Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Retorika Cintaku

14 Desember 2013   12:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:56 35 0


Dulu,

Saat ia menawan, membuai memadu rayuan

Indera tak jua jengah menitik langkah

Terseluk menjunjung rindu

Menoreh laku yang agung, seketika

Membelai nurani, ketika dinanti

Menbujuk kalbu, dalam alunan yang lebih menggebu,

Nera, oh nera,..

Berbalik, dan bentuklah tabir

Menerawang tak tertutupi  oleh liarnya otak

Tercenung, tanpa mengerti sebuah arti yang menghampiri

Terjaga, bila malam tlah menutupkan aroma jingga

Terbelalak, menjemput pagi menjelang

Terdiam, ranah meradang, memburu buluh,

manancap merpati

Luluh, hati masih trenyuh, masih membual

Benggala membendung sungai, ia tak habis,

tak kering kala kemarau menghampiri airnya

tak keruh kala bah melanda,

kadang,...

Semilir, Badai, Topan, Puting beliung,

satu satu, mesra menemui,

bak mempersilakan ia duduk manis bersila

meski pada akhirnya timbul sendawa

Madu, gula, khulwah,..

dan pemanis lainny pun tak mau kalah,

Membumbui hilir mudiknya rasa, hingga prasangka

Dermaga masih angin ribut, terombang ambing

ditengah skoci tiada berpeluit

hanya bisa berteriak seluas samudra

Apalah dia mendengar, kecuali hiu dan ikan kecil yang sejengkal menghampiri

selangkah menapaki

Dia bukan permaisuri, menunggu pangeran seberang menghunus pedang,

Memacu kuda gagah

Alangkah syahdunya negeri dongeng

Namun,..

Ia hanya insan biasa,

berkalang rasa dan prasangka,

memeluk harap dengan dugaan didekap

Lalu,

Tergores dalam cucurannya tinta

yang mengalir, beriring dengan rona kalbu, nan merdu

semakin medekat dengan kelopak mawar merah,

Memeluk lembayung

Menghujam, terbenam dan lekat

dalam rindunya balutan

Dan,...

pada ujungnya,

Kemana?

Kemana ia akan melerai prasangka,

manata praduga,

mengadu rasa,

melayangkan tanya, diputihnya kalbu dan jiwa nan menjelaga

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun