Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Aduh Neng Shelly, Jangan Bahas Agama Dong! (Larangan Perayaan Tahun Baru)

5 Januari 2014   01:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:09 980 13

Aduh Neng Shelly, Jangan Bahas Agama Dong! (Larangan Perayaan Tahun Baru)

Akhir tahun 2013 lalu saya membuat sebuah status kontroversial di Facebook (FB) dan memang benar-benar jadi kontroversial karena bukan hanya saja ramai komentar, bahkan salah seorang teman sampai meremove saya dari daftar pertemanannya. Waduh! Nah ada beberapa point komentar dari teman FB yang ingin saya bahas dengan sesama Kompasianer, sbb :

1.  Agama adalah urusan individu, jadi tidak perlu dibuka di forum.

Ya betul, agama adalah urusan individu artinya pilihan untuk memeluk agama A, B atau C adalah hak setiap orang yang tidak bisa dipaksakan. Tapi untuk berdiskusi lintas agama bukanlah lagi menjadi urusan individu. Ketika banyak non Muslim lainnya bertanya-tanya dihati bahkan mungkin saja bergunjing di belakang mengenai isu fatwa pelarangan ucapan Natal dan perayaan Tahun Baru, saya memilih secara betina bertanya langsung di muka umum. Dengan bertanya kemungkinan besar saya akan mendapatkan jawabannya dan jika tidak bertanya maka sudah pasti saya hanya akan ikut-ikutan membuat bermacam-macam persepsi sok tau saja. Bukankah selama ini perpecahan manusia yang berbeda agama juga salah satunya disebabkan ketidaktahuan dan ketidakmengertian satu sama lain? Mereka tidak mengerti dan tidak berani bertanya, hanya bisa memendam kebencian karena prasangka buruk.

2. Sebaiknya tidak membuat status atau membahas agama di social media karena dikhawatirkan ini menjadi topik yang sensitif dan akan menimbulkan polemik.

Hehehe…bolehkah saya bertanya mengapa Anda harus jadi orang yang sensitifan? Orang yang sensitifan itu sulit lho bergaul dengan warna warni perbedaan hidup. Well, patokan saya selama tidak menghina cara beribadah, nabi, kitab suci atau Tuhan dalam agama orang lain maka sah-sah saja berdiskusi. Saya percaya bahwa jika setiap dari kita tidak emosian, berkepala dingin dan tidak menganut paham “pokoknya menurut gw” maka semoga penjelasan-penjelasan dalam setiap diskusi dapat dijadikan pembelajaran bersama.

3. Sebagai non Muslim sebaiknya saya tidak membahas isu-isu yang terjadi dalam Islam.

Ini lucu buat saya. Nah apakah masyarakat awam juga tidak boleh bahas politik karena mereka bukan politikus? Jika saya hanya boleh mencari tahu tentang kaidah dalam agama yang saya anut, berarti saya tidak akan pernah mengerti kaidah ajaran agama lain. Sementara beberapa kenalan saya yang Nasrani dan Muslim pernah berkata “Semoga nanti kamu bisa jadi murid Yesus ya Shel” atau “Semoga suatu hari nanti kamu dapat hidayah dari Allah ya Shel.” So, apakah perkataan macam itu hanya basa-basi, jika saya baru menanyakan pertanyaan simple seperti itu, reaksi yang diberikan sungguh defensif. Bagaimana kalau nanti saya mau menanyakan pertanyaan yang lebih rumit? Aaaah…macam mana pula ini?!

Saya sendiri tidak sensitif dan marah ketika ada teman yang bukan Bhuddist bertanya “Koq sembayangnya kudu pake hio dan buah sih Shel?” atau “Kenapa sih Bhiksu koq gak boleh makan daging ya Shel?” Justru saya senang mereka bertanya agar mereka tahu jawabannya. Tahu jawabannya bukan berarti mereka harus memeluk agama Buddha, tapi setidaknya mereka paham dan tidak membuat persepsi asal-asalan.

Sebenarnya simple saja ketika ada orang lain yang membahas mengenai agama. Jika kita memang memiliki kapasitas untuk menjawab ya monggo menjawab dengan kebenaran tanpa mengarang fiksi. Jika belum memiliki kapasitas, tidak perlulah marah, sensitif apalagi alergi. Ini akan memperlihatkan kepada publik bahwa Anda memang belum matang secara emosi dan pengetahuan. Lebih baik anteng nyimak saja, tidak usah ikut menjawab, menunggu yang punya kemampuan dan pengetahuan untuk menjawab. Bahasa kerennya jadilah silent reader. Gitu aja koq repot sih? :D

4. Kalau mau mengerti Islam tanyakanlah langsung kepada ulama atau MUI.

Waduh, ini lagi! Ini adalah jawaban yang tidak menjawab. Apakah besok-besok kalau ada orang bertanya kepada saya “Shel, kenapa sih koq Bhiksu harus botak?”, nah apakah saya harus menjawab “Tanyalah kepada Walubi atau tanya kepada Bhiksunya langsung saja ya!” Teng tooooong O.o

Honestly, saya akan senang jika bisa bertanya langsung ke ulama non radikal. Ini benaran lho, bukan basi-basi! Tapi sayangnya sampai hari ini, di antara begitu banyak teman Muslim yang saya kenal, belum ada satupun yang jadi ulama. :)

Nah dari seringnya diskusi saya secara langsung maupun ketika menjadi silent reader atas diskusi orang lain, ini adalah 2 sudut pandang saya terkait fatwa pelarangan ucapan Natal dan perayaan Tahun Baru.

A. Saya Sepaham

Saya sepaham bahwa sebaiknya memang umat Islam tidak perlu mengucapkan selamat Natal jika tujuannya adalah meyakini bahwa adanya Tuhan selain Allah. Jika dengan mengucapkan selamat hari raya agama lain dapat menggoncangkan keimanan kita (termasuk saya), maka sebaiknya kita tidak memberi ucapan selamat hari raya kepada saudara atau kenalan yang berlainan agama.

Saya sepaham jika perayaan tahun baru merupakan sebuah kegiatan yang cenderung bersifat hura-hura negatif seperti mabuk-mabukan, pesta narkoba, pesta seks bahkan nekat membeli kembang api yang harganya tidak murah padahal uang sekolah anak 3 bulan belum sanggup dibayar maka sebaiknya tidak perlulah acara tahun baru, lebih baik dekatkan diri kita kepada Sang Pencipta. I absolutely agree with this!

B. Saya Tidak Sepaham

Saya tidak sepaham untuk tidak mengucapkan selamat hari raya agama lain jika tujuan saya sekedar memberi perhatian, menabur kedamaian dan berbahagia atas kebahagiaan saudara atau kenalan saya yang sedang bersukacita menyambut hari kebesaran di agama mereka masing-masing.

Saya tidak sepaham untuk menolak perayaan tahun baru jika kegiatan yang dilakukan sekedar makan-makan kumpul keluarga, barbequan dengan teman-teman atau acara seru-seruan lainnya yang masih positif. Saya juga mendukung adanya kembang api tahun baru jika itu dibeli dengan uang halal oleh mereka-mereka sang jutawan baik untuk kepentingan pribadi atau perusahaan (biasanya mall atau hotel).  Keindahan kembang api yang bermekaran di langit akan menjadi tontonan gratis berjuta-juta pasang mata termasuk kaum duafa yang jarang sekali menerima hiburan gratis. Jika ada yang secara mantap bilang “Daripada uangnya buat bakar-bakar petasan lebih baik disumbangkan kepada fakir miskin.” Nah ada 1 satu saran dan 1 pertanyaan dari saya untuk mereka. Saran : Monggo tanyakanlah langsung kepada yang beli kembang api, siapa tahu mereka memang donatur tetap panti asuhan lho. Pertanyaan : Apakah Anda merokok? Jika iya, mengapa uang Anda digunakan untuk bakar tembakau? Kenapa tidak disumbangkan saja? Jangan bilang kembang api haram kalau Anda masih berasik masyuk dengan harumnya asap tembakau.

Oke, ini adalah opini saya, sekali lagi ini adalah opini. Tidak perlu ada amarah murka untuk menanggapi opini saya. Jika Anda setuju, marilah kita toss! Jika tidak setuju, monggo saya sangat mengijinkan Anda untuk beragumen yang logis. Silahkan menambahkan apa yang masih menjadi kekurangan saya dan silahkan mengkoreksi apa yang menjadi kesalahan saya. Jika ada salah-salah kata, saya mohon maaf lahir dan batin. Salam damai! ^^

Jakarta, 4 Januari 2014

Shelly Lansritan

I Write…I Live!

Artikel Terkait :

http://sosbud.kompasiana.com/2012/12/26/apa-tujuan-anda-ketika-mengucapkan-selamat-hari-raya-agama-lain-518880.html

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun