Melihat email seorang rekan sejawat tadi pagi, saya merasa sedih. Email tersebut berisi tentang himbauan untuk ikut mengikuti sejumlah kegiatan positif yang dilakukan oleh sebuah organisasi profesi negara tetangga, Filipina.
Organisasi profesi orang-orang Filipina ini, sebagaimana organisasi Filipina lainnya, banyak menelorkan kegiatan-kegiatan yang memang bermanfaat, baik bagi anggotanya, masyarakat luas, bahkan untuk negara. Contoh konkritnyanya adalah Overseas Filipino Workers (OFWs) yang menyelenggarakan berbagai kursus ketrampilan termasuk computer di Qatar.
Organisasi ini sudah mendunia. Sebuah organisasi sosial yang sarat akan aktivitas orang-orang Filipina yang bekerja di luar negeri. Manfaatnya, memang amat dirasakan bagi mereka. Bahkan, dikenal sebagai ‘pengontrol’ kalau tidak bisa saya katakan oposisi Pemerintah Filipina di luar negeri.
Yang membuat saya sedih bukan karena mengikuti kegiatan positif tersebut. Melainkan, selagi kita memiliki sumberdaya manusia, tenaga, pikiran, dana, profesi, organisasi dan yang tidak kalah pentingnya, kesempatan, yang pada dasarnya sama dengan orang-orang Filipina, mengapa meski kita bantu ‘besarkan’ mereka?
Barangkali terlalu ceroboh bila saya katakan kita ini ‘mau enaknya’ alias ‘malas’. Kenyataannya memang demikianlah. Tanpa bermaksud menjeneralisasi, sebagian besar kita tidak mau bersusah payah. Kita tidak mau repot, memanfaatkan kesempatan dengan baik.
Hidup kita sekitar 40% digunakan untuk bekerja formal, itu jika kita mau kerja. Selebihnya untuk istirahat (sekitar 25-30%) dan yang 30% lainnya kegiatan gado-gad. Sebagian besar waktu ini sebenarnya ada dalam genggaman dan kontrol kita. Bisa untuk keluarga, rekreasi, sosial kemasyarakatan serta kegiatan lainnya. Jika diukur dalam jam, maka sekitar 10 jam untuk bekerja, 6-7 jam untuk istirahat, dan sisanya 7-8 jam kegiatan miscellaneous (campuran).
Orang Indonesia memiliki beragam persamaan dengan Filipina. Mulai letak geografis, alam, hingga latar belakang sosial budaya. Di bidang agama Filipina pernah di bawah naungan kesultanan Islam (Sulu dan Mindanao di abad ke 14). Demikian halnya dengan sejarah penjajahan Filipina. Hanya saja, Filipina di bawah pendudukan Spanyol hingga Amerika yang berlangsung ratusan tahun sejak abad 14 hingga akhir abad ke 19. Jadi, dalam banyak hal, kita memang memiliki kesamaan dengan mereka.
Bagi saya, ada beberapa hal yang membuat kita tidak seperti mereka dalam menyemangati kehidupan ini.
Pertama, dari segi pendidikan, sebut saja University of the Philippines (UP) yang berdiri tahun 1908, di bawah pengaruh Amerika Serikat, sebagai perguruan tinggi tertua di sana. Di Indonesia, Institut Teknologi Bandung (ITB) yang dianggap sebagai perguruan tinggi tertua, berdiri tahun 1920. Hanya terpaut 12 tahun.
Di bawah rongrongan penjajah Belanda, mereka tidak ingin orang-orang kita pribumi pintar. Yang ada adalah memecah belah, membodohi dan menguasai. Lain halnya dengan perlakuan orang-orang Amerika terhadap Filipina, yangsejak lepas dari cengkeraman Spanyol tahun 1898, mereka malahan ‘berteman’. Bahkan diabadikan dalamFilipino-American Friendship Day (04 July). Jadi, bercokolnya lembaga pendidikan di Filipina bukan atas dasar keterpaksaan. Melainkan persahabatan. Hal yang berbading terbalik dengan berdirinya lembaga pendidikan kita pada saat di bawah kekuasaan Belanda.
Yang kedua, sistem pendidikan Belanda yang hingga kini tidak dijadikan sebagai acuan pendidikan internasional, tidak dilestarikan di Indonesia. Maka, jadilah sistem pendidikan kita mencari-cari identitas sendiri. Tentu saja ini berpengaruh terhadap hasil pendidikan kita. Sebuah fenomena yang jauh berbeda dengan Filipina yang selalu ‘dibayang-bayangi’ sistem pendidikan Amerika yang sudah mapan serta dikenal luas kualitasnya di dunia.
Yang ketiga, dalam jangka panjang, keluaran pendidikan ini berpengaruh besar terhadap mindset masyarakat. Orang Filipina lebih bersifat liberal, sementara kita ‘takut’. Saya masih ingat sekali ketika belajar di sekolah dasar dan menengah, lebih banyak ditakut-takuti oleh guru ketimbang didorong untuk mengembangkan bakat dan ide serta kreativitas. Tidak boleh ini, tidak boleh itu. Sering dibentak bahkan dipukul dengan sebatang kayu, meski hanya melakukan kesalahan sepele. Seperti pekerja rodi zaman Belanda.
Kami bukannya dididik untuk banyak mengemukakan pendapat, meski duduk di perguruan tinggi. Sebaliknya, hanya dijejali setumpuk teori dan ceramah kuliah. Sebuah tipikal pendidikan yang ‘mirip’ dengan prinsip penjajahan Belanda di Indonesia. Dijejali teori praktis. Pribumi yang kreatif dianggap membahayakan Pemerintah Kolonial. Konsep ini bahkan masih terasa kental di era Orde Baru..
Belanda tidak mengajarkan kita giat bekerja. Kalaukerja keras, itu identik dengan kerja rodi buat kepentingan mereka. Dampaknya, begitu merdeka, kita jadi malas. Menginginkan segala sesuatu serba instan, enak sendiri, kurang giat belajar, tidak bekerja keras, tidak pandai menghargai waktu, budaya jam karet, hingga korupsi. Karena beginilah dulu yang terjadi ketika zaman Belanda. Sekiranya kita tekun dan bekerja keras, saya yakin, Belanda nggak akan betah tinggal di Indonesia hingga 350 tahun lamanya!
Belanda membiarkan sambil memupuk mental-mental sebagian rakyat Indonesia untuk berkhianat terhadap bangsa sendiri, demi keuntungan mereka. Dalam pendidikan pun, meski ada ITB, tidak semua pribumi bisa masuk seenaknya. Diskriminiasi edukasi. Sebuah pemandangan yang tidak terjadi di Filipina sejak bercokolnya Amerika, terlepas dari pengaruh negatif budaya Amerika di sana yang ditolak oleh sebagian rakyat Filipina.
Makanya, jangan heran, terlepas dari berbagai ketimpangan sosial, kemiskinan, krisis ekonomi dan sosial di negeri yang mayoritas penganutnya Katolik ini, mereka masih boleh berbangga dengan sistem pendidikannya yang mengikuti standard internasional yang diakui oleh Amerika.
Sementara kita, masih mencari-cari jalan terbaik, akan dididik ke mana anak-anak bangsa ini. Orang-orang kita memang banyak sekali yang jebolan perguruan tinggi Amerika, termasuk presiden kita. Ironisnya, perjalanan pendidikan kita masih juga terseok-seok, Amerika tidak, Eropa apa lagi!.
Keempat, dari pengaruh sistem pendidikan Belanda yang belum sepenuhnya terhapus ini, lahirlah generasi-generasi yang kurang pandai mensyukuri serta memanfaatkan kesempatan dan atau menghargai waktu. Padahal waktu yang ada di Filpina juga sama dengan di negeri ini. Jumlah jam kebutuhan tidur pula sama. Demikian halnya jam kerja, kebutuhan sosial, rekreasi, ibadah, dan lain-lain pun nyaris membutuhkan waktu yang sama.
Kita tahu, Filipina masih dihantui oleh berbagai masalah nasional, termasuk kemiskininan. Kemerosotan moral akibat pergaulan bebas di Filipina juga tidak harus kita contoh. Malah saya sebenarnya turut prihatin melihat bagaimana kaum muda Filipina hidup, selevel dengan tingkat keprihatinan saya terhadap generasi muda kita. Kasus pemberontak Moro yang tidak juga berkesudahan hingga kini, masih menjadi momok terbesar di negara kepulauan ini. Situasi politik seperti ini bahkan membuat Filipina seperti negara yang kehilangan indentitas diri.
Hanya saja, bagi saya, yang positif dari mereka tetaplah positif. Bahwa kebaikan yang dilakukan oleh OFWs bisa dijadikan contoh. Sumbangan devisa mereka memiliki pengaruh yang amat besar. Jumlahnya lebih dari 13% dari GDP. Angkanya lebih dari 17 milliar dollar Amerika di tahun 2010. Sumbangan orang-orang Filipina di luar negeri setara dengan yang dilakukan oleh warga India, China dan Mexico. Hanya ada 4 negara di dunia ini.
Orang-orang Filipina yang bekerja di luar negeri, meski demikian, tidaklah terlena. Mereka tetap menunjukkan kemauan bekerja keras, perjuangan, kemauan serta tekad yang tinggi untuk membuat mereka, keluarga dan negara menjadi lebih baik. Seorang rekan kerja saya, Melanie, sanggup memperbaiki serta meningkatkan kondisi sosial ekonomi bukan hanya orangtuanya, tetapi juga adik-adiknya. Sebagian besar mereka di luar negeri, tidak terkecuali Amerika Serikat. Masih banyak kiprah orang Filipina lain yang tidak bisa saya sebutkan di sini satu per satu.
Lantaran kebersamaan dan kebersatuan orang orang Filipina ini, di banyak sektor, mulai yang terkecil, pembantu rumah tangga, hingga highly qualified professional, orang-orang Filpina yang berada di luar negeri jadi solid. Orang-orang Filipina di Timur Tengah, seperti orang India dan China, ada di mana-mana.
Meski dalam jumlah banyak dan cenderung berlebihan, bukan berarti murah harganya. Negara-negara yang mempekerjakan orang-orang Filpina tidak bisa seenaknya menggaji dan memperlakukan mereka. Semuanya diatur. OFWs memiliki kekuatan serta pengaruh yang besar.
Hal yang sama sebenarnya bisa dilakukan oleh orang-orang kita di luar negeri. Tapi kapan kita menjadi kuat? Sepertinya menunggu tiba saatnya dua hal. Pertama, perbaikan sistem pendidikan. Kalau mungkin setarakan dengan Filipina. Yang kedua seorang pemimpin yang peduli terhadap keberadaan kita yang berada di luar negeri. Berpusat di Jakarta, tetapi cabangnya dibuka di mana-mana. Tidak memberatkan sifatnya, namun mengayomi dan menjadi pusat perlindungan juga informasi warga.
Saya percaya, jika dua hal ini dibenahi, semua warga Indonesia utamanya yang bekerja di luar negeri, tidak peduli pembantu rumah tangga, pegawai hotel, perawat, dokter atau insinyur, bakal tetarik untuk ikut jadi anggotanya. Keterlibatan mereka yang berada di luar negeri sekaligus bakal semakin memberikan keyakinan, bahwa sumbangan devisanya selama ini tidak sia-sia. Wallahu a’lam!
Doha, 12 June 2011
Shardy2@hotmail.com