Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Sakura

10 Agustus 2014   14:35 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:55 257 0
AGRRHHH!!! Andai aku bisa berteriak, yakin akan terasa lega hati ini. Iri benar rasanya jiwa yang lemah ini melihat hiruk pikuk kesibukan dunia luar. Senyuman sumringah orang-orang yang saling bercengkrama penuh dengan cinta, sejoli yang saling mengasihi beriringan dengan tangan bergandengan, dan kakek-nenek yang begitu mesranya sedang menggendong cucunya yang memaksa mereka untuk minta dibelikan balon. Begitu menyenangkanya dunia mereka.

Di televisi, ah, banyak sekali acara-acara dan berita-berita aneh. Dari komedi yang membuat perut ini terasa terkocok, sampai drama realiti yang entah memang kenyataan atau hanya bualan sang sutradara yang bisa membuat mantan teman sekamarku dulu menangis tersedu-sedu, seakan tak malu dengan otot-otot di badan tegap dan tato bergambar garpu dan sendoknya itu. Sudah lama sekali rasanya aku tak berhasrat ingin menonton acara-acara di tv, mungkin selama mantan teman sekamarku sudah kembali kerumahnya dan mungkin disibukan kembali dengan dunianya sehingga melupakan mantan teman sekamarnya.

Kegembiraan orang-orang di luar sana dengan hiruk pikuk kehidupan mereka dan juga gemerlap acara-acara di televisi, ternyata tak membuat keheningan ini mencoba untuk pergi menjauh dari hidupku. Hidup yang mungkin tak seorang pun ingin merasakanya. Sendiri, sunyi sepi dan hanya beralaskan akan rasa belas kasihan. Benci benar aku dengan hidup ini. Bodoh! Aku tak boleh berpikiran seperti itu. Aku percaya, Allah mempunyai tujuan lain terhadap diriku yang hina ini. Tapi tak satu jawabanpun ku temui. Aku berpikir sekeras mungkin, mengapa Allah memperlakukan ku seperti ini. Apa tujuan Engkau, Gusti Nu Agung.

Lisan ini rindu sekali ingin bercerita, berkeluh kesah, mengadu pada teman-temanku. Ahh mereka sudah memiliki beribu-ribu kegiatan. Takkan sempat untuk bisa berkunjung ke kamarku yang sangat menjenuhkan ini. Teman-temanku saat ini hanya benda-benda yang ada di sekitarku. Mereka yang akan mendengarkan keluh kesah gundah hati dan pikiran ini. Mereka semua sudah ku namai sesuai dengan keinginanku. Kasur kesayanganku yang ku namai Giant. Sesuai dengan namanya, kuat dan besar, yang kuat sekali menopang tubuh besarku dulu. Sakura, satu-satunya benda hidup yang ada di kamarku ini. Mendengar namanya, pasti berpikiran kalau dia adalah bunga sakura. Semua teman-temanku pun berpikiran seperti itu, tapi Sakura bukanlah bunga sakura yang sebenarnya, melainkan bunga matahari. Mengapa Sakura? entahlah aku sangat menyukai bunga sakura dan ku suka dengan nama itu, aku tidak terlalu suka dengan nama matahari pada sebuah bunga. Hanya matahari yang sebenarnya, yang selalu membangunkan pagi cerahku dengan serpihan sinar hangatnya yang boleh memiliki nama Matahari. Masih banyak lagi teman-teman lainku yang mungkin jika disebutkan akan membuat kalian beranggapan jika aku sudah tak waras. Hidup dengan benda-benda mati. Sudahlah!

Ngomong-ngomong soal teman. Tak selamanya aku berbicara dengan benda-benda mati, atau mungkin Sakura. Sejak aku menempati kamar ini, ku hitung ada sekitar sepuluh atau sebelas orang yang menjadi teman sekamarku, sekaligus teman curhat cerita kehidupanku yang terpengal-pengal, terpotong bagaikan cuplikan film-film yang entah endingnya sampai dan seperti apa. Mereka silih berganti mengisi kekosongan hidup ini. Ada yang menyenangkan, menyebalkan, misterius, bahkan ada juga bisa membuat aku tak bisa berhenti tertawa melihat tingkahnya. Aku merasakan indahnya memiliki teman baru dan pedihnya ditinggalkan lagi oleh teman baruku.

Ada satu dari mereka yang sampai detik ini menjadi penyokong semangat jiwa-batin yang kosong ini. Bang Andre namanya. Dia adalah seorang manager di salah satu perusahaan swasta ternama di daerah Bandung. Selain jadi manager, dia juga memiliki beberapa usaha, seperti butik, rumah makan, dll. Aku salut dengan semangatnya untuk bisa menjadi pegusaha handal di usia mudanya, 28 tahun. Sekitar dua minggu kita berdua satu kamar. Banyak cerita yang mengalir begitu saja di antara kita. Ada satu moment yang menjadi titik puncak kekagumanku terhadapnya. Ya, malam Jumat di pertengahan bulan Desember. Tak sengaja aku bertanya hal pribadi padanya. Aku bertanya mengapa dia belum menikah dan apa tujuan dia dalam hidup ini. Melihat hidupnya sudah tidak ada kurang satu pun, semuanya sudah dimiliki. Namun mengapa dia belum memiliki istri sampai saat ini? Wajahnya berubah diam, tertunduk dan kurasakan, ada tetesan air yang keluar dari kedua bola matanya. Perlahan dia menjawab dengan suara sedikit sendu jika dia ingin sekali beristri dan memiliki keluarga yang seutuhnya, anak yang lucu, dan kehidupan yang diidam-idamkan seluruh laki-laki. Semua itu harus ia pendam dan tunda. Aku semakin bingung dengan jawabanya, apa yang membuat dia harus menunggu untuk menikah? Semua wanita pasti ingin menjadi istrinya? Air matanya semakin deras, dan dia tertunduk agak lama dan hanya ada tiga kata yang keluar dari lisanya, “Ibu, Ibu, dan Ibu”. Seketika bulu kuduk ini berdiri dan entah datang dari mana air mata yang mengalir begitu derasnya. Dia begitu mencintai ibunya, tak ingin dia sekalipun membuat ibunya sedih. Dengan menikah, perhatian kepada ibunya pasti akan berkurang, dia akan fokus memikirkan istri dan anaknya kelak. Sang ibu sebenarnya sudah menyuruhnya untuk segera menikah dan tak usah menghiraukanya. Walaupun dia harus tinggal sendirian di rumah tanpa sang suami yang sudah lama meninggalkanya, dia sudah merelakan anaknya untuk segera menikah dan menempuh kehidupan baru. Namun Bang Andre ingin tetap menemani ibunya sampai mungkin akhir hayatnya dan setelah itu baru dia kan mulai mencari pendamping untuk hidupnya kelak.

Sejak malam itu, aku merasa menjadi anak yang selalu menyusahkan ibuku selama ini, terutama ketika aku harus tinggal di kamar ini. Dia setiap hari datang membawakan makanan kesukaanku, membelikan apa yang aku inginkan dan apa yang aku pinta. Tak satupun permintaan yang tidak dipenuhi oleh ibuku tercinta. Bodohnya diriku! Aku seperti seonggok daging yang tak berguna, hanya bisa diam dalam sunyi dan berdoa. Aku mencintaimu, Bunda.

Ketika akhirnya Bang Andre harus pergi dan meninggalkanku sendiri di kamar yang sunyi ini. Dia hanya menitipkan sebuah janji kepadaku jika kelak aku bisa keluar dari kamar ini, dia akan mengajakku liburan ke tempat yang paling aku impikan, Mekah-Madinah dan Paris-Jepang. Aku ingin bisa pergi haji dan umroh bersama keluarga besarku, dan aku juga ingin ke Paris dan Jepang, melihat indahnya mahakarya arsitektur bangunan yang luar biasa, La Tour Eiffel, dan bisa berada di sekeliling bunga sakura, melihat dan memaknai keindahanya. Bang Andre dia juga berjanji pada Ibu ku, jika dia yang akan membiayayi semua kebutuhanku sampai aku bisa keluar dan berlari dari kamarku ini. Hanya syukur dan syukur yang bisa ku panjatkan kepada Sang Pencipta. Allah akan selalu memberikan jalan kepada hambanya yang berikhtiar di jalanNya.

Kelak aku bisa keluar dari kamar ini, kelak dan semoga aku bisa. Hanya itu harapan yang sudah kutulis dan ku tempel di jendela kamarku. Ya, jendela yang menjadi layar cakrawala dunia yang akan menghubungkan aku dengan dunia luar yang terbatas.

Hari ini, sendiri menyelimutiku. Belum ada teman baru yang akan menemani kekosongan hari-hariku. Sudah hampir satu minggu Jakarta ditutupi dengan awan kelabu yang tak ingin berpijak satu centi pun dari pelatarannya. Hujan tak terkelakkan untuk hadir di ibu kota Indonesia ini. Hawa menjadi semakin dingin yang memaksa instingku dan mungkin orang-orang di luar sana untuk mencari cara menghangatkan diri. Hanya meratap yang bisa ku lakukan sore ini. Mencoba ingin melihat dunia luar di bawah tangisan langit yang sendu. Ya Allah, betapa indahnya dunia luar itu, ingin aku merasakanya. Kuatkah aku dan tubuhku?

Entah apa yang terjadi dengan pikiran dan jiwaku saat ini yang memaksaku untuk flashbackdengan kejadian-kejadian yang menghampiriku sebelum aku datang ke kamar tercintaku ini, kamar 808.

Semua berawal di bulan Juni, bulan yang paling ku suka, tetapi juga ku benci. Aku memang tak pernah begitu memikirkan kondisi tubuhku ini. Sakitkah, lemahkah atau bahkan aku harus pingsan, tak pernah ku hiraukan. Semangatku sebagai seorang pemuda sedang berada dipuncaknya. Aku ingin mencoba semua hal yang menurutku baik, termaksud menjadi seorang aktivis-mahasiswa. Aktivis? Tak pernah terlintas di pikiranku untuk menjadi seorang aktivis kampus. Niatku hanya ingin membahagiakan orang tua yang begitu bangga ketika ada salah satu anaknya yang bisa meneruskan jenjang pendidikanya di Universitas Negeri di Indonesia. Jalan Allah memang tidak akan ada yang tahu, bahkan seorang cenayang atau paranormal sekalipun. Entah apa yang terjadi dalam diriku, semangat aktivis mengalir deras dalam jiwaku. Tak pernah ada rasa lelah dalam jiwa ini, bahkan aku lebih sering berkumpul dengan aktivis lainya di kampus dari pada berada di rumah untuk berkumpul dengan keluarga. Sempat orang tua melarang keras anaknya ini untuk jangan terlalu berlebihan di dunia organisasi, tapi seperti kata pepatah, semakin di larang---semakin menjadi. Akhirnya orang tuaku hanya bisa mendoakan apapun kegiatan yang di lakukan oleh anaknya dan selalu memantau kesehatan anaknya.

Ya, entah sudah ribuan atau bahkan jutaan kalinya ibu dan ayahku memperingatkanku mengenai pentingnya menjaga kesehatan. Pikiranku hanya sebatas sakit-minum obat warung dan selesai. Ternyata aku salah. Orang tuaku sepertinya sudah merasakan ada yang berbeda dengan keadaanku akhir-akhir ini, dengan tak pernah ku mencoba untuk mendengarkan apa nasihat mereka. Ketakutan mereka seakan menjadi sebuah kenyataan. Aku tak begitu mengerti apa yang sebenarnya terjadi dengan tubuh yang ku anggap sekuat baja. Aku sakit. Aku lemah dan aku tak bisa berbuat apa-apa.

Sukar benar ku percaya dan menerima ini. Di saat aku sedang membangun landasan untuk karirku selanjutnya menjadi seorang aktivis yang sebenarnya, di saat akhirnya aku akan bisa membanggakan kedua orang tuaku dengan ijasah S1 yang akan menjadi bukti kesungguhan ku untuk membahagiakan mereka, dan di saat semuanya seakan mudah untuk di jalani. Namun Allah ternyata memberikan sebuah peringatan kepada hidupku, membuat semuanya buram, semuanya kelam, dan hitam.

Pertama kalinya aku memberanikan diri untuk memeriksakan keadaan yang menurutku aneh. Sering rasanya aku mimisan ketika sedang beraktivitas. Sakit tak terkira yang ku rasakan ketika mungkin sakit ini kambuh. Berbagai rangkaian coba ku ikuti, baik tes darah,rontgenct scan dan banyak lagi. Ku ceritakan semua keluhanku pada dokter yang menanganiku. Dia hanya mendiagnosisku dengan penyakit umum semua orang, kecapean dan butuh istirahat. Baiklah, jika hanya kecapean aku bisa menanganinya.

Dua minggu aku menunggu hasil dari semua rangkaian yang aku jalani. Hingga suatu hari, dokter langsung menelponku dan memintaku untuk datang ke rumah sakit. Sempat ada rasa takut berkecamuk dalam pikiran ini. Ahh, semoga semuanya baik-baik saja. Aku kan sehat, sudah ku jalani pola hidup sehat dengan disiplin, sudah tidak ada celah lagi bagi penyakit untuk datang menghampiriku. Aku sehat. All is well.

Ingat sekali dipikiranku raut wajah sang dokter yang berbeda dengan sebelumnya. Terkejut ketika aku masuk ke ruanganya dengan begitu semangat dan bergembira. Perlahan dokter menjelaskan penjelasan yang aku tak mengerti itu apa. Sialan! buang-buang waktu saja. Katakan saja jika aku sehat atau sakit. Jika sakit, apa yang harus aku lakukan?. Minum obatkah atau istirahat yang cukup. Akan tetapi aku merasakan ada sesuatu yang begitu penting daripada hanya minum obat atau sekedar istirahat. Perlahan Dokter memberikan sebuah kertas hasil laboratorium dan memintaku untuk membaca hasilnya sendiri. Kalimat terakhir yang terucap dari mulutnya adalah, “Sabar ya dik, berdoalah”.

Perlahan kubuka dan kubaca dengan seksama. Aku tak begitu mengerti, banyak sekali tulisan di kertas itu. Namun akhirnya aku menemukan kata “Hasil Lab” di bagian kiri bawah. Wajahku seketika beku menatap kata yang aku mengerti benar apa artinya. Kepala ini seakan dihantam begitu kerasnya membuat tubuh ini seakan tak bisa menyeimbangkannya lagi. Kaki dan tangan ini kaku-gemetar. Aku tak percaya dengan apa yang tertulis di kertas itu. Tubuh yang ku anggap begitu kuat menopang berat ini, yang selalu menjadi kebanggaan di depan teman-temanku, dan selalu menjadi impian untuk semua orang kurus di dunia ini, ternyata mengidap penyakit separah itu. Ya Allah, cobaan apa yang kau berikan kepada hambaMu ini. Aku terkena “Leukimia Stadium II”. Seketika aku memaki dokter dan berharap jika hasil ini salah. Tidak mungkin aku mengidap penyakit Kanker Darah. Aku sehat, aku tidak selemah itu!

Otak ku sudah tidak bisa digunakan lagi dengan semestinya. Neuron-neuron di pikiranku sudah saling bertabrakan dan saling menghancurkan. Aku bingung. Aku tak tau apa yang harus ku lakukan. Wajah kedua orang tua dan keluargaku muncul. Aku tak mungkin memberi tahu mereka tentang keadaanku yang sebenarnya, terutama Ibu dan Ayahku. Mereka sangat mengharapkan agar aku bisa menyelesaikan masa kuliah ku di tahun ini dan bisa merasakan kesuksesan anak kesayanganya sebelum maut menjemput mereka. Seketika muncul klise indah dimana aku dan keluarga besarku tersenyum indah penuh dengan cita di acara wisuda kelulusanku. Toga yang ku idam-idamkan terpasang rapih di tubuh ini. Tak terbendung air mata Ibu dan Ayah yang akhirnya bisa melihat anaknya lulus dan wisuda. Namun klise itu pun terbakar habis, membakar semua mimpi itu. Bergantikan dengan aku yang hanya terbaring lemas di atas kasur dengan peralatan medis lengkap yang menjadi teman setiaku. Semua klise itu membuat kantung air mataku terkuras habis membasahai pipi hingga ke bajuku.

Astagfirullah. Cobaan apa ini? Bagimana dengan skripsiku? Amanahku di kampus? Tak mungkin aku meninggalkannya. Lalu, bagaimana cara menceritakan keadaanku yang sebenarnya kepada keluarga dan rekan-rekan kerjaku? Aku bingung, aku putus asa. Aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi dengan Ibuku di kampung ketika tau anaknya mengidap penyakit yang sampai saat ini belum ada obatnya. Di sisi lain, teman-temanku tak akan percaya dengan kondisi yang aku alami. Aku hanya akan di anggap sebagai pencari sensasi belaka. Sakit? Bohong, aku tidak sakit!

Aku diam membisu di kamarku. Aku takut. Aku sangat takut. Gerbang kematian datang menghampiriku begitu cepat, entahlah secepat apa. Apakah mati itu sakit?. Semenderita apakah kematian itu? Teringat cerita seorang sahabat kepadaku tentang kisah kematian kekasih Allah, manusia yang di jauhkan dari kesalahan dan sudah pasti akan menempati janah-Nya Allah swt, Nabi Muhammad saw. Ketika Sang Nabi berada di penghujung hidupnya dan malaikat pencabut nyawa mulai mencabut roh sang kekasih Allah dari raganya. Tampak mengisyaratkan kesakitan yang luar biasa. Semakin memuncak ketakutanku akan kematian itu. Kekasih Allah yang begitu dicintainya masih merasakan betapa pedih dan tersiksanya kematian itu, bagaimana dengan aku? Siapa aku? Tak terhitung dosa-dosa yang ku lakukan selama ini. Bahkan bintang malam yang indah dan bertaburan di langit Jakarta takan bisa menandingi jumlah dosa-dosa yang ku lakukan selama ini. Bodoh!. Tolol!. Kenapa baru sekarang aku sadari akan dosa-dosaku!. Kenapa ketika aku sakit dan ajal mulai mendekatiku, baru ku sadari dosa-dosaku selama ini. Dimana sehatku?, dimana waktu-waktu sehatku?

Inikah yang namanya kualat? Aku kualat akan dosa-dosaku. Allah menunjukkan kekuasaan-Nya dengan begitu adil. Terlambatkah diriku yang hina ini untuk bisa bertaubat? Tidak!! Aku tahu dan yakin, Allah akan mengampuni sebanyak apapun dosa hambanya jika kita bersungguh-sungguh bertaubat mengharap ridho dari Nya. Rasanya aku begitu hina di hadapan-Mu, ya Allah. Melakukan semua yang Engkau larang dan sekarang aku memohon untuk minta diampuni. Apa yang sudah ku perbuat untuk-Mu dan agama-Mu. Aku akan lakukan apapun untuk bisa menebus semua dosa-dosaku. Asalkan aku bisa sembuh dan melihat senyum Ibuku tercinta. Ibu yang sudah begitu renta yang mungkin hanya bertahan disisa umurnya untuk bisa melihat anak laki-lakinya ini wisuda dan sukses.

Aku buka laptopku, ku cari informasi mengenai Leukimia. Benci rasanya aku menyebutnya. Aku mencari sebuah harapan yang kenyataanya ku tahu benar sulit dan tak mungkin, hanya keajaiban yang dapat merubah semua ini. Ku baca semua artikel mengenai Leukimia, ku cari obat yang dapat menyembuhkan penyakitku ini. Ratusan, ya ratusan artikel ku baca di hari itu hanya untuk mencari secercah cahaya kehidupan. Namun ku tak temukan satu jawaban pun. Hanya ada satu jalan yang dapat ku tempuh, itu pun tak akan dapat menyembuhkanku dari penyakit sialan ini. Tertulis di semua artikel jika pengidap penyakit ini harus melakukan Kemoterapi.

Tak begitu asing dengan kata kemoterapi. Aku sering menonton film-film yang bertemakan sebuah penyakit. Leukimia salah satunya. Sedikit yang ku tau mengenai kemoterapi. Pengidap penyakit ini harus melakukanya hanya untuk meringankan sakit yang dideritnya. Bukan menyembuhkanya. Satu lagi yang ku tau mengenai kemoterapi. Semakin sering aku melakukannya, semakin rontok rambut ini sampai akhirnya tak tersisa satu helai pun. Aku akan botak? Aku takan bisa membanggakan rambut ini kepada teman-teman ku? Gila!

Diam dalam keheningan. Itu yang bisa ku lakukan saat itu. Aku bingung tak tau apa yang bisa dan harus ku lakukan. Menceritakan keadaan ini kepada orang tuaku? perbuatan konyol yang akan membuat orang tuaku tambah menderita dan bahkan mungkin akan lebih mempercepat umur mereka untuk menemui ajalnya. Tegakah seorang anak melihat orang tuanya? TIDAK!!

Tak sengaja, di sudut mataku, tampak jelas satu benda yang mungkin sudah sekian lama aku tinggalkan, tak ku jamah barang semenit atau bahkan satu detik pun. Aku biarkan tergoler sembarang di lemari kayu usangku. Kelabu dengan debu-debu usang membuat tampak seperti benda tak berguna. Rasa rindu untuk memegangnya, membukanya, membaca dan menelaah isi kandungan darinya. Aku sangat rindu, lisan dan mulutku ini membaca dan melafazkan ayat-ayat yang ada di dalamnya, Al-Qur’an.

Tanganku gemetar meraihnya. Ku seka semua debu yang menutupi buku dari segala buku, kitab dari segala kitab, dan panduan dari segala panduan. Takkan ada satu pun buku panduan kehidupan yang menjelaskan tentang kehidupan sebelumnya, sekarang dan masa depan. Semuanya sudah tertulis dan terjelaskan dengan rinci di dalamnya. Ku buka perlahan dengan hati gemetar. Emosi hati ini seakan tak kerkontrol, meluap-luap bagaikan ombak di lautan yang memaksa air mataku untuk keluar dari maribaannya. Lembar pertama ku buka perlahan, entah apa yang terjadi dengan diriku, guncangan apa ini? Air mataku semakin menjadi-jadi, nafasku seakan ingin membludak keluar bersamaan, ingin meledak rasanya paru-paru ini. Surat Al-Fatihah, ibu dari segala surat yang ada dalam kitab suci ini. Aku baca dengan terbata-bata dengan emosi memuncakku. Ayat demi ayat ku baca perlahan. Walaupun surat Al-Fatihah selalu ku ulang-ulang sebanyak 17 kali setiap hariku. Entah mengapa menjadi begitu sulit lidah ini untuk membacanya.

Tubuh ini seketika menjadi hangat. Perasaan ini persis seperti ketika aku berada dalam pelukan Ibuku tercinta. Penuh dengan kehangatan dalam buaian seorang Ibu. Bulu kuduk ini berirama berdiri dari kaki menuju ke kepala. Sempat menuju ke telingaku, seketika menghilang berganti dengan sebuah bisikan halus, bisikan dari suara yang ku kenal dalam. Ya, suara ibuku. “Bertaubatlah, Nak”. Jantung ini seakan berhenti seketika. Bertaubat, aku harus melakukanya. Aku tak ingin di penghujung hidupku, diriku ini belum mendapatkan ampunan dari Sang Ilahi.

Kriinggg!!! Suara Handphone-ku mengagetkan dan membuyarkan semua keheninganku. Ada sebuah pesan dari Ibuku. Mengapa begitu sangat kebetulan, entahlah. Pesan dari Ibuku hanya pertanyaan mengenai kabar anaknya. Bukan, bukan hanya sekedar kabar. Ada pesan lain yang di sampaikan. “At-Tahrim (66) : 8”. Penasaran aku dibuatnya. Ku buka lagi Al-Qur’an kecilku. Kucari surat dan ayat yang di pesankan oleh Ibuku. Ku baca perlahan dan ku coba untuk memaknai artinya. Astagfirullah, kuasa Allah begitu besar. Semua ini seperti rangkaian yang sudah dibuat oleh Nya. Rangkaian indah yang menggiringku semakin dekat kepada-Mu, ya Allah.

At-Tahrim (66) : 8

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukan muka dalam jannah yang mengalir di bawahnya, sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan; “Ya Rabb kami, sempurnakalah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”

Saat itu hatiku rasanya begitu sejuk. Tak pernah ku merasakan keadaan sedamai dan setenang itu. Ya Allah, indah sekali kuasa-Mu. Yang terlintas di pikiranku saat itu adalah aku harus shalat taubat nasuhaa. Jika seandainya ada malaikat di sekelilingku saat itu yang pasti menertawaiku dan mencibirku tentang tingkah lakuku. Aku tak akan menghiraukan mereka. Biarlah mereka menertawai, memaki, dan mencibirku. Aku yakin Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Apakah taubat nasuhaaku akan diterima oleh Nya? entahlah. Aku hanya bisa berdoa, berharap dan percaya jika Allah memiliki pesan tersembunyi di balik semua ini. Allah memiliki kuasanya untuk mengingatkan dan mengembalikan hamba Nya ke jalan yang sebenarnya, jalan yang lurus.

Semua itu hanya masa laluku. Masa lalu yang kelam, kejam, namun sangat membahagiakan. Dimana aku terpuruk dan aku juga merasa dibangkitkan kembali oleh Sang Empunya alam ini.

Semua lamunan itu akhirnya buyar dan menghilang tertutupkan oleh kenyataan. Ya, aku sekarang terkurung di dalam kamar yang mungkin akan menjadi ruangan terakhir nafas ini akan berhembus, kamar 808. Sungguh, aku tak tahan dan bosan sangat diri ini. Ingin rasanya aku memecahkan jendela di depanku dan terbang melayang entah kemana dengan kedua sayap patahku ini.

Berat nian nafas ini rasanya. Tak sanggup aku untuk kemo lagi. Sudah ke-9 kalinya aku kemo, dan hasilnya nihil. Bualan bisa menyembuhkan sel kangker di darah ku ini hanya ku jadikan ratapan kekosongan. Kenyataanya sekarang aku naik kelas, naik peringkat dan akan mendapatkan hadiah kelak, stadium III. Menderita fisik dan batin rasanya ketika kemo. Tubuh ini penuh dengan selang, suntikan dan entah alat-alat biadab apa yang masuk ke dalam tubuh ini, sakit rasanya. Batinku hancur. Air mataku selalu berlinang ketika kemo. Aku harus berkumpul dengan penderita lainya. Bukan sebaya, seumuran dan bahkan kawan sejawat. Melainkan mereka adalah kakek dan nenekku. Umur mereka bahkan sudah melebihi umur Nabi Muhammad, hanya tinggal menunggu waktunya tiba. Tapi tidak dengan aku. Aku selalu di panggil “Cucu Hebat”. Ya, mereka selalu ingin mencoba untuk menghiburku dan memberikan semangat untukku agar aku bisa berjuang mengalahkan penyakit ini. Aku bisa dan pasti akan sembuh!. Aku harus sembuh walau dengan kepala tak berambut.

Aku rindu dengan keramaian, hiruk-pikuk Jakarta dan ramainya kampusku tercinta. Aku juga merindukan sahabat-sahabatku, teman-teman seperjuangan, aku merindukan kalian. Ingin rasanya bercerita, bercanda dan berdemo bersama. Aku rindu rasanya rapat. Aku juga rindu rasanya kebersamaan ketika bisa membuat acara bersama. Aku rindu semuanya. Andai aku bisa, aku menginginkan semua itu. Enggan aku menganggu mereka. Mereka pasti sibuk dengan semua hal yang ada di kampus. Aku tak ingin hanya menjadi beban bagi mereka. Sudah terlalu membebani mereka dengan semua amanah yang tak bisaku teruskan. Terimalah semua ini dengan lapang. Kenyataan yang harus ku terima adalah aku sakit dan ku sendiri.

Keluargaku?. Tak sudi aku merengek mereka untuk bisa menemaniku setiap saat dan setiap waktu. Tak tau diri benar diri ini. Benalu dalam keluargaku adalah aku sendiri. Mereka rela untuk bisa makan hanya dengan nasi dan garam asalkan aku bisa minum obat. Ya Allah, apakah kau menciptakan ku dengan semua ketidak bergunaan ini?. Jika ini yang terbaik. Aku pasrah, aku tak mau melihat air mata Ibuku terus berlinang. Sudah durhaka diri ini kepadanya dengan hanya bisa menjadi anaknya yang sakit, anaknya yang tak berguna. Ibu adalah malaikat untuk hidupku. Tegar sekali hati dan jiwanya. Harapan dia yang digantungkan tinggi di bahu ku ini runtuh dan hancur berkeping. Mimpi besarnya bisa melihatku menggunakan toga dan bisa melihat anaknya ini menyelesaikan pendidikanya pupus sudah. Aku harus menundanya, entah sampai kapan. Namun aku bertekad walaupun raga ini akan mati membusuk dalam tanah, aku harus menyelesaikan semua amanah ku ini, apapun cara yang harus ku tempuh, aku harus lulus dan wisuda, aku harus bisa membahagiakan Ibuku tercinta.

Teringat bunga sakura, bunga yang palingku suka. Sering aku bergumam marah dalam diam. Mengapa aku di ciptakan menjadi manusia tak berguna seperti ini?. Itu kah tujuan Allah menciptakanku?, atau memang ini cara Allah untuk menebus semua dosa-dosaku?. Aku ingin menjadi seperti bunga sakura. Bunga yang indah dengan warna cintanya.

Bunga sakura, saat mekar tanpa pamrih, tanpa beban apa pun, dengan ketulusan dalam memberikan kepuasan dan kekaguman pada tiap orang untuk menikmatinya. Gugurnya bunga sakura akan sangat disayangkan banyak orang. Hidup Sakura itu bak cermin keberhasilan seseorang. Begitu kita mati, orang merasa kehilangan. Sakura adalah janji, yang walau usianya terlalu singkat, tapi ia berjanji akan kembali mekar di musim semi selanjutnya. Ia akan kembali membagi keindahannya, ia akan kembali membagi keceriaan bagi siapa saja yang memandangnya.Sakura berjanji akan datang lagi.

Aku ingin menjadi Sakura. Aku ingin kembali lagi untuk keluarga dan sahabat-sahabatku. Aku berjanji akan kembali dengan senyuman indah menyambut kalian semua. Kita semua akan kembali ke maribaanya. Kembali ke alam kekal yang akan mengekalkan kebersamaan kita tanpa ada ruang dan waktu.

Aku mencintai mu Ibu. Doakanlah anak mu ini selalu. Andaikan kelak aku di izinkan untuk menjadi bintang di malam yang gelap. Ku kan selalu menerangi malam mu, menghangatkan mu dengan sinar ku. Untuk mu sahabat-sahabatku. Ragaku memang mati dan akan membusuk kelak di bawah tanah. Malaikat kubur akan menyiksaku atas semua dosa yang ku lakukan, mungkin kepada kalian. Aku akan selalu ada disamping kalian. Berdemo menyuarakan aspirasi mahasiswa dan masyarakat. Berdiskusi membicarakan langkah-langkah kongkret.

Andaikan aku bisa meminta. Aku ingin menjadi seperti Sakura.

Andaikan, Sakura.

Aku siap, untuk berjanji pergi dan akan kembali lagi untuk kalian semua.



EzeL

TigaAgustusDuaRibuEmpatBelas

@shandyezza

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun