Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Polarisasi Ideologi Gender Dalam Kebijakan Gender

11 Desember 2024   10:04 Diperbarui: 11 Desember 2024   10:13 51 0
Polarisasi ideologi gender dalam kebijakan gender merupakan fenomena yang mencerminkan perbedaan pandangan tajam terkait peran gender, kesetaraan, dan hak-hak perempuan dalam masyarakat. Di satu sisi, terdapat kelompok yang mendukung kesetaraan gender penuh dan pemberdayaan perempuan, sementara di sisi lain ada kelompok konservatif yang cenderung mempertahankan peran gender tradisional. Polarisasi ini memiliki dampak signifikan terhadap proses pembuatan kebijakan gender dan sangat mempengaruhi area-area seperti kesetaraan di gender di tempat kerja.
Banyak sekali faktor-faktor kontekstual seperti budaya, agama, sejarah, dan tingkat perkembangan ekonomi suatu negara turut mempengaruhi polarisasi ini. Dampaknya terhadap pembuatan kebijakan dapat bervariasi, mulai dari kebuntuan legislatif hingga kerjasama politik yang menghasilkan kebijakan "tengah jalan". Meskipun sering dipandang sebagai hambatan, beberapa pengamat politik berpendapat bahwa perdebatan yang dihasilkan oleh polarisasi ini dapat berfungsi sebagai katalis untuk perubahan sosial. Untuk menghadapi tantangan polarisasi, beberapa strategi telah diusulkan untuk menjembatani kesenjangan ideologis dan memfasilitasi pembuatan kebijakan yang lebih efektif.

Selain itu, polarisasi ideologi gender dalam kebijakan gender semakin terlihat dalam wacana politik saat ini, terutama terkait kebijakan cuti orang tua dan kesehatan reproduksi. Polarisasi ini dipengaruhi oleh interaksi kompleks antara keyakinan masyarakat, afiliasi politik, dan kerangka institusional yang membentuk sikap publik terhadap peran dan kesetaraan gender. Sebuah Penelitian yang dipublikasikan oleh Gayle Kaufman di tahun 2023 tentang "Gender Egalitarianism and Attitudes Toward Parental Leave" menunjukkan bahwa sikap terhadap cuti orang tua sangat dipengaruhi oleh ideologi gender yang mendasarinya. Meskipun ada dukungan umum untuk cuti orang tua berbayar yang lebih panjang, penerapan kebijakan tersebut sering mengungkapkan kesenjangan antara dukungan publik dan kerangka kebijakan aktual. Hal ini terlihat dari sikap diskriminasi yang dihadapi ibu di tempat kerja, yang justru memperkuat peran gender tradisional. (Kaufman, 2023)

Polarisasi ideologi gender dalam kebijakan gender di Indonesia menimbulkan tantangan yang cukup rumit dalam mencapai kesetaraan gender. Berbagai kebijakan, seperti Pengarusutamaan Gender (PUG), dirancang untuk mengintegrasikan perspektif gender dalam berbagai sektor pembangunan, termasuk pariwisata, pendidikan, dan kesehatan. Namun, implementasi kebijakan ini sering kali terhambat oleh faktor-faktor sosial, politik, dan budaya yang menciptakan kesenjangan antara tujuan kebijakan dan realitas di lapangan. Kebijakan PUG, sebagai strategi untuk memastikan akses dan partisipasi yang adil bagi laki-laki dan perempuan, telah diterapkan di berbagai daerah. Misalnya, penelitian di Kota Denpasar menunjukkan bahwa meskipun ada upaya untuk mengintegrasikan gender dalam pengelolaan objek wisata, representasi perempuan dalam struktur administratif masih sangat minim (Putra,2023).

Hal serupa juga ditemukan di Kabupaten Pandeglang, di mana meskipun kebijakan PUG telah lama digaungkan, Indeks Pembangunan Gender (IPG) masih di bawah rata-rata provinsi dan nasional (Tazkia et al., 2022). Ini menunjukkan bahwa meskipun kebijakan telah ada, implementasinya sering kali tidak efektif dalam mengatasi ketidaksetaraan yang ada. Seorang peneliti di Universitas Andalas, Rahmatunnisa, mengidentifikasi bahwa partisipasi politik perempuan dapat diperkuat melalui kebijakan afirmatif, tetapi keberhasilan ini tergantung pada konteks politik dan sosial-ekonomi yang lebih luas. Dalam konteks ini, stereotip gender yang masih kuat dalam masyarakat Indonesia menjadi penghalang utama bagi perempuan untuk berpartisipasi secara penuh dalam politik dan pemerintahan (Rahmatunnisa, 2016).

Penelitian oleh Hentihu juga menunjukkan bahwa kebijakan pendidikan yang responsif gender perlu diintegrasikan lebih baik untuk mengatasi ketidaksetaraan yang ada. Selain itu, tantangan dalam implementasi kebijakan gender juga mencakup kurangnya kesadaran dan dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah dan masyarakat. Evaluasi pelaksanaan PUG menunjukkan bahwa adanya kekurangan dalam komitmen dan pemahaman tentang pentingnya pengarusutamaan gender. Hal ini diperkuat karena, politisasi gender sering kali diabaikan dalam kebijakan publik, sehingga mengurangi dampak positif yang seharusnya dihasilkan.

Polarisasi gender dapat menciptakan ketidaksetaraan politik yang terinstitusi, di mana kelompok-kelompok tertentu berusaha mempertahankan kekuasaan mereka dengan menolak kesetaraan gender. Ini menciptakan tantangan tambahan bagi upaya untuk mencapai kesetaraan gender dalam kebijakan publik. Secara keseluruhan, meskipun ada berbagai kebijakan yang dirancang untuk mengatasi ketidaksetaraan gender, tantangan yang dihadapi dalam implementasi menunjukkan bahwa polarisasi ideologi gender masih menjadi hambatan yang signifikan. Untuk mencapai kesetaraan gender yang nyata, diperlukan komitmen yang lebih kuat dari semua pihak, serta pendekatan yang lebih holistik dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan.

Pada akhirnya, polarisasi ideologi gender dalam kebijakan gender mencerminkan perubahan masyarakat yang lebih luas dan perjuangan berkelanjutan untuk kesetaraan gender. Seiring partai-partai politik semakin mengadopsi sikap yang berbeda tentang isu-isu gender, tantangannya terletak pada menjembatani perbedaan ini untuk mendorong lingkungan kebijakan yang lebih inklusif dan adil. Selain itu, pentingnya pendidikan publik tentang kesetaraan gender tidak bisa diabaikan dalam mengatasi polarisasi ini. Integrasi perspektif gender dalam kurikulum pendidikan dan pelatihan sensitivitas gender untuk para pembuat kebijakan dapat membantu menciptakan masyarakat yang lebih sadar gender.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun