Masyarakat dikejutkan dengan berita pengunduran diri Prijanto dari posisi Wakil Gubernur DKI Jakarta. Berbagai spekulasi muncul kendati yang bersangkutan sudah beberapa kali tampil di televisi untuk menjelaskan alasannya. Padahal, kenapa pula kita harus ikutan repot?
Tidak sedikit masyarakat yang kecewa dengan keputusan Prijanto. Mereka beranggapan, purnawirawan yang satu ini tidak mencerminkan citra diri seorang prajurit. Keputusan eks Asisten Teritorial KSAD itu diibaratkan ‘lari dari medan pertempuran’.
Momentum pengunduran diri yang hanya kurang dari tujuh bulan menjelang pemilukada Jakarta turut meramaikan suasana. Berita ini dengan cepat dipolitisasi. Prijanto disinyalir sedang memainkan politik pencitraan guna mendongkrak popularitas dan elektabilitasnya di pemilukada.
Apapun alasan sebenarnya, hanya Prijanto dan Tuhan yang tahu. Tapi, jika dikaitkan dengan pemilukada sepertinya tidak relevan. Sejujurnya, keputusan Prijanto saat ini justru memberi image yang kurang baik bagi dirinya. Seandainya memang memiliki kepentingan politik, Prijanto pasti sudah mundur di saat mendapat momen yang pas, misalnya saat ia memperjuangkan agar pajak Warteg dibatalkan.
Saya juga tidak sepakat jika pengunduran diri wagub diidentikkan dengan mundurnya seorang prajurit dari perang. Keputusan itu juga tidak berarti ia seorang yang tidak menjalankan amanat. Justru karena dirinya sudah tidak bisa lagi menjalankan amanat rakyat maka ia mundur. Sikap seperti itu yang jarang dimiliki politisi dan para pemimpin di negeri ini.
Sebagaimana sudah saya sebutkan di paragraf pembuka, untuk apa sih kita berpolemik dalam urusan ini? Semua sudah ada mekanisme yang harus ditempuh oleh yang bersangkutan jika memang ingin menanggalkan jabatannya.
Tugas kita masih banyak, tidak perlu habiskan waktu dan energi hanya untuk membahas mundurnya Prijanto. Khusus bagi rekan-rekan sejawat di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dengan atau tanpa Wagub kita tetap harus bekerja keras mewujudkan Visi: Jakarta yang Nyaman dan Sejahtera untuk Semua.