Tentu rakyat ekonomi lemah NTT tidak bisa berbuat banyak. Rakyat mesti memaklumi berhentinya pelayaran akibat cuaca buruk, sebab toh keselamatannya yang menjadi taruhannya. Rakyat pasrah menerima kondisi ini sebab memang demikianlah kondisi ferry yang sebenarnya hanya cocok untuk melayani pelayaran selat dan sungai. Terlalu beresiko memaksakan ferry-ferry kecil tersebut menyeberangi laut sawu yang cukup ganas.
Keterbatasan perhubungan laut seperti ini bahkan sudah dianggap wajar, baik oleh rakyat maupun pemerintah NTT. Wajar karena cuaca ekstrem seperti sekarangsudah menjadi acara rutin tahunan. Wajar karena antar pulau NTT hanya pantas dilayani ferry, bukannya kapal besar yang tahan dalam segala cuaca. Dan wajar juga karena seolah sudah menjadi takdir NTT untuk selalu menjadi yang terbelakang dan tertinggal. Berhadapan dengan dua kewajaran terakhir yang tidak wajar tersebut, tentu saja akan menjadikan NTT tetap yang terbelakang. Kalau memang kewajaran - kewajaran seperti ini yang ada dalam bawah sadar orang NTT, maka dengan berat hati penulis mesti menerima dan mengakui kebenaran jargon kepanjangan provinsi tercinta ini: Nasib Tidak Tentu, atau Nanti Tuhan Tolong.
Terus terang, sering timbul pertanyaan, rasa kurang mengerti dan kebingungan mengenai latar belakang rasa wajar rakyat dan pemerintah berhadapan dengan kondisi yang mengakibatkan keterisolasian ini. Seolah tidak ada pertanyaan kenapa perhubungan dan transportasi laut NTT amat bergantung pada cuaca, dan bagaimana jalan keluarnya. Apakah sikap wajar yang tidak wajar itu justru lahir dari keputusasaan, atau sebaliknya dari rasapuas? Putus asa karena mengharapkan keberadaan sebuah kapal besar yang khusus melayani NTT secara rutin dalam berbagai musim bak mengharapkan sebuah mujizat langit. Ataukah puas, karena toh masih ada pesawat dan kapal besar dari Jawa yang dua minggu sekali menyinggahi NTT.
Transportasi laut, yang sering terhambat cuaca dan keterbatasan kemampuan ferry, hanyalah merupakan satu contoh di antara dua keterbatasan moda transportasi lainnya, yaitu darat dan udara, yang menjadi penyebab utama keterisolasian NTT. Keterisolasian merupakan penyakit utama yang menyebabkan ekonomi rakyat seperti penderita tbc manahun. Bagaimana perekonomian NTT dapat bertumbuh sehat kalau pergerakan atau arus orang, barang, dan jasa sering terhambat dan tidak lancar?
Jelas keterisolasian NTT merupakan suatu ketidakwajaran. Tidak wajar karena keterisolasian NTT bukan terutama karena kesulitan alam yang tidak bisa diatasi seperti yang dihadapi di Papua, tetapi lebih karena ketidakpedulian pejabat pemerintah, baik di pusat maupun provinsi. Para pejabat lebih banyak menyibukkan dengan diri untuk menjaga dan mengejar kekuasaan. Pelayanan kepada masyarakat lebih banyak bermuatan politis dan berkutat pada hal-hal rutinitas atau pelayanan administratif. Program pengembangan ekonomi rakyat (anggur merah) tidak diimbangi dengan program lain yang dapat memecahkan kebuntuan kelancaran keluar masuk komoditas unggulan masyarakat. Penulis sendiri juga tidak tahu apakah masih ada yang namanya Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal di Republik ini, sebab hampir tidak pernah terdengar program nyata kementerian tersebut di kabupaten penulis yang juga tergolong tertinggal. Rakyat lebih banyak berjilbaku dengan keterbatasan yang ada, hanya untuk bisa survive. Tidak ada mimpi, pikiran, apalagi ambisi dari para petani, pedagang, nelayan di NTT untuk menyaingi tingkat ekonomi rekan seprofesinya di tanah Jawa.
Mendekati tujuh puluh tahun Indonesia merdeka, NTT masih tetap terisolasi dan menikmati kue pembangunan transportasi yang begitu kecil. Ketika di pulau Jawa sedang direncanakan pembangunan Jembatan Selat Sunda dan pengadaan kereta api super cepat produksi Jepang yang menghubungkan Jakarta-Surabaya, warga NTT masih saja berwacana mengenai lancar tidaknya pelayaran ferry mingguan. Ketika Medan sudah bisa berbangga dengan Bandar Udara Kuala Namu yang berkelas internasional tersebut, Kupang masih cukup puas dengan Bandar Udara Eltari-nya yang hanya terdiri dari satu ruang tunggu keberangkatan. Ketika Bali boleh menyombongkan diri dengan jalan tol baru yang megah dan unik, NTT masih cukup senang dengan pembukaan dan pengerasan jalan ke beberapa kecamatan terpencil.
Data Bapenas menunjukkan bahwa Indeks PertumbuhanManusia (IPM) NTT Tahun 2012 masih sangat rendah, jauh di bawah standar nasional dan berada di urutan tiga terbawah sebelum Papua dan NTB. Demikian pun indicator pembangunan yang diukur berdasarkan IPM, tingkat kemiskinan, pertumbuhan ekonomi,dan angka pengangguran, yang masih sangat rendah. (http://kupang.tribunnews.com/2014/01/24/ipm-ntt-tiga-terbawah-di-indonesia).