tim nasional Belanda ke Tanah Air dijadikan momentum kelahiran Harian BOLA. Jumat, 7 Juni 2013, BOLA terbit dengan headlines berjudul “Datang dan Menghibur”. Walaupun masih menggunakan ukuran kertas sama dengan tabloid, layout Harian BOLA berubah drastis dibandingkan dengan edisi SKS.
Sayangnya, perubahan itu tidak ke arah yang lebih baik. Tampilan halaman muka (cover) sangat kaku, mungkin disesuaikan dengan sifat berita yang dituntut menampilkan aktualitas atau kekinian. Dari hari ke hari, layout Harian BOLA terus disempurnakan. Bukan cuma pada cover melainkan juga isi di dalamnya.
Tapi, perubahan ini juga yang membuat saya menjadi tambah penasaran dengan BOLA. Aneh bin ajaib, BOLA mendadak langka di pasaran. Nyaris sulit dipercaya, tabloid yang pernah begitu berjaya kok tiba-tiba jadi sulit dicari. Pengalaman saya di Harian MERDEKA membuat saya maklum, bahwa setiap produk baru selalu menghadapi kendala serupa dalam hal sirkulasi.
Akhirnya, saya memutuskan untuk berlangganan BOLA, walaupun hanya untuk hari Senin hingga Jumat, karena loper koran mengantar ke kantor bukan ke rumah.
Selanjutnya, saya berusaha terus memerhatikan setiap perubahan minor yang dilakukan BOLA. Salah satu yang paling terlihat adalah minimnya iklan di edisi-edisi awal. Lihat saja cover harian BOLA yang amat kontras bedanya dengan edisi Senin atau Kamis yang bertabur iklan. Di halaman dalam pun jumlah iklan jauh berkurang. Bagi pembaca ini menyenangkan, tapi bagi kelangsungan sebuah media, ini alarm bahaya.
Tapi ternyata fase ini tidak lama. Beberapa hari kemudian sejumlah iklan mulai hilir mudik mewarnai halaman-halaman BOLA.
Perubahan selanjutnya penggunaan tagline. Jika pada awal terbit menjadi harian, BOLA masih mempertahankan tagline lama mereka “Membawa Anda ke Arena”, maka sejak awal September 2013, tulisan yang muncul berubah menjadi “Terbaik dan Tepercaya Sejak 1984”. Jelas sekali pesan yang ingin disampaikan oleh penerbit kepada khalayak bahwa BOLA bukanlah media baru ecek-ecek.
Selain perubahan tagline, pada edisi ini juga mulai muncul logo FourFourTwo dan F1Racing, dua media luar negeri yang bekerjasama dengan BOLA.
Menjelang akhir tahun 2013 kemarin, BOLA mengumumkan per 2 Januari 2014 mereka akan tampil dengan format dan gaya baru. Dan, pagi ini saya mendapati harian BOLA terbit dengan ukuran kertas koran standar, bukan lagi seperti tabloid selama ini. Lagi-lagi secara subyektif, saya tidak suka dengan perubahan ini. Menurut hemat saya, kepuasan pembaca tidak berbanding lurus kok dengan ukuran kertas.
Well, pada titik ini saya menyimpulkan bahwa BOLA memang sedang head to head dengan Harian Top Skor. Selain ukuran kertas yang kini serupa, BOLA dan Top Skor juga bersaing memamerkan lisensi media asing yang mereka kantongi. Seperti kita ketahui, Top Skor sangat diuntungkan oleh kerjasama eksklusif mereka dengan La Gazzetta (Italia) dan Marca (Spanyol).
Sungguh menyedihkan, BOLA yang sejatinya adalah pionir dalam penerbitan media olahraga, kini justru mengekor rival terberatnya. Dalam pandangan saya, hal ini disebabkan kesalahan BOLA membaca momentum.
“Menerbitkan BOLA menjadi Harian Olah Raga adalah sebuah tantangan terbesar bagi SHM. Sebelumnya, sudah banyak yang menanyakan ‘Kapan BOLA jadi harian?’, dan itu berlangsung dari tahun ke tahun,” demikian secuplik pernyataan Pemimpin Redaksi BOLA, Bung Arief Kurniawan dalam siaran pers menjelang kelahiran Harian BOLA.
Sebagai pelanggan BOLA sejak lama, saya memang beberapa kali mendapati surat pembaca yang nadanya persis seperti disampaikan Bung Arief. Seingat saya, pertanyaan itu muncul setidaknya sejak awal tahun 2000-an. Saat itu memang belum ada media olahraga yang terbit harian. Saingan terberat BOLA praktis hanya Tabloid GO.
Namun, sejak 2005 konstelasi persaingan media olahraga berubah. Top Skor sebagai media baru ternyata mampu bersaing merebut ceruk pasar. Kesuksesan Top Skor ini kemudian diikuti Tabloid Go yang bertransformasi menjadi Go Sport. Lantas sempat terbit pula harian Pro Gol (2009), yang mencuri perhatian berkat ukuran kertasnya yang mini.
Di saat para kompetitor satu per satu berguguran, Top Skor justru semakin menancapkan kukunya. Dengan harga jual yang tidak bisa dibilang murah (Rp.3.500), Top Skor tetap laku keras di pasaran. Mereka bahkan mengklaim memiliki 1 juta pembaca per hari. Angka itu tampaknya didapat dari asumsi bahwa 1 eksemplar dibaca 3-4 orang.
Jika memang ingin terbit harian, BOLA seharusnya memanfaatkan momentum saat pasar media olahraga tumbuh dan berkembang pascalahirnya Top Skor. Bukan justru menunggu sekian lama, ketika Top Skor sudah established dan sekarang memilih untuk berhadapan head to head.