Kebetulan tulisan yang tidak lebih hanya sekedar refleksi ini, selama masih duduk di bangku kuliah ingin sekali terpublikasi, bertepatan dengan Hardiknas di tanggal 2 Mei, catatan singkat ini semoga memberi arti.
Sebagai tamatan SMA yang masuk perguruan tinggi, yang kemudian menginjakkan kaki untuk meneruskan pelajaran ke jurusan ilmu pilihan hati.
Pada perguruan tinggi, dimana orang biasa menuntut ilmu yang tidak lagi menerima ilmu sekedar pengetahuan seperti yang diajarkan saat masih berstatus siswa-siswi.
Cita-cita mulia sekaligus bekal untuk seumur hidup bagi mahasiswa yang akan kembali ke masyarakat setelah menempuh ujian yang penghabisan, adalah pandai berdiri sendiri dalam mempelajari ilmu.
Segala pendidikan yang diraihnya dalam hal ini haruslah cinta akan kebenaran dan berani mengatakan salah dalam menghadapi sesuatu yang tidak benar.
Sehingga Mohammad Hatta pada sambutannya dihadapan ribuan mahasiswa Universitas Indonesia (UI) tahun 1957 mengungkapkan, tanggung jawab seorang akademikus ialah mencitrakan adanya intelektual dan moral !
Ini terbawa dari tabiat ilmu itu sendiri yang ujungnya mencari kebenaran dan membela kebenaran.
Senada dengan hal itu, menurut undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, tugas universitas adalah membentuk manusia-manusia susila dan demokratis.
Harapan yang tertanam di dalam jiwa undang-undang perguruan tinggi, mahasiswa (sarjana) Indonesia yang dibentuk sebagai manusia susila dan demokratis akan cakap berdiri sendiri dalam memelihara dan memajukan ilmu pengetahuan.
Apalagi mereka dibekali kebebasan akademik untuk melahirkan pikiran-pikiran ilmiah yang kreatif dan produktif dengan gagasan barunya.
Dengan kebebasan akademik, intelektual kampus ini memiliki kebebasan untuk fungsinya sebagai akademikus dalam mengimplementasikan tugas-tugas universitas tanpa diintervensi oleh siapa pun.
Akan tetapi, pandangan-pandangan ilmiah objektif yang lahir dari kebebasan akademik itu tidaklah selamanya berjalan mulus.
Adakalanya temuan-temuan ilmiah yang lahir dari prinsip kebebasan akademik menghadapi tekanan-tekanan dan ancaman-ancaman. Terutama bila produk ilmiah kebebasan akademik itu bertentangan dengan pandangan dan keyakinan baik dari dalam maupun dari luar universitas (Mas'oed:1999).
Dalam hal terjadinya benturan pandangan inilah, kebebasan akademikus menghadapi persoalan, terutama dalam menjalankan tanggung jawabnya secara intelektual dan moral.
Mereka yang tahu menguji benar dan salah lewat pendapatnya yang beralasan, secara intelektual, mereka dianggap golongan yang mengetahui.
Sedang secara moral karena masalah tersebut berhubungan dengan keselamatan rakyat sekarang dan kemudian hari.
Tidak jarang seorang kaum terpelajar yang telah bersusah payah membuat karya ilmiah yang secara akademik sangat baik harus menerima akibat buruk.
Temuan-temuan ilmiah sebagai produk kebebasan akademik yang dihasilkan oleh orang-orang universitas yang berkemampuan pemikiran tinggi bukan tidak mungkin berbeda-beda dengan keyakinan dan kehendak orang-orang kuat atau pemimpin formal di dalam masyarakat.
Hal ini kemudian membuat fungsi ilmahnya untuk tanpa dicampuri oleh kekuasaan lain serta kebebasan untuk belajar, mengajar, meneliti dan mengemukakan pendapat merasa terhambat.
Dalam melakukan refleksi kritis mengenai tanggung jawab akademikus ialah sangat penting untuk memulainya dengan mempersoalkan secara kritis konsep "objektivitas" di dalam ilmu pengetahuan.
Pada tulisan ini yang perlu digarisbawahi sebenarnya kaum terpelajar Indonesia memiliki tradisi baik untuk menentukan nasib bangsa.
Penulis sendiri tidak ingin serta merta mengikuti secara taklid beberapa buku yang menjadi referensi kepenulisan.
Meski perlu melakukan kajian secara mendalam, yang ingin diungkapkan di sini agar para kaum terpelajar menunjukkan tanggung jawab intelektual dan moral terhadap usaha-usaha dalam memajukan perkembangan ilmu pengetahuan dengan berpedoman pada cinta akan kebenaran, yang menjadi sifat bagi orang berilmu.
Selamat Hari Pendidikan Nasional...