Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Hidup Untuk Hidup

9 Agustus 2013   03:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:30 173 0
"klak.. klap!" terdengar suara pintu dibuka kemudian menutup kembali.

Bayangan kaki goyah berjalan perlahan menuju tempat tidur. Sosok itu berbalik lalu duduk diatas kasur berteralis besi. Kepalanya yang sedari tadi menunduk, kini menatap lurus ke arah meja rias tepat dihadapannya. Meja rias itu terbuat dari kayu mahogani berpelitur cokelat kemerahan yg mengkilap dengan beberapa goresan ditepinya, dibawahnya terdapat sebuah laci dan lemari kecil, simetris diatasnya menjulang cermin ukuran setengah badan. Matanya menatap kosong pada cermin itu, cermin yang belah terbagi dua dan masih berdiri karena tersambung perekat dibagian patahannya. Ia tak menghiraukan botol-botol parfum dan peralatan rias yang berserakan diatas meja itu. Ia terus menatap kosong dalam kegelapan.

Suasana kamar begitu temaram. Lampu tak dinyalakan, hanya bertumpu pada cahaya bulan yang diam-diam menelusup dari balik gorden jendela tepat dibelakang sosok manusia itu. "Sssrrrrrrrrrrr" terdengar suara gorden yang bergesekan dengan angin, selebihnya hanya suara serangga membentur dinding, bergema dalam keheningan malam. Sinar bulan tak mampu menjangkau seluruh ruangan, menyisakan sudut-sudut hitam dan tampak suram. Diam seorang diri dalam kamar sempit. Entah apa yang dipikirkan manusia ini.

Ia mengalihkan pandangan pada jari-jari kakinya. Memainkannya, menggerakkan kedua ibu jari, kaki beradu, memisah, beradu lagi, terus begitu. Diam kembali, sesekali seprai tertarik akibat kepalan tangan yang mengeras menahan perasaan yang berkecamuk dalam dada. Kini matanya terpejam, meresapi aura keterasingan dalam dingin yang larut dalam tiap aliran darah.

Beranjak dari tepian kasur, meraba dinding kanannya.
"klik!" menekan tombol saklar, seketika kamar pun penuh pijar putih kekuningan dari lampu neon, namun tetap tak menghalau tepian sudut-sudut hitam.

Masih dengan langkah goyah ia berjalan menuju cermin.
Kini, ia berhadapan dengan dirinya sendiri, tubuhnya sedikit miring akibat cermin yang tak sempurna lagi. Seingatnya cermin itu dulu patah akibat pukulannya sendiri, dulu, akibat kekesalan akan suatu hal tanpa terkontrol kepalannya hinggap dipermukaan cermin tak berdosa itu. Pelampiasan yang tak berarti. Hmm, senyun simpul terlukis dibibirnya yang pucat, menertawakan kebodohannya itu dalam hati.

Lagi-lagi, ia menatap kosong pada cermin.
Dalam ruang yang penuh cahaya itu kini sosoknya dapat terlihat jelas. Ia adalah seorang gadis berambut panjang. Tubuhnya kecil..Berbaju hitam ditambah balutan selendang tipis dengan warna senada yang melingkar dikepalanya. Hitam, ya hitam yang kelam, seperti suasana hatinya sekarang. Mukanya putih pucat terlihat kontras, samar-samar beberapa bercak coklat terpatri dipipinya akibat bekas jerawat, matanya sayu dengan lingkaran hitam dibawahnya. Hmm, tampak tak terawat.

"Setiap awal, pasti ada akhir" gumamnya.
"Setiap perjumpaan, pasti ada perpisahan" lanjutnya.
"Ga.. Ga ada yang abadi, kecuali Allah" mencoba meyakini diri sendiri.

Ia berdiri mematung, kedua tangannya menumpu diatas meja rias. Menunduk, mencoba mengingat segala yang dialaminya beberapa waktu ini. Rentetan masalah bagaikan bola bowling yang dilempar dan memporakporandakan kehidupannya yang tersusun rapi, kini berantakan.

"Ah, aku bahkan tak ingat awal dari semua ini" ucapnya seraya menyematkan jari-jari tangan kanannya dirambut dekat kening kemudian mencengkramnya.

"Semua bagaikan mimpi.. ah, bukan.. andai cuma mimpi" batinnya.

"Bagaimana bisa satu per satu yang ku miliki kini pergi meninggalkanku? Ah ya maaf Tuhan, semua ini memang milik-Mu. Tak pantas aku mencerca begitu, hanya saja yang membuatku merenggas adalah karena hal ini terjadi berangsur-angsur dan bagiku rasanya aku belum siap menghadapinya, walaupun ku tau pasti aku siap bagi-Mu" gadis itu berdialog dengan diri sendiri.

Sekelebat bayangan muncul dibenaknya.
Terlintas sesosok pria berpostur rata-rata, diantara rambut hitamnya mencuat rambut yang mulai memutih, terdapat kumis yg ikut memutih jua, mata sayunya sama seperti kepunyaan gadis itu, garis wajahnya tegas namun bibirnya tampak selalu tersenyum ramah membuatnya terlihat menyenangkan.

"Oh Tuhan, dimana kah orang itu sekarang?" lirihnya.

Sosok pria itu telah lama menghilang, entah kemana. Tak ada yang tau keberadaannya. Hampir genap enam bulan ia meninggalkan kami disini, tanpa komunikasi, tanpa kabar. Aku yakin ia masih hidup disuatu tempat. Aku tak ingin berburuk sangka, tentang kepergiannya ini. Aku tau, ya amat sangat tau, alasan mengapa ia meninggalkan kami, dan itu amat mengiris hati. "Demi kami, keluarganya"

"Ayah.. aku rindu.."
"Ayah kami membutuhkanmu.."
"Lekaslah pulang.."
"Ayah.. ayah.. Ya Allah.."
"Ayah.." rintihnya berulang kali. Ada kilatan dibolamatanya yang cembung, menggenang, mengalir.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun