Mohon tunggu...
KOMENTAR
Ilmu Sosbud

"Pembunuhan terhadap Demokrasi", Fenomena Kudeta Junta Militer di Myanmar Berbasis Perprektif John Locke

16 April 2021   21:01 Diperbarui: 16 April 2021   21:03 211 1

Sebuah fenomena yang terjadi di awal tahun 2021 cukup menggemparkan bagi komunitas internasional, tak terkecuali bagi rakyat Myanmar. Bagaimana tidak, sebuah negara Asia Tenggara yang baru saja melaksanakan paham demokrasi sebagai bentuk pemerintahannya harus
dipaksa takluk dengan kudeta militer yang memaksa bentuk pemerintahan kembali menjadi sistem diktaktor seperti sedia kala. Dalam asal usulnya, Myanmar adalah salah satu negara yang mengadopsi bentuk pemerintahan diktator dibawah kekuasaan militer. Sehingga selama kurang
lebih lima puluh tahun lamanya, rakyat Myanmar harus hidup dibawah belenggu kesengsaraan dan tidak dapat menerapkan konsep Hak Asasi Manusia dengan baik (Alice Cudy, 2021). 

Sebut saja Aung San Suu Kyi, sosok yang sangat berjasa membawa secercah harapan terang bagi seluruh masyarakat Myanmar yang tertindas oleh pemerintahan diktator militer. Perjuangan Suu Kyi dalam mengupayakan demokrasi tergambar jelas dan terpampang nyata di dalam film yang
bertajuk 'The Lady' (2012) -- di dalam film tersebut ia dan kelompoknya kerap memimpin berbagai gerakan perjuangan rakyat Burma dalam melawan segala penindasan yang dilakukan oleh pemerintahan Militer. Maka dari itu, ia adalah simbol dari "Rakyat Kecil Yang Luar Biasa" dan sosok yang mendapatkan penghargaan Nobel pada tahun 1991.

Tahun 2011 adalah mungkin adalah saat-saat yang bersejarah bagi seluruh masyarakat Myanmar, hal ini dikarenakan perjuangan Suu Kyi dan komunitas pro-demokrasi mulai terealisasi lantaran paham demokrasi resmi diterapkan sebagai bentuk pemerintahan sah Myanmar. Pasca demokrasi resmi diterapkan sebagai bentuk pemerintahan di Myanmar, pengaruh militer tidak hilang serta merta didalamnya. Hal ini dikarenakan terdapatnya suatu konstitusi yang harus mewajibkan 25% anggota parlamen dan pejabat yang mengisi sebagai posisi di kementerian dalam negeri,
kementerian pertahanan, dan kementerian perbatasan harus seluruhnya berasal dari entitas militer (Flora Drury, 2021).

Menurut opini penulis, keterlibatan instrumen militer di tengah pemerintahan sipil yang membawa atas nama negeri 'demokrasi' adalah salah satu penyebab besar terjadinya fenomena kudeta militer di Myanmar hari ini. Di lansir dari BBC, terjadinya kudeta militer yang diinisasi oleh panglima Min Aung Hlaing berangkat atas dugaan kecurangan pemilu Myanmar pada November 2020 silam. Partai Union Solidarity and Development Party (USDP) yang dinaungi oleh militer menuding kemenangan curang yang dilakukan oleh partai National Leauge Democration (NLD) yang di naungi oleh kubu Suu Kyi.

Atas dasar itu panglima Min Aung Hlaing 'menyelewengkan' kekuasaanya atas instrumen militer untuk melakukan tindakan pengambil alihan paksa kekuasaan politik di Mmyanmar. Mereka melakukan serangkaian aksi penculikan terhadap pemangku jabatan di Myanmar, termasuk Suu Kyi. Pemerintahan militer berdalih bahwasannya mereka akan mengambil alih pemerintahan sementara guna menggelar pemilu ulang sehingga dapat menyerahkan keuasaan politik terhadap partai pemenang.

Namun apadaya, sesaat setelah kubu militer melakukan kudeta banyak masyarakat sipil yang memprotes gerakan yang dilakukan oleh kubu Aung Hlaing. Mereka melakukan serangkaian aksi demonstrasi damai guna menyuarakan aspirasi untuk menunjukan dukungan terhadap pemerintahan yang sah secara konstitusi. Pemerintahan sah yang dimaksud adalah pemerintahan yang di naungi oleh kubu Suu Kyi dan partai NLD sebagai pemenang pada pemilu November silam dengan total raihan suara mayoritas sebesar 83%.

Bak air susu dibalas air tuba, respon kubu militer terhadap aksi demonstrasi damai tidak seperti negara 'demokrasi' yang menjunjung HAM pada umumnya. Justru sebaliknya, Myanmar kembali di posisi sedia kala sebagai negara yang di perintah oleh instrumen yang berpikiran kolot dan otoriter. Kebebasan berpendapat dibungkam dengan cara melakukan segenap pemutusan sinyal internet, hal ini dilakukan dengan dalih 'keadaan darurat'. Setelah itu, para aparat militer dengan teganya menghujam para demonstran dengan timah panas sehingga berjatuhan korban jiwa. Melansir dari BBC, jumlah korban jiwa yang terhitung saat ini angkanya melebihi 300 orang.


Jika kita mengacu pada pemikiran John Locke sebagai sosok yang memberikan sumbangsih terhadap paham demokrasi -- yang seharusnya terjadi ialah negara mengharuskan untuk melindungi setiap kepentingan anggota manusia-manusianya bukan malah sebaliknya. Mengapa negara harus mengakomodir kepentingan manusia?, karena negara memiliki kekuasaan yang berasal dari kehendak rakyat. Kekuasaan tersebut bersifat periodik, maka dari itu negara memiliki tugas wajib untuk memastikan bahwa rakyat hidup diatas prinsip-prinsip kesetaraan, kebebasan, dan kemerdekaan. Hal inilah yang menjadi cikal bakal dari paham demokrasi bahwa suatu pemerintahan harus berjalan dengan sesuai prinsip 'dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat' (Schmandt, 2015).

Penerapan sistem demokrasi di suatu negara harus berdampingan dengan konsep masyarakat madani. Menurut Locke, konsep masyarakat madani merupakan suatu kondisi yang ditujukan guna melindungi hak milik dan hak kebebasan yang ada pada manusia. Kondisi tersebut hanya bisa tercipta apabila pemerintahan negara tidak bersifat absolut, salah satunya adalah dengan cara menerapkan pembatasan peran terhadap ranah sipil dan ranah militer dalam keberlangsungan negara.


Cara ideal yang dilakukan agar tercapainya stabilitas antara penerapan demokrasi dan masyarakat madani adalah dengan cara mengaplikasikan konsep Subjective Civilian Control, yaitu sebuah upaya untuk meminimalisir kekuasaan militer dengan cara memperbesar pengaruh subjek kekuasaan sipil di tengah keberlangsungan pemerintahan suatu negara (Sharril.H, 2020). Artinya, konsep Subjective Civilian Control menekankan untuk peran dominan instrumen sipil diatas pemerintahan negara dengan cara meminimalisir unsur militer yang terlibat langsung di dalam politik domestik.


Beradasarkan pemikiran Locke, mari kita breakdown sedikit mengenai status entitas militer Myanmar memakai kacamata geo-politik. Secara geografis, Myanmar terletak di benua Asia tepatnya di Asia Tenggara. Secara geo-politik, Asia Tenggara adalah kawasan yang stabil dan terbebas dari ancaman-ancaman peperangan hal ini dikarenakan mereka memiliki komunitas kerjasama yang tergabung di dalam struktur ASEAN (Association of Southeast Asian Nations). Hal ini sangat jauh berbeda apabila kita mendikusikan mengenai isu geo-politik di kawasan Timur Tengah dan Afrika. Maka dapat disimpulkan, entitas militer di Asia Tenggara khususnya di Myanmar mungkin saja tidak akan pernah merasakan medan peperangan secara konkret dan riil seumur hidupnya. Suatu artikel yang ditulis oleh Stanislav Andreski yang bertajuk "On the Peaceful Disposition of Military Dictatorship", menyatakan bahwa entitas militer yang tidak pernah memiliki pengalaman di medan perang secara riil dan konkret akan memiliki intensi yang besar untuk campur tangan dalam dunia politik dengan menerapkan metode kediktatoran.

Hal ini sangat bisa menjelaskan dengan peristiwa yang terjadi di Myanmar dewasa ini, sebuah negara yang prematur melaksanakan demokrasi harus takluk dengan kudeta militer sebagai 'pemain lama' di ranah pemerintahan. Menurut penulis, pemerintahan Myanmar telah mencabik-cabik proses demokrasi sejak awal paham ini diterapkan di negara mayoritas Budha tersebut. Hal ini dikarenakan melibatkan instrumen militer di tengah pemerintahan sipil. Yang mana dalam hal ini mereka tidak sama sekali menerapkan konsep Subjective Civilian Control yang dapat menimbulkan dampak positif terhadap keberlangsungan demokrasi sekaligus terlahirnya konsep masyarakat madani menurut perspektif John Locke.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun