Menyaksikan upacara
Grebeglagi...ya, itulah yang saya lakukan hari ini Jumat Kliwon, 26 Februari 2010 atau 12 Maulud tahun 1943
Dal, tepatnya tadi pagi. Entahlah, sudah berapa kali saya melihatnya, mungkin tak terhitung karena saya hampir selalu menyaksikannya sejak kanak-kanak. Namun saya tak pernah bosan, apalagi
Grebeg Maulud kali ini spesial. Jatuh pada tahun
Dal, tujuh buah gunungan disiapkan oleh pihak Keraton, lima untuk diperebutkan di
Masjid Gede, satu diperebutkan di
Pakualamandan yang satunya lagi
Gunungan Bromo untuk diperebutkan oleh para abdi dalem. [caption id="attachment_82143" align="alignleft" width="300" caption="alas kaki prajurit nyutro yang menarik perhatian ika"][/caption] Berangkat dari rumah pukul tujuh pagi, saya bersama adik saya
Inez dan teman saya
Ika segera menuju
Magangan. Tak lama menunggu, barisan prajurit Keraton berdatangan. Setelah semua masuk (delapan bregada) Magangan kami pun ikut masuk, Ika mulai jepret sana-sini, mengambil gambar yang menarik baginya, terutama sesuatu yang berwarna coklat, seperti alas kaki yang dikenakan prajurit
Nyutro. Tak lama kemudian para prajurit sudah memasuki Keraton.
"koq cepet banget sihh?" pikirku. Dan ternyata saya baru sadar kalau hari ini adalah Jumat, upacara Grebeg sengaja dipercepat agar sebelum sholat Jumat sudah selesai. Dari
Magangan, kami menyusul para prajurit ke
Kebenmelewati jalan umum. Di Kebenkami ketinggalan satu
bregada, yaitu
Wirobrojo yang telah memasuki
Siti Hinggil menuju Pagelaran Keraton, padahal saat itu masih jam delapan pagi (lebih cepat satu jam dari biasanya). Di Keben, saat kami ingin mendekat di depan regol
Siti Hinggil ada salah satu
Paksi Keraton yang yang menghalangi. Kami tak menyerah, diam-diam akhirnya kami bisa berada di depan regol Siti Hinggil dan
Bangsal Ponconiti. Dari situ kami memang tak bisa melihat seluruh gunungan yang ada, kami hanya bisa melihat
Gunungan Jaler/Kakung dan
Gunungan Bromo yang mengeluarkan asap dan bau kemenyan. [caption id="attachment_82146" align="aligncenter" width="300" caption="gunungan bromo yang mengeluarkan bau kemenyan"][/caption] Setelah semua bregada (kecuali bregada
Bugisdan
Surokarsokarena sebagai pengawal gunungan mereka harus menunggu sampai gunungan diangkat) memasuki Siti Hinggil kami menuju ke
Pagelaran Keraton untuk menyusulnya, tapi di sana menjadi lautan manusia, apalagi masih banyak pedangang dari pasar malam yang belum mengukuti dagangannya. Kami tak mungkin
ndesel-ndesel di situ, lalu kami ke
Masjid Gede Kauman dan ternyata di sana pun sama saja. Menyerah!! Itulah yang kami lakukan saat itu, dan akhirnya saya mengajak adik saya dan Ika ke
Pratjimosonosaja, menunggu para prajurit
kondhur (pulang). Kami memang tak tertarik untuk merayah gunungannya, kami lebih tertarik pada para prajurit yang terdiri dari sepuluh bregada. Bila ingin mengetahui kesepuluh nama bregada silahkan
klik. Sambil menunggu para prajurit datang, saya mengamati keadaan sekitar Pratji, yang semula masih sepi hingga akhirnya mulai banyak orang yang masuk ke sana juga. Melihat seorang nenek bersama cucunya jadi teringat masa kecilku sering melihat
Grebegbersama
simbah. Kemudian ada anak kecil bernama Allea yang lucu tapi malu-malu saat difoto. Dan seorang anak kecil yang memakai pakain tiruan prajurit
Mantrijero, anak ini langsung menjadi pusat perhatian karena banyak orang yang ingin mengambil gambarnya. [caption id="attachment_82160" align="aligncenter" width="300" caption="regol pratjimosono"][/caption] [caption id="attachment_82152" align="aligncenter" width="222" caption="allea dan mamanya"][/caption] [caption id="attachment_82153" align="aligncenter" width="300" caption="anak kecil dengan seragam mantrijero"][/caption] "
Lha kae prajurit e teka!!" kata Inez. "
Yo ayo gek dho ngadeg." jawab saya, saat itu sudah pukul sepuluh. Di Pratji mereka masih membentuk barisan karena masih ada upacara pembubaran yang aba-abanya menggunakan bahasa Jawa, lucu.... Upacara selesai, para prajurit menyimpan senjata dan alat musik yang dibawanya, seperti tombak,
bedil, tambur, terompet, dll. setelah itu mereka pun menjadi artis dadakan, banyak yang mengajak foto bersama, termasuk saya. Matahari yang menyengat tak mengurangi semangat saya, saya mengajak para prajurit foto bersama, mulai dari
Nyutro,
Wirobrojo,
Ketanggungdan
Bugis. [caption id="attachment_82155" align="aligncenter" width="300" caption="foto bersama prajurit ketanggung (ki-ka: ika, inez, pak ketanggung, saya)"][/caption] Asyik foto sana-sini, tak terasa hampir pukul sebelas. Sebelum semakin panas kami memutuskan pulang, para prajurit pun juga mulai pulang. Meskipun sebenarnya saya masih ingin foto dengan prajurit
Dhaeng.
Dhaeng....tunggu saya di Grebeg Syawal yaa... ;) *ceceran cerita dari Grebeg Maulud 1431 H atau 1943 Dal (26 Februari 2010) *tulisan ini juga melanjutkan tulisan saya tentang Grebeg Besar lalu, Dhaeng dan Bugis, Favoritku….
KEMBALI KE ARTIKEL