Aku menelusuri koridor kampus dengan langkah berat juga dikelilingi rasa bingung. Tatapan beberapa mahasiswa lain menyorot ke arahku. Ada yang menatapku sinis, dan juga iba.
"Hilya ... yang sabar, ya," ucap Dinda sembari mengusap bahuku.
Aku hanya tersenyum lalu mengangguk.
Sambil menunggu dosen pembimbingku. Kuraih buku diary milikku. Puisi-puisi cintanya yang ia berikan untukku masih tertulis indah di atas kertas berwarnakan pink itu. Tawaku lepas saat mengingat waktu ia diam-diam mengambil diary kosongku dan mengembalikannya dengan kertas yang tak lagi kosong. Genggaman tangannya masih bisa kurasakan saat ia menarikku ke dalam kelas agar aku tak berkeliaran di taman belakang kampus.
Banyak hal kualami selama hampir dua tahun berada dalam lingkungan Lembaga Dakwah Kampus terutama memenuhi amanah yang pernah kami ikat bersama. Menyibukkan diri dengan sesuatu yang bermanfaat, agar hatiku bisa kembali pulih.
"Hilya!" panggil salah seorang yang suaranya tak asing.
Aku menoleh. Lelaki itu sudah berada di sampingku.
"Ngapain di taman sendirian?" tanya Dayat tanpa menatapku.
"Nggak apa-apa."
"Mengenang lagi? Kapan bisa ikhlas?"
Aku hanya diam tak memerdulikannya.
"Kapan kamu mau buka hati, Ya'? Berhenti merenungi memori yang udah lewat," ucapnya serius.
Hatiku gusar mendengar ucapannya, wajahku seketika memanas jika harus disuruh melupakan ia yang kucintai. Dayat memang selalu mengejarku, mengusikku, agar aku bisa menyukainya. Namun sungguh, tak ada ruang di hatiku untuknya.
"Aku akan terus menunggu." Dayat menatapku sembari meyakinkan.
Tak memerdulikan ucapannya, aku bangkit dan bergegas meninggalkannya. Berusaha menahan isak tangis agar di setiap langkah tak kubayangkan lagi ada dia ... Arsyad.
Sepulang kampus, aku menuju perpustakaan kecil yang tak jauh dari kampusku. Menyentuh lembut satu per satu buku yang tersusun rapi di dalam rak.
Bruk!
Â
Tak sengaja kujatuhkan beberapa buku, dengan cepat kupungut satu per satu. Seketika tangan lembut menyentuh kepala tanganku. Aku menoleh ke depan.
"Kak Arsyad!" Mataku membulat menatapnya.
Ia hanya tersenyum, lalu membantuku memungut beberapa buku yang berserakan.
"Lain kali, megang buku harus fokus. Ngayal mulu!" ledeknya
Aku hanya diam menatapnya. Kubiarkan rasa bahagia menyeruak di dalam dada. Tak percaya ia ada di sini. Hatiku dibuat tak karuan karena kehadirannya.
"Hilya!" panggilan seorang wanita yang membuatku menoleh cepat.
Tapi hanya beberapa detik saja aku berbalik, setelah itu aku kembali menoleh ke arah Kak Arsyad. Namun, ia hilang sekejap mata. Ia hilang bersama angin.
"Ya', kok diem di sini? Dipanggilin juga malah dikacangin," Â ucap Bu Nia si penjaga perpustakaan yang sudah berdiri di sampingku.
"Cepetan pinjem bukunya, ibu mau tutup nih," ujarnya kemudian.
Aku mengangguk pelan. Tak terasa ada setitik air membasahi pipiku. Kenapa kehadiran Kak Arsyad begitu nyata di sini. Apakah karena perpustakaan ini adalah tempat kami setiap hari menghabiskan waktu? Setiap sudut ruangan ini adalah kenangan milikku dengannya.