Oleh Setrio Hardinata
. . . . . . . . . . .
Judul: Khotbah di Atas Bukit
Penulis: Kuntowijoyo
Tahun Terbit: 2017
Penerbit: Diva Press dan MataAngin
Jumlah Halaman: 224
Ukuran Buku : 14 x 20 cm
Nomor ISBN : 978-602-391-403-6
Khotbah di Atas Bukit adalah sebuah novel yang ditulis oleh Kuntowijoyo. Beliau adalah seorang sejarawan terkemuka yang juga dikenal sebagai sastrawan dan budayawan. Novel "Khotbah di Atas Bukit" berkisah tentang suatu perjalanan spiritual yang dialami oleh Barman.
Saat mengasingkan diri di hutan bersama gadisnya yang bernama Popi. Barman bertemu dengan Humam. Mereka kemudian bersahabat. Semenjak pertemuan tersebut, Barman yang mengalami kesunyian hidup seketika menjadi bermakna. Hari-harinya dipenuhi dengan pencarian hakekat hidup. Sebelum mengakhiri hidupnya di tepian jurang, Barman berkhotbah di atas bukit. Lantas apa yang dikhotbahkan lelaki tua itu di atas bukit, di depan para pengagum dan orang-orang yang mengikutinya? Kuntowijoyo mengisahkannya dengan lembut dan penuh makna.
_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _
"Ini khotbahku," kata Barman. "Hidup ini tak berharga untuk dilanjutkan!" ia meneruskan. "Bunuhlah dirimu! seru Barman. (Hal. 195-196) Demikianlah perkataan Barman kepada pengagum dan pengikutnya sebelum menerjunkan diri ke tepian jurang dari atas bukit. Bagi Barman, untuk pergi dari segala kegelisahan dan kesengsaraan, ia harus mengakhiri hidupnya menuju alam yang abadi dan menenangkan.
_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _
Kisahnya berawal dari seorang tokoh bernama Barman (65 tahun) yang merupakan pensiunan pegawai negeri. Ia harus memilih untuk tinggal di sebuah villa dekat bukit jauh dari keramaian kota. Bobi (Anaknya) mencarikan seorang perempuan muda untuk menemani Ayahnya di bukit tersebut. Perempuan itu bernama Popi.
Di tengah hutan, Barman bertemu dengan Humam. Humam sebaya dengannya, bahkan dari fisik dan penampilan tidak jauh berbeda. Kedua laki-laki tua ini kemudian bersahabat. Barman banyak belajar tentang hakekat hidup dari Human. Hubungan mereka ibarat seorang guru dengan murid dalam ilmu spiritual.
Akan tetapi, saat Barman menginginkan begitu banyak nasehat tentang hakekat hidup. Human justru meninggalkannya. Ia wafat dengan wajah tersenyum di kursi kayu dalam pelataran rumahnya. Sebelum meninggal, Human sudah menuliskan surat wasiat tentang pewarisan rumahnya kepada Barman. Human sendiri tidak memiliki siapa-siapa. Bahkan ia hanya hidup sebatang kara saat bertemu dengan Barman.
Barman kemudian memilih untuk menempati rumah Human. Ia meninggalkan villa sekaligus gadis mudanya Popi. Saat malam-malam yang dingin, Barman yang duduk di atas kuda putihnya menuju pedesaan dekat pasar dan menemui siapa saja yang masih terbangun. "Berbahagiakah engkau?" demikian yang dibisikkan Barman pada setiap orang yang ditemuinya.
Orang-orang yang merasa sengsara dan menderita, mulai mengikuti langkah kaki Barman. Mereka mengharapkan kebahagiaan. Dan Barman yang mereka panggil "Bapak" adalah kunci dari kebahagiaan tersebut.
Dari atas bukit, Barman yang duduk di atas kudanya yang berwarna putih, kemudian berkhotbah. Di hadapan para pengikutnya yang berjumlah puluhan, Barman kemudian mengakhiri hidupnya secara tragis dengan melompat dari atas tebing. Para pengikutnya kemudian menguburkan jasadnya di puncak bukit tersebut. Barman bagi mereka adalah sahabat, Bapak, dan Juru Selamat. Siapa yang mengalami kegelisahan hidup, maka pandanglah bukit tersebut. Di puncaknya ada makam Barman. Si Juru Selamat bagi penduduk desa dan umumnya semua manusia.
_ _ _ _ _ _ _ _ _ _
Novel yang ditulis oleh Kuntowijoyo ini sarat dengan makna dan perjalanan spiritual. Ia menuliskannya dengan bahasa yang lembut dan penuh makna. Buku ini sangat cocok dibaca oleh kalangan mahasiswa, terutama sekali mahasiswa filsafat, sastra, dan sejarah.
Kekurangan buku ini hanya terletak pada kekhasan bahasa yang menggunakan kata-kata puitis dan sulit dipahami secara langsung tanpa mengulang-ulang membacanya. Bagian-bagian cerita yang tidak diurut dan tidak adanya daftar isi juga sedikit menyulitkan untuk memahami alur ceritanya.
Terlepas dari kekurangan di atas, menurut saya novel ini sangat bagus dan sesuai dengan realita kehidupan modern saat ini. Betapa banyaknya saat ini orang-orang yang menderita dan sengsara. Mereka menantikan datangnya seorang pemimpin (Imam Mahdi dalam Islam dan Ratu Adil dalam kisah-kisah Tanah Jawa). Pemimpin ini akan menegakkan aturan dengan seadil-adilnya. Jadi, meskipun Kuntowijoyo menuliskan di tahun 1970-an. Novel ini menurut saya masih relevan dengan kehidupan di abad ke-21 sekarang ini.
_ . _ . _ . _ . _ . _ . _
Selamat Membaca.!!!