Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

BBM LPG: Konversi Sebuah Paradoksial? (3)

21 Juli 2010   19:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:42 246 0
Beberapa tahun yang lalu, saya pernah diundang untuk menghadiri acara syukuran oleh suatu Divisi Pembangkit Tenaga Listrik (Power Plant) pada sebuah perusahaan nasional besar atas keberhasilannya melakukan langkah konversi (mengganti) energi dari Bahan Bakar Minyak (BBM) ke Bahan Bakar Gas (BBG), terhadap dua unit Mesin Pembangkit Tenaga Listrik, berdaya 19 MW, buatan Perancis, yang sudah lama dioperasikannya.

Latar belakang perubahan sistem ini, karena BBM semakin hari kian mahal saja harganya. Disamping juga ramah lingkungan, efisien, dan cadangannya masih cukup banyak tersedia serta aman dari segi pasokan.

Meskipun teknologinya lebih rumit serta memakan nilai investasi/pembiayaan yang relatif tinggi. Namun upaya itu merupakan pilihan terbaik, guna mengantisipasi kontinuaitas pasokan bahan bakar dimasa mendatang.

Pada sambutannya, manager divisi tersebut menekankan kepada segenap jajarannya supaya betul betul disiplin Standard Operating Procedure (SOP), teliti, jeli dan hati hati terutama terhadap aspek keselamatan dan keamanan dalam mengoperasikan Mesin Pembangkit Tenaga dimaksud. Sebab, yang namanya gas adalah zat yang tidak bisa dipegang dan kasat mata wujudnya, tapi dapat dirasakan efeknya.  Sekalipun sarana dan prasarana safety/keselamatan sudah dirancang sedemikian canggih, namum masalah kesiapan Sumbar Daya Manusia (SDM) menjadi porsi utama perhatiannya. Sekecil apapun kelalaian yang diperbuat, tidak akan diberi toleransi. Apalagi sampai berakibat terjadinya kecelakaan fatal.

Paragraf paragraf diatas, sebagai ilustrasi atau gambaran, betapa pentingnya aspek keamanan dan keselamatan terhadap segala aktifiats yang kita lakukan, walaupun sudah dijaga dengan berbagai SOP yang memadai.

Usaha Wapres, M. Yusuf Kalla dipenghujung jabatannya berakhir, yang meluncurkan Program Konversi konsumsi minyak tanah bagi rakyat kebanyakan ke penggunaan Bahan Bakar Gas, LPG, sebenarnya suatu kebijakan yang tidak keliru. Boleh dibilang malah bagus, mengingat harga BBM dunia cenderung menaik terus, cadangan minyak dunia semakain merosot, isue lingkungan global kian santer serta  pada gilirannya  beban finasial berupa subsidi pemerintah terhadap BBM menjadi lebih berat.

Persoalannya menjelma jadi penuh masalah, manakala terobosan wapres yang baik tersebut tidak diberangi dengan kesiapan teknis yang berimbang atau memadai.

Di masa transisi, pasokan keduanya (BBM + LPG) kepada masyaraakat mengundang kekisruhan, ketersediaanya memunculkan sepekulasi tertentu, kelangkaan terjadi dimana mana dan otomatis harga membumbung tidak karuan.  Jika sudah seperti itu, lantas rumor bertebaran, seolah olah konversi tersebut merupakan proyek -politik- untuk memberi fasilitas emas terhadap sejumlah perusahaan migas swasta, milik orang orang tertentu yang dekat dengan kekuasaan.

Sebenarnya ada potensi masalah -yakin sudah diketahui- yang tidak kalah pentingnya, untuk dilakukan kajian oleh para pengambil kebijakan atau pelaksana teknis di lapangan waktu itu, sebelum LPG di lempar ke publik.  Tapi sayang terasa hambar, kurang mendapat perhatiana serius. Padahal itu menyangkut nyawa khalayak ramai, masayarakat luas. Yaitu, mengenai pengetahuan, seluk-beluk tingkat bahaya dan tata cara penanggulangannya, bilamana LPG sampai keluar secara liar dari tabung atau peralatannya sehingga menimbulkan kecelakaan fatal. Ini yang betul betul kurang disosialisasikan formulasinya. Pemahaman aspek keselamatan maupun keamanan penggunaan LPG, cuma sampai pada tataran diskusi para pakar.

Berapa persen masyarakat yang tahu persis tentang LPG?  Sebagian besar sangat awam, teramat rentan terhadap kelalain. Kala itu, gencarnya sosialisasi hanya pada segi bagaimana caranya agar masyarakat segera beralih ke LPG. Bila perlu dengan iming iming dan sedikit paksaan.

Percuma saja rasanya, kalau penambahan zat additive berupa ethanional yang sengaja dibubuhkan kedalam kandungan LPG, sebagai indikator semacam bebau'an bilamana ada kebocoran gas dimaksud, bisa segara dirasakan/tercium namun tidak disebarluaskan sebagai informasi yang wajib difahami secara luas oleh seluruh masyarakat yang nota bene adalah para konsumen LPG itu sendiri. Belum lagi peralatan utama atau pokok seperti kompor, regulator dan selang. Rupanya benda benda inipun luput dari perhatian pengelola gas sebagaimana mestinya, baik yang menyangkut kualitas, umur peralatan maupun sejumlah aspek teknis lainnya. Peralatan semacam itu sesungguhnya sangat memiliki andil terhadap terjadinya musibah kecelakaan.  Dan terbukti, setelah lebih lebih kurang konversi berjalan tiga tahun, ledakan demi ledakan berhamburan muncul dengan membawa korban jiwa dan harta benda tidak sedikit.   Data RCTI selama bulan Juli 2010 menyebutkan, telah terjadi lebih dari 30 kali "bom" meletus dari dapur, sebagai akibat kebocoran LPG.

Tidak ada salahnya kalau pengelola LPG belajar atau meniru, misalnya dari industri otomotif. Industri ini senantiasa menyertakan manual operasi dan perawatan untuk setiap produk kendaraan yang dipasarkannnya secara lengkap serta gamblang. Hebatnya lagi, mereka berani "merecall" (manarik) seluruh produknya yang sudah ada ditangan konsumen jika diketahui ada cacat "bawaan" yang bermutu rendah terhadap salah satu komponennya. Kemudian komponen dimaksud secara gratis diganti dengan yang baru.

Selayaknya antara gas, kompor, regulator dan selang merupakan suatu kesatuan yang utuh (built in), oleh karennya perlu  pengawasan yang benar benar intensif dan khusus. Bila memungkinkan, ada lembaga tersendiri  yang bersifat independen untuk mengawasinya. Seperti halnya sektor farmasi, makanan dan minuman.

Pemakaian LPG untuk keperluan masak memasak di rumah tangga, sebenarnya telah puluhan tahun berjalan. Bahkan dulu ada perusahaan gas (mungkin jenis lain) yang memasarkannya melalui distribusi pipa dalam tanah, lansung ke rumah rumah (persis PDAM) dan tidak pernah terdengar ada kecelakaan. Pembelian ragulator, selang atau peralatan lainnya diwaktu lalu selalu disertai SOP, cara mendeteksi dan apa yang seharusnya kita lakukan jika terjadi kebocoran gas.

Dalam masalah tersebut diatas, sebenarnya siapa yang paling bertanggung jawab?. Reaksi pengelola LPG sangat lamban, malah cenderung mencari dalih dengan menuding peralatan berupa benda mati sebagai biang keladi malapetaka. Wakil Rakyar setali tiga uang, terkesan bingung mau berbuat apa. Memanggil para fihak yang dianggap bertanggung jawab belum kesampaian. Pemerintah nampaknya masih sibuk mengurusi hal hal lain.

Apakah masyarakat dibiarkan begitu saja untuk memecahkannya sendiri persoalan ini? Entahlah. Tapi yang jelas, beberapa waktu belakangan ini mulai terlihat sejumlah tokoh warga berinisiatif mensosialisasikan penggunaan LPG secara benar, baik, aman, selamat dan lebih ekonomis dibandingkan dengan minyak tanah  kepada publik, setidaknya dilingkungannya masing masing.

TIP  :

Janganlah menyalakan kompor, pemetik api dan atau lampu maupun peralatan listrik lainnya, karena disitu ada percikan api, ketika kita mencium bau aneh/gas dari dapur atau rumah. Lepaskan regulataor dari tabung, buka seluruh pintu dan jendela selebar lebarnya, biarkan gas keluar ruangan dengan sedirinya atau kita usir dengan kibaskan kain sampai tidak berbau lagi. Periksa seluruh peralatan secara periodik. Bilamana sudah kurang berfungsi dengan baik, selang mulai retak retak atau telah cukup lama dipakai, segera ganti baru.  Cek tabung LPG, serta jangan membiarkan regulator terpasang, disaat rumah kita kosong untuk jangka waktu cukup lama.

Demikian. Terima kasih.-

Jakarta, 22 Juli 2010.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun