Aku merasa terisolasi, sendiri dalam kebisingan yang menyelimuti.
Sabtu malam, bagaikan mantel kelam yang tak kunjung usai,
Kesepeian membelenggu, seakan tiada yang mengerti.
Hari Minggu pun datang dengan kelabunya,
Suasana sunyi menyergap, menghantui dalam kesendirian.
Tak ada yang mampu mengusir keruhnya,
Hatiku tetap terbelenggu dalam kekosongan.
Valentine, waktu yang penuh luka dan duka,
Meninggalkan jejak-jejak kepedihan dalam relung hati.
Tiap tahunnya, kembali aku terjerat dalam angkara yang terus menerus berulang,
Menghadapi kenangan yang menyakitkan, tanpa ada kelegaan yang datang menyambut.
Gunung dan pantai, tempat pelarian yang tak kumengerti,
Heningnya alam terasa menyiksaku, memperdalam kekosonganku.
Suara angin dan ombak yang gemulai,
Hanya menambah kegalauan dalam lamunanku yang hampa.
Namun di tengah keheningan kota yang tak pernah tidur,
Aku merasakan kehangatan dalam keramaian yang mengelilingi.
Meski sepi, namun aku merasa terhubung,
Dalam kesunyian kota yang ramai, aku menemukan diriku.
Kota, tempat di mana kebisingan menjadi temanku,
Meskipun sepi, namun aku merasa tak lagi terisolasi.
Di antara riuhnya suasana, aku menemukan kedamaian,
Dalam kehidupan yang terus berputar, aku menemukan arti keberadaanku.
Kota yang ramai, dengan segala kesibukannya,
Menjadi saksi atas keberadaanku yang tak pernah terlupakan.
Meskipun kadang merasa sepi, namun aku merasa hidup,
Di tengah gemuruh kota yang tak pernah tidur, aku merasa utuh.
Aku benci sabtu malam, hari Minggu, dan Valentine,
Namun di tengah kebencian itu, aku menemukan kedamaian di kota.
Gunung dan pantai mungkin bukan tempatku,
Namun dalam kebisingan kota, aku menemukan jati diriku.