Setiap tahunnya Keraton Jogja selalu menyelenggarakan perayaan
sekaten untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad saw (Maulid Nabi). Pada tahun 1431 H ini perayaan
sekaten akan lebih meriah karena jatuh pada tahun
Dal (perhitungan tahun berdasarkan kalender jawa). Diawali dengan adanya pasar malam di alun-alun utara selama 35 hari yang dibuka pada tanggal 16 Januari 2010 lalu dan ditutup pada 19 Februari 2010 kemarin. [caption id="attachment_78756" align="alignleft" width="300" caption="gusti prabu menyebar udhik-udhik di bangsal ponconiti"][/caption] Tanggal 19 Februari 2010 juga setelah penutupan pasar malam, perayaan sekaten selanjutnya ditandai dengan sebar
udhik-udhik sebagai lambang kemurahan raja kepada rakyatnya utk memberi kemakmuran yang dilakukan oleh adik
Sri Sultan HB X yaitu
GBPH Yudhaningrat dan
GBPH Prabukusomo di Bangsal Ponconiti, Keben tepat pukul 20.00 WIB. Meski begitu biasanya sejak sore ratusan orang sudah memadati Keben untuk merayah
udhik-udhik yang berupa uang logam,bunga-bunga, dan beras kuning. Konon yang bisa mendapatkan udhik-udhik ini akan mendapatkan berkah , ketenangan dan kelancaran rejeki. Sebenarnya tgl 19 kemarin saya ingin ikut merayah udhik-udhik, bukan karena percaya akan mendapat berkah tapi hanya ingin merasakan keramainnya. Tapi karena saya kerja sampai pukul 21.00, terpaksa tidak jadi. Namun saya belum menyerah, malam itu juga, beberapa menit sebelum pukul 23.00 di tengah dinginnya malam saya ke Keben dengan ibu saya, tujuan kami adalah menyaksikan
miyos gongso, prosesi yang sebenarnya adalah sebuah tanda dimulainya rangkaian perayaan sekaten *pasar malam hanya sebagai pelengkap saja*.
Miyos dalam bahasa Jawa berarti keluar dan
gongso adalah gamelan, jadi
miyos gongso adalah sebuah prosesi dikeluarkannya dua perangkat gamelan milik Keraton untuk dibawa ke masjid Gede Kauman Jogja.
Kedua gamelan ini merupakan duplikat dari gamelan milik sunan Kalijaga di Demak yang merupakan kerajaan pertama yang menradisikan perayaan sekaten. Suara gamelan menjadi media untuk mengumpulkan rakyat agar tertarik mendengarkan khotbah agama sebagai wujud syiar agama Islam. Kami berdua menyusuri jalanan yang sudah sepi, butuh waktu 10 menit dari rumah untuk sampai ke Keben dengan jalan kaki, sebelum sampai kami sudah mendengar suara musik tradisional yang dimainkan oleh prajurit Keraton yang mengawal
miyos gongso, langsung saja kami berlari agar tak ketinggalan melihat gamelan yang sebelumnya diletakkan di Bangsal Ponconiti dan kemudian dibawa ke Masjid Gede melewati Siti Hinggil. [caption id="attachment_78771" align="aligncenter" width="300" caption="gamelan saat akan memasuli siti hinggil"][/caption] Di Keben itu sendiri, meski sudah malam namun masih banyak penjual nasi gurih,
kinang (dipercaya dapat membuat awet muda),
pecut, dan
endog abang yang menjajakan dagangannya. Mereka ini sudah puluhan tahun berjualan di sekitar Keben saat ada
miyos gongso, salah satunya adalah keluarga Bu Mangun, tetangga saya yang berjualan nasi gurih lebih dari 10 tahun. Saat dua perangkat gamelan yang bernama
Kyai Guntur Madu dan
Kyai Nogo Wilogo masuk ke Siti Hinggil segera saja kami menyusulnya ke Masjid Gede melewati jalan umum. Prosesi
miyos gongso ini dikawal oleh dua
bregada prajurit Keraton yang setiap tahunnya berbeda-beda, dan yang mendapat giliran mengawal pada malam kemarin adalah
bregada Prawirotomodan
Jogokaryo, ada juga beberapa abdi dalem yang membawa lilin sebagai lambang penerang. [caption id="attachment_78757" align="aligncenter" width="300" caption="abdi dalem pembawa lilin"][/caption] Di depan regol Masjid Gede, suasana sudah penuh sesak tapi dengan cara
ndesel-ndesel akhirnya kami berhasil masuk ke pelatarnnya dan bisa melihat Kyai Guntur Madu di letakkan di Pagongan Kidul (selatan) dan Kyai Nogo Wilogo diletakkan di Pagongan Lor (utara). Setelah kedua perangkat gamelan ini diletakkan, para
niyaga atau
wiyaga langsung memainkannya, dimulai dengan Kyai Guntur Madu dan selanjutnya bergantian dengan Kyai Nogo Wiligo setiap beberapa menit. Gamelan ini akan diperdengarkan terus-menerus selama tujuh hari, mulai dari 5 Maulud sampai menjelang
grebeg maulud tanggal 12 Maulud tahun 1431 H (19 s.d25 Februari 2010), kecuali pada waktu sholat dan pada malam Jumat sampai setelah sholat Jumat. [caption id="attachment_78758" align="aligncenter" width="300" caption="kyai guntur madu di pagongan kidul sedang dimainkan"][/caption] [caption id="attachment_78761" align="aligncenter" width="300" caption="kyai nogo wilogo di pagongan lor sedang dimainkan"][/caption] Di pelataran masjid ini sama dengan di Keben, banyak pedagang yang masih menjajakan dagangannya, bahkan sampai jauh malam. Para pedagang ini akan terus berjualan sampai
kondhur gongso (gamelan dimasukkan) besok. [caption id="attachment_78763" align="aligncenter" width="300" caption="deretan penjual kinang dilihat dari salah satu ointu masuk masjid gede"][/caption] Saking asyiknya menikmati gamelan sambil makan nasi gurih di pelataran masjid tak sadar waktu sudah menunjukkan pukul 00.30, dan akhirnya kami pulang. Malam itu rasa penasaran saya terjawab sudah karena itu merupakan pengalaman pertama saya melihat
miyos gongso sampai di Masjid Gede, biasanya saya hanya melihat di Keben, saat gamelan dibawa dari Bangsal Ponconiti masuk ke Siti Hinggil. Dan rencana selanjutnya adalah menyaksikan
kondhur gongso pada 25 Februari 2010 mendatang. :)
KEMBALI KE ARTIKEL